Chereads / My Schedule / Chapter 3 - Ilmu Batang Ubi

Chapter 3 - Ilmu Batang Ubi

Minggu pagi, Razan sudah sibuk dengan kucing-kucing adopsinya. Di skedul tertulis bahwa sekarang waktunya untuk bermanja-manja dengan Moci, Ucok, Udin dan Jainab. Razan memiliki 4 kucing berjenis kelamin, Eeh entalah Razan kurang bisa membedakan antara kucing jantan dan betina. Baginya sama saja, sama-sama memiliki bulu dan mata yang indah. Perihal Gender tidak terlalu jadi masalah pokoknya.

List kegiatan di skedul nya pun minggu ini tidak terlalu padat. Jadi, dia perlu menikmati hari santai dengan anak-anak pungutnya itu.

"Rajaaan, bantu Abah manen ubi di belakang nak". Razan tak habis pikir kenapa orang-orang suka mengganti-ganti namanya, tidak Minah, tidak Abah suka sekali memanggil namanya pakai J. Pak Iskandar adalah Abahnya yang selalu Razan bangga-banggakan sepanjang masa. Karena hanya Abah yang tersisa, setelah 3 tahun kepergian ibunya. Untuk itu Razan memacu dirinya agar menjadi gadis mandiri, tidak manja dan kelak bisa membahagiakan malaikat tak bersayap satu-satunya itu.

"Iyaa Bah, sebentar Razan bersihin pup Moci dulu nih". Meski memanen ubi tidak ada di deretan list kegiatannya, sebagai anak yang berbakti, perintah Abah adalah skedul nomor satu yang mesti didahulukan dari kegiatannya yang lain.

Abah memang suka bercocok tanam, apapun ia tanam mulai dari singkong, kunyit, lengkuas apapun yang berhubungan dengan bumbu-bumbu dapur. "Razan kamu kupas singkong yah, itu dikarung sudah diambil tadi sama Ilham". Razan mendongak menatap seorang pemuda dengan wajah tengilnya, ya harus ia akui jika si tengil itu adalah adik kandungnya sendiri. Ilham memang selalu acapkali membuat Razan ingin memakan manusia hidup-hidup.

"Hallaah, takut kotor tangannya itu Bah, padahal mah biasa main di comberan". Liat? si tengil itu membuat mood Razan rusak pagi-pagi. Razan selaku kakak yang bijaksana, ia tak ingin membalas Ilham dengan hal yang serupa. Ia hanya perlu tersenyum manis sembari melempar ubi berukuran sedang, tepat mengenai bahu kanan Ilham."Aawwww". Ilham merintih menahan sakit. Sedangkan Razan yang merasa berhasil, lalu tertawa terpingkal-pingkal.

Sesaat setelah pertempuran yang maha dasyat itu terjadi. Pak Iskandar menyaksikan kedua anak-anaknya yang tak pernah akur semenjak kematian sang istri, akibat penyakit jantung yang diderita istrinya selama hampir lebih kurang 10 tahun lalu.

Ada-ada saja masalah-masalah kecil yang mereka ributkan. Mulai dari saling rebutan kamar mandi, rebutan makanan sampai perihal Ilham melakukan penghinaan terhadap kucing kesayangan Razan , dengan sebutan "Kucing Dekil, udah dekil bau lagi". Kalau saja ada pengadilan yang mempidana penghina kucing. Tak perlu waktu lama bagi Razan untuk menjebloskan Ilham ke jeruji besi. Meski Ilham adalah adik kandungnya sendiri. Akibat penghinaan yang dilakukan Ilham lah membuat Razan tidak mau bicara dengannya hampir lebih kurang 3 hari berturut-turut. Pak Iskandar juga yang harus turun tangan memdamaikan kembali ke dua kubu ini.

Pak Iskandar tidak hanya berperan sebagai seorang ayah bagi anak-anaknya, tapi juga sekaligus sebagai seorang ibu. Ia memang tak sepeka dan sesigap istrinya dalam mendidik dan mengatur jadwal anak-anaknya. Jika dahulu keperluan mereka sudah jauh-jauh hari dipersiapkan oleh sang istri. Sekarang ia harus kerepotan mengatur semuanya sendiri. Ia harus tetap bertahan demi kedua buah hatinya itu.

Sekarang Pak Iskandar harus belajar untuk lebih merangkul, lebih perhatian sebagaimana dahulu untuk mengembalikan keharmonisan yang pernah ada.

"Rajaan, Ilham... kalau bertengkar terus kapan siap itu ngupas ubinya". teriak Pak Iskandar. Ilham dan Razan menghentikan pertengkaran yang tak ada manfaatnya bagi agama, bangsa, dan negara. Mereka mulai menghentikan sesi lempar-melempar ubi-ubian yang sudah berceceran dimana-mana.

setelah pekerjaan mengupas beberapa ubi usai. Saatnya untuk merebus. Razan memasukkan Ubi yang telah dibersihkan ke dalam wadah berisi air yang sudah dipanaskan. Ubi itu akan direbus, untuk dinikmati bersama. Sekedar cemilan penghangat diruang keluarga mereka. Ubi dengan tambahan gula adalah sebuah perpaduan yang sempurna. Meski sederhana, dijamin rasanya menggunggah selera.

Setelah selesai, Razan langsung membawa rebusan ubi ke ruang keluarga mereka untuk dinikmati. Abah telah tampak duduk disana bersamaan dengan Ilham. "Pesanan Ubi rebus nya telah siaaapp, selamat menikmati". Razan menjelma menjadi pelayan di sebuah restoran kampungan. "Waah sudah jadi, ayo kita santap". sambut Abahnya dengan tersenyum bahagia. Yakinlah meski menu ini sangat sederhana, namun jika dinikmati bersama orang tercinta rasanya lebih hangat dan jauh lebih sedap.

Mereka lalu menikmati ubi rebus dengan kebahagiaan yang sederhana. Namun kebahagiaan yang tercipta lenyap sudah ketika tangan Ilham dan Razan mengambil ubi yang sama. "Bisa gak kakak ambil yang lain? ini punya gue!". Ilham mempertahankan ubi yang tak ada bagus-bagusnya itu. Bukannya mengalah Razan malah menantang balik. "Coba saja kalau bisa? hei, anak kecil itu harus mengalah kepada yang lebih tua.Jadi singkirkan tangan buriq lo, cepatttt!!"

Pak Iskandar yang baru saja hatinya riang dan gembira, harus menelan ludah melihat kelakuan kedua anaknya. "Eeeh kakak, sudaaah ambil saja ubi yang lain, kan masih banyak, rasanya juga sama" jawab Pak Iskandar, ia memang ayah yang tak bisa marah. "Engggak Bah, ini ubi punya kakak. Bocah ingusan ini harus diajarin akhlakul Kharimah." Rajan kembali menarik ubi yang masih di pegang erat-erat oleh Ilham. " Yang ada orang yang lebih tua, harusnya mengalah ke yang lebih muda. Ini bagian gue, sudah gue tandai semenjak ia masih jadi zigot" pungkas Ilham masih kekeuh mempertahankan ubi yang apalah itu.

"Helooo!!! wahai anak muda, kakakmu yang jelita ini, yang sudah menanami, mengupasi, dan merebus sampai jadi ubi rebus. Maka dari itu dengan sangat terhina kamu harus menyerahkan ubi terbaik yang pernah terlahir ke bumi". Razan menyeringai sembari menaikkan alis bagian kiri.

Abah Iskandar yang sedari tadi memantau akhirnya tak bisa menahan tawa akibat ulah Rajan dan Ilham. "Baiklah kalau gak ada yang mau mengalah. Abah mau ikutan juga rebutan ubi terbaik yang pernah terlahir ke bumi itu. Sepertinya seru". Bukannya menengahi Abah Iskandar malah ikutan memegang ubi yang diperebutkan ke dua anaknya sedari tadi.

Ilham dan Rajan saling tatap-tatapan. Mereka pun sontak sama-sama mengulurkan ubi itu kepada sang Ayah. "Eeeh Abaah, kalau Abah mau? ambil saja ini, aku bisa ambil ubi yang lain" ucap Razan.

"Iya Bah, ini untuk Abah saja ubi terbaiknya" tambah Ilham. Alhasil mereka sama-sama mengalah demi si Abah, tiada permintaan Abah yang tidak mereka turuti. " Dari pada ribut gegara ubi atu, mending kita ambil pelajaran dari sebatang ubi". Pak Iskandar lalu mengambil ubi rebus itu, dan memberikan satu demi satu kepada anaknya. "Pelajaran Bah?" jawab Ilham bingung. "iyaa, namanya ilmu batang ubi".

"ILMU BATANG UBI?" jawab Ilham dan Razan serentak.

Melihat reaksi anaknya yang berlebihan, Iska ndar menjawab dengan datar "Biasa aja jangan lebay."

"Heheheheeh, emangnya pelajaran apa yang bisa kita ambil dari batang ubi bah?" tanya Ilham penasaran dengan mata yang berapi-api.

" Kelak, ketika kalian sudah menentukan hidup sendiri. Sudah dewasa dan mandiri. Contohlah keteguhan dari batang ubi ini. Kemanapun dan dimanapun ia dibuang, dicampakkan. Ia tetap hidup,tumbuh dan memberi kemanfaatan untuk lingkungannya" ungkap pak Iskandar dengan senyum yang meluluhkan hati setiap anak.

Rajan dan Ilham manggut-manggut pertanda mengerti. " Waah, iya yah Bah, batang ubi kadang dibuang dan dilempar kemana saja orang ingin membuangnya, tetapi ia membalas dengan manfaat. mulai dari buah nya yang bisa dinikmati dan mengenyangkan, belum lagi daun singkongnya yang bisa dimasak. Benar-benar berguna Bah" tambah Razan, ia paham sekarang bahwa ia harus menerapkan 'ilmu batang ubi' jika ia ingin hidup kemanapun nanti nasib membawanya.

Sedangkan Ilham diam terkesima, sehingga siapapun yang menatapnya akan merasa heran dan bingung. Bingung antara dia sangat paham atau tidak sama sekali. Tapi dilihat dari wajahnya sepertinya sudah sangat paham.

"Begitu Haam, jangan jadi laki-laki manja dan lembek". sindir Razan.

"Baik kalau begitu, mari kita sholat zhuhur dulu sama-sama" ajak Pak Iskandar, ketika Azdan sudah berkumandang.

"Tunggu!!"

Semua mata tertuju kepada Ilham yang masih diam ditempat duduk dengan ekspresi yang sulit di lukiskan

"Apa lagi Ham?" tanya Abah Iskandar

"Baah, sesuai kata Abah kemanapun ubi itu di buang, dilempar dan dicampakkan ia tetap hidup dan tumbuh?" Ilham tampak serius sekarang.

"Iya, lalu?" tanya Abahnya bingung, begitu pun dengan Razan yang sudah menyeringai parah.

"Terus, kalo ubi nya dibuang atau dilempar ke aspal, emang tuh ubi bakalan hidup Bah?" tanya Ilham dengan mata yang berbinar-binar.

Kriiiikkkek...kriiikek (anggap saja suara jangkrik keselek biji salak).

5 Menit kemudian.

"Eeh kalo itu Abah belum teliti sih Ham". Abah Iskandar seakan di skakmat hanya bisa menjawab seadanya, sembari ber-alibi dalam hati " iya juga yaah, wah otak anakku genius sekali".

Pertanyaan Ilham refleks membuat Razan ingin melempar lemari ke otak Ilham yang lemot seperti kaset rusak.

"Ampuuun dah lo Ham, bego kok di pelihara". Razan memutar bola mata malas. Razan dan Pak Iskandar meninggalkan Ilham yang masih bingung mengenang nasib batang ubi yang kalau dilempar ke aspal.

"Gue yakin tuh ubi pasti mati dan kering deh, soalnya kan di aspal, gak dapat asupan dari air". Ilham bicara dan menjawab sendiri dengan kemampuan nalar yang sangat terbatas"

"kek nya hidup deeh, kan dia ubi ajaib!" Ilham menggaruk-garuk tengkuknya yang tak gatal.

"ILHAAM, buruan sholat!!"" panggil Abahnya, eh yang dipanggil masih sibuk memecahkan teka teki silang.

"HAAAMMM!!!" panggil Abah Iskandar untuk kedua kalinya.

"Eeeh, iya Baaahh!!"