Saat Bayu datang ke ruangan Aksa, aura dan suasana ruangan itu tiba-tiba dingin dan menyeramkan. Itulah yang dirasakan Daniel. Dia melihat sosok Bayu untuk pertama kalinya. Tubuhnya tinggi kurus, rambutnya agak sedikit gondrong, sorot mata tajam tapi sama seperti Aksa, wajahnya tampan mempesona.Tapi Daniel menangkap ada keangkuhan di setiap gestur tubuhnya.
"Sudah lama tidak bertemu, dan kau masih banyak tidak berubah," ucap Bayu tanpa dipersilakan dia kemudian duduk di atas sofa sambil memandang Aksa yang tengah duduk di singgasana Presdirnya.
"Kau benar, dan ada juga yang tidak berubah dari diriku." Aksa kemudian bangun dari duduknya dan menghampiri Bayu dan berpindah tempat duduknya di sebrang Bayu yang sekarang sedang duduk menyilangkan salah satu kaki kananya ke atas kaki kirinya dengan kedua tangannya dia rentangkan di sandaran sofa.
"Apa itu?" jawab Bayu sinis.
"Rasa benciku padamu. Itu masih ada dan tidak berubah."
Bayu mencibir mendengarnya. Wajahnya sama sekali tidak menua, padahal usianya sudah lebih dari 40 tahun.
"Mau sampai kapan kau memendam bencimu padaku?"
"Pertanyaan itu harusnya untukmu Bayu."
"Kamu pikir aku masih membencimu?"
"Tentu saja, kau sangat membenciku dari dulu."
"Tapi, sepertinya rasa benciku padamu sudah lenyap."
"Tidak bisa dipercaya. Ucapanmu yang barusan tadi terdengar kalau kau sedang bersandiwara."
"Kenapa kau tidak percaya, kalau aku masih membencimu, mungkin aku tidak akan mau menginjakkan kakiku di sini."
"Apa yang membuatmu datang ke mari."
"Aku hanya ingin menyampaikan pesan Mama dan Papa padamu."
"Pesan ... kenapa bukan mereka yang menyampaikannya!" Aksa kecewa. Baik Mama dan Papa Tanu sampai sekarang belum menemuinya.
"Kau tidak tahu ya, kalau Papa sekarang kembali lagi sakit. Sudah setahun ini dia dirawat di Berlin, dan Mama juga sedang di sana."
"Oh ya ... sudah lama juga, kenapa tidak ada yang memberitahuku," ucap Aksa spontan. Hati kecilnya masih menganggap kedua orangtuanya meski mereka sudah mengkhianati Papanya. Tapi sesaat dia kembali menepis rasa sedihnya karena berita itu. Dia tidak ingin kelihatan melemah di depan Bayu.
"Mereka berpesan supaya kau menemui mereka lagi. Kesehatan Papa semakin memburuk dan aku takut umurnya tidak akan lama lagi dengan kondisi seperti itu. Ada yang ingin dia sampaikan padamu. Apa kau tidak mau menemui orang tua itu?" tanya Bayu. Tidak ada ekspresi sedih dan hanya terlihat wajah yang sedikit serius. Mungkin saja Bayu tidak mau menunjukkan rasa sedihnya pada Aksa.
Aksa termenung beberapa saat. Dia nampak sedih tapi raut kekecewaannya masih ada atas perbuatan mamanya dan Papa Tanu pada dirinya dan mendiang papanya semasih dia hidup.
"Ya sudah kalau kau tidak mau menemui mereka. Aku sudah mengatakan pesan mereka langsung padamu. Dan apa kau tidak pernah membaca semua pesan-pesanku yang aku kirimkan padamu?" tanya Bayu heran.
"Karena setiap kau mengirim pesan aku langsung menghapusnya tanpa membacanya," jawab Aksa sambil menatap Bayu dengan tatapan marah.
"Oke-oke aku akui kamu pasti marah padaku. Aku cukup puas kalian berpisah ...." Belum sempat Bayu meneruskan ucapannya. Aksa langsung menghambur meloncat ke hadapannya dan mencengkram baju Bayu sampai dia kaget dibuatnya. Cengkraman Aksa begitu kuat sampai kancing baju Bayu hampir lepas.
"Gara-gara kamu, salah paham antara aku dan Hana malah bertambah. Tidakkah kau punya hati nurani sebagai seorang kakak?" tanya Aksa geram. Sementara Daniel terlihat was-was dan mondar-mandir cemas kalau kedua laki-laki itu akan berkelahi. Antara melerai atau membiarkan keduanya berantem karena itu urusan pribadi mereka.
"Haha ... kau pikir meski aku tidak ikut campur dalam urusan hubungan kalian. Tidak ada orang yang akan memisahkan kalian?" Bayu kemudian menepis kedua tangan Aksa dengan kasar dari tubuhnya. Kemudian dia menepuk-nepuk Baju yang kusut karena cengkraman tadi.
"Aku hanya membuatmu salah paham pada Hana. Tapi kenyataanya Nenek Grandong yang memisahkan kalian."
"Apa katamu? Nenek Grandong!" Aksa marah karena Bayu sudah mengejek Nenek Sarah.
"Ya, Nenekmu. Dari awal memang Nenekmu itulah yang membuat konflik ini semua. Dari ancamannya pada Mama, perjodohanmu dengan Arabella sudah dia rencanakan. Dan Dia orang jahat yang sudah memisahkan kalian bukan. Aku memang berencana memisahkan kalian dan menjadikan Hana menjadi pengganti Nadia istriku."
Plaaaaaakk. Tamparan keras mendarat di wajah Bayu. Aksa sangat marah, napasnya memburu karena ucapan Bayu. Bayu mengusap wajahnya ditampar. Darah menetes keluar dari hidungnya. Dia pun tersenyum menyeringai karena tamparan keras Aksa.
Daniel yang melihat itu kemudian menahan Aksa dari belakang agar Aksa tidak kembali membuat sesuatu yang bakal panjang nanti urusannya.
"Lepaskan!" kata Aksa sedikit membentak Daniel.
"Jangan bertindak konyol Pak, kita sedang di kantor bukan klub tinju."
Kemudian Bayu berdiri dan merapihkan bajunya. Dia menggerakkan kepalanya yang sedikit kaku. Daniel was-was kalau Bayu akan memberikan serangan balasan.
"Terimakasih atas tamparannya. Aku tidak akan membalasnya. Karena aku baru tahu kenyataannya sekarang. Semua yang kurasakan selama tiga puluh tahun ini padamu sudah hilang. Hanya tersisa sedikit kasihan padamu. Dari dulu, aku menganggapmu musuh karena kedua orangtuaku selalu melindungi menyayangimu lebih dariku. Aku kesal dan marah karena itu. Tapi ternyata aku baru tahu kebenarannya setelah sekian lama."
"Apa maksudmu?"
"Itulah kau harus mendengarnya langsung dari Mama dan Papa. Kau akan tahu kebenarannya. Sebelum Papa meninggal, aku ingin kau menemuinya. Dan kalau kau menemui mereka, kau boleh menghakimi mereka sesuka hatimu!"
Bayu kemudian melangkah pergi meninggalkan Aksa dalam keadaan posisi dipeluk Daniel dari belakang. Karena Daniel ingin menahan Aksa supaya tidak berbuat kekerasan di dalam kantor.
Setelah Bayu pergi keluar, Daniel melepaskan pelukannya. Aksa kemudian mengacak-acak rambutnya yang rapi. Sekarang penampilan Aksa menjadi ruwet. Dia terlihat stress dan sedang jengkel. Melihat Aksa yang sepertinya sedang jengkel. Daniel mengendap-endap hendak pergi keluar juga. Dia merasa kalau bosnya sedang butuh waktu untuk sendiri. Satu langkah demi langkah Daniel hendak pergi dari ruangan Aksa dengan perlahan.
"Mau kemana kau?" tanya Aksa menyergapnya.
"Eh aku ...."
"Bawakan aku makanan pedas!"
"Siap Pak. Saya pesankan delivery food untuk Bapak, Bapak mau pesan apa?" tanya Daniel sigap sambil mengeluarkan ponselnya. Dia lupa kalau tadi dia sedang berusaha melarikan diri dari Aksa yang sedang bad mood.
"Pesankan satu porsi seblak ceker dengan level pedas 10, itu paling pedas, kan. Dan satu porsi sop iga pakai nasi!"
"Siap Bos. Eh Pak," ucap Daniel dengan lincah menggerakkan jarinya di ponsel untuk memesan makanan yang diinginkan Aksa tadi.
"Sudah beres Pak, nanti pesanan siap di antar!" kata Daniel sambil melihat arloji di tangannya. Kemudian Daniel hendak melangkah pergi dari ruangan Aksa, tapi lagi-lagi Aksa menghentikannya.
"Jangan dulu keluar sampai makanan itu datang. Dan kau duduklah!" perintah Aksa sambil berdiri di depan jendela kaca kantornya memandangi suasana sekitar Hotel Mahesa di lantai teratas hotel miliknya.
.
.
.
Pesanan makanan yang dipesan Daniel akhirnya datang juga. Dan kini mereka ...
"Pak, kenapa Bapak tega menyiksaku ...shh. sshhhh ... terlalu ?" kata Daniel sambil tak berhenti membuka mulutnya yang kepedasan. Rupanya seblak pedas level 10 yang dipesannya bukan untuk Aksa, tapi untuk dirinya sendiri.
"Itu karena kau tadi sudah menahanku untuk memberi pelajaran pada Bayu." Kata Aksa sambil menyuapkan makan siang aslinya. Nasi dengan kuah sop iga. Sambil menahan senyum dan tawanya dia melihat Daniel yang kepedasan. Mukanya sudah merah, air liur, air mata dan ingus memenuhi wajah Daniel itu. Aksa merasa terhibur dengan itu. Membuat dirinya lupa tentang kejadian yang barusan terjadi di kantornya.
"Pak, aku kan tidak suka pedas, dan astaga ini level 10, menyesal aku tidak memesan level 1 saja," kata Daniel di sela mulutnya yang terus-menerus minum air mineral karena pedas.
"Plus itu hukumanmu juga karena salah membeli kado untuk Shanum." Aksa mengungkit kembali kesalahan Daniel itu.
"Pak, kenapa Anda kejam Pak, bisa-bisa saya mengundurkan diri dari ...."
"Besok kau pergi ke mall belilah tas dan sepatu bermerk untuk pacar mu!" kata Aksa melemparkan kartu kreditnya.
Belum selesai Daniel mengucapkan pengunduran dirinya. Wajahnya langsung tertuju pada kartu yang disodorkan Aksa padanya. Sebuah hadiah atau bonus Aksa padanya. Itu adalah kebiasaan aneh Aksa, setiap dia menghukum dan menyiksa Daniel karena kerjanya yang salah Aksa selalu memberikan hadiah tebus dosanya setelah membuat hukuman pada Daniel. Dan itu yang membuat Daniel jadi tidak bisa berpaling hati ke bos lain.
"Bos, sebenarnya aku dengan Siska sudah putus ...."
"Apa? kau putus lagi. Astaga Daniel, mau sampai kapan kamu putus nyambung- putus nyambung dengan dia?"
"Ini yang terakhir sepertinya. Dia mau dinikahkan dengan duda tua bangka pengusaha kaya dari Kalimantan oleh mamanya." Kata Daniel sedih.
"Ya, jodohmu berarti bukan dia." Aksa turut berbelasungkawa, maksudnya bersedih atas kehilangan yang dirasakan Daniel.
"Tapi Pak, sebagai gantinya, karena Bapak sudah berniat membelikan hadiah. Bagaimana kalau aku beli lukisan saja, boleh ya?" kata Daniel dengan sorot mata memohon.
"Lukisan."
"Iya, aku udah lama sekali ingin membeli lukisan karya pelukis yang satu ini, dan harganya mahal sekali. Tiga puluh lima juta. Boleh ya!" ucap Daniel dengan sorot mata memohonnya lagi.
"Terserah kamu lah."
Daniel tersenyum puas. Tak apalah dia sering diperlakukan seperti ini. Karena sebenarnya Aksa hanya ingin melihat hiburan di kala hatinya sedang marah dan sedih. Mungkin melihat dia makan kepedesan membuat dia terhibur dan berbaik hati lagi padanya.
Bersambung ...