Sukses bukan hanya soal uang. Tapi juga soal kebahagiaan. Tidak penting seberapa banyak uangmu, seberapa megah rumahmu, dan seberapa tinggi jabatanmu. Kalau sukses mu tidak memberikan kemanfaatan bagi orang lain, sejatinya kamu tidak benar-benar sukses. Itulah yang coba Razan pikirkan perihal memaknai sebuah kesuksesan.
"Pagi Bah, Razan mana Bah?" tanya seorang pemuda bernama Teguh, ia merupakan tetangga Razan. Dan sekaligus teman masa kecil Razan, selain itu mereka juga satu jurusan di kampus. Dari dulu mereka selalu terlihat bersama, Teguh terkesan menyamai apa yang Razan perbuat dalam setiap langkahnya. Mulai dari satu sekolah dari Smp hingga dibangku perkuliahan, bahkan masuk organisasi yang sama dengan Razan pun Teguh lakukan demi selalu berada disamping perempuan itu.
"Pagi Teguh, Rajan masih dikamarnya, anak itu selalu keteteran pagi-pagi" jawab Pak Iskandar sembari membawa kangkung rebus dari dapur. Teguh memang acapkali bolak-balik dari rumah Razan. Teguh sudah seperti anggota keluarga bagi mereka. Teguh adalah murid pindahan dari Palembang, yang kebetulan pindah ke rumah neneknya di Jakarta. Setelah neneknya meninggal dunia, Teguh dan kedua orangtuanya memutuskan untuk menghuni rumah neneknya di Jakarta. Kebetulan rumah nenek Teguh, Tepat bersebelahan dengan rumah keluarga Razan, hal inilah membuat mereka bertetangga dengan baik. Ketika ibu Razan masih hidup, Razan selalu mengantarkan makanan atas perintah ibunya. Ibu Razan memang suka sekali memasak jenis makanan apapun. Saat itu usia mereka baru menginjak 11 tahun.
Teguh melihat Risol yang tertata indah dimeja makan, tanpa aba-aba ia meraih Risol itu dan melahapnya dengan sempurna. " Aneh ya Bah, katanya sih kegiatannya sudah terjadwal, eh masih saja ngaret seperti biasa" pungkas Teguh mengadukan kelakuan Razan kepada Pak Iskandar yang selalu membuat ia menunggu lama. 5 menit bagi Razan, bisa membuat Teguh makan dua piring risol, bisa nonton film Titanic sampai tamat, bisa membangun gedung, menyantuni anak yatim, kuliah 2 semester, membangun jalan anyer panarukan dan itu cukup berlebihan.
"Hahahah, Razan itu mencoba untuk mendisplinkan dirinya Guh, kamu tahu kan selama ini dia anak ibu banget, apa-apa harus ibunya yang mengurus semua keperluan. yaah semenjak ditinggal ibunya Rajan tampak ingin menjadi gadis yang mandiri" ucap Pak Iskandar membela putrinya.
"Good Morning Epribadiih!! teriak Razan tiba-tiba muncul dengan wajah sumringah.
"Ya toibah" Teguh memegang jantungnya, suara Razan tidak baik untuk kesehatan jantung apalagi gendang telinga.
"Ettdah, lama amat lo Miskah, udah telat nih, kita kan ada survey pagi ini Jannn" complain Teguh. Razan dengan wajah yang tak bersalah menyunggingkan senyum " iyeee mas Guh, maapin yee. Namanya juga cewek apa-apa tuh ribet. Bedalah sama cowok, yang cuma cuci muka, pake baju, berangkattt" .
"Enak aja!! aku mandi pakai kembang 7 rupa, asal kamu tahu saja wahai cewek". Kening Teguh mengerut,membantah mentah-mentah ucapan Razan.
Mereka sekarang berkecimpung dalam organisasi yang sama, yaitu organisasi yang bernaung di lembaga kemanusiaan. Sekilas seperti Bantuan Sosial yang menolong korban bencana alam, anak-anak terlantar, masyarakat miskin dan semisalnya. Entah kenapa Razan ingin ikut serta terlibat dalam organisasi ini. Padahal banyak organisasi-organisasi yang lebih jauh bergengsi di kalangan anak muda kampus. Namun bagi Razan ini adalah salahsatu komunitas yang sangat luarbiasa mulia. Menguji rasa dan jiwa kemanusiaan seseorang.
" Rajan, Teguh, makan dulu katanya sudah terlambat" ajak Pak Iskandar pada kedua orang yang sedang berdebat itu.
"Razan makan dijalan saja entar Bah, Bah tolong nanti kasih anak-anakku makan ya". Sembari menunjuk pada ketiga kucing jalanan yang sedang menggigit kaus kaki bau milik Ilham. "Iya nanti Abah kasih, sudah berangkat atuh" jawab nya.
"Assalamualaikum Bah" Razan menyalami tangan Abahnya. Begitu pun Teguh. "Assalamualaikum Bah, kami pamit yah". Mereka beranjak meninggalkan rumah berdekorasi klasik itu.
Ditengah perjalanan, Teguh yang sedang memboncengi Razan dengan motor matic keluaran terbaru. Niatnya ingin mengajak Razan makan bersama, mengingat mereka belum sarapan pagi. " Jan, katanya kamu belum makan ya? Bagaimana kalo kita,,"
" Iya Mas, di daerah Jati, disana banyak katanya anak-anak gelandangan" potong Razan secara tiba-tiba. " Apa dah nih bocah, gak nyambung?" pikir Teguh.
"KAMU MAU MAKAN DULU GAK?" Teguh mengulangi lagi kalimatnya, kali ini volumenya sedikit dikeraskan.
"Aku gak suka MARTABAK WOI" jawab Razan asal.
"APA? " tanya Teguh yang gagal paham.
"APA??" Razan balik bertanya.
"Lah bodo amat, capek gue" putus Teguh. Mereka terjebak dalam obrolan yang tak berujung. Teguh mulai malas melanjutkan obralan gagal paham itu. Suasana jalanan yang membisingkan membuat obrolan mereka tidak berujung temu.
Setelah motor mereka berhenti, di daerah yang dituju. Razan mulai melihat anak-anak gelandangan yang berumur kisaran 8 dan 10 tahun, sedang mengais-ngais sisa makanan ditempat sampah. "Jan, kita makan dulu yah, untuk mengisi energi sebelum bertugas" ajak Teguh. Adapun Razan yang masih memantau anak-anak malang itu, tiba-tiba rasa laparnya hilang begitu saja. "Gak ah Mas, aku sudah kenyang , kita kesana saja yuk, kasihan anak-anak itu belum pada makan".
"Iya justru itu Nyai" Teguh menarik tangan Razan. " Kita makan dulu, Nanti baru kita bungkus makanan untuk mereka" ajak Teguh
"Oke, Baiklah". Akhirnya Razan menyetujui usulan Teguh yang ada benarnya.
Cacing-cacing diperut sudah menggelar demo. Meski sedikit kesal mereka harus bertahan demi misi. Tibalah ia ditempat rumah makan yang dikenal sederhana, yah rumah makan Padang. Razan cukup kesusahan hanya untuk membuka helm saja ia harus keliyengan mencari sumbernya. "Sini, kamu kebiasaan buka helm saja lama, bagaimana nanti udah punya pacar, diajak kencan pake motor. Bisa-bisa kamu ditinggal di pinggir jalan Rajaann". Teguh selalu menjadi sosok yang berada digarda terdepan untuk membantu Razan yang selalu bermasalah dengan sebuah helm.
"Iya Mas kan tahu, aku bukan ahli dalam hal beginian. Ini lebih ribet dari ngatur skedul tahu!! Aku tuh suka heran sama orang-orang, bisa-bisanya mereka dengan sigap dan cekatan seperti Ironman, Sheeett dengan gampangnya membuka helm, katakan padaku jurus apa yang mereka gunakan?" ucap Razan, dengan mata liar dan mulut yang komat komit bak Mbah dukun yang sedang mengucapkan mantranya. Adapun Teguh menatap lekat wajah Razan yang tampak terlihat lucu jika sedang kesal.
"Haha" Teguh terkekeh kecil mendengar celoteh Razan "Ya ampun Jan, kamu nya saja yang lemot. Orang ini mah bukanlah urusan yang sulit". Teguh meletakkan helm-helm itu diatas motor dan mereka menuju rumah makan sederhana itu.
Setelah hampir 15 menit mereka mengisi perut .Mereka kembali lagi ketempat dimana anak-anak gelandangan itu tampak terus berusaha mengais sisa-sisa makanan.
"Bang, laparr... ayo kita curi makanan saja," ucap sang adik kepada kakaknya yang masih berusaha mencari sisa makanan yang layak untuk mereka makan. " Iya Ko, bentar kita cari saja dulu disini, mana tahu ada makanan yang bisa kita santap. Kamu tahu mencuri itu dilarang, itu perbuatan yang memalukan. Andai saja ibu masih ada, pasti ia akan marah melihat kita mencuri" jawab sang kakak.
Langkah Razan langsung terhenti, ia tak sengaja mendengar percakapan kakak beradik itu. "ibu..." lirihnya. Bayangan tentang ibunya kembali mencuap di ingatan. Bahwa posisi Razan sama dengan anak-anak malang tersebut. Sama-sama ditinggal oleh sosok ibu.
"Zan, kamu tidak apa-apa? Razan!" tanya Teguh, menyadari keadaan Razan yang sedang tidak baik-baik saja, airmata Razan sudah menganak sungai.
"Hikss..." Akhirnya butiran bening itu jatuh juga. Razan mengenang luka dan betapa hancur hatinya tanpa sosok ibu. Dunia seolah-olah berhenti berputar, semangat hidupnya sirna seketika. Ia mampu bertahan sampai saat ini karena sosok sang Ayah. Ia berjuang keluar dari keterpurukan dengan kaki kecil melangkah sendiri agar bisa menjadi putri kuat seperti sosok ibunya untuk menjaga ayah dan adiknya Ilham. Alhasil ia harus berurusan dengan skedul, meski tak memberi pengaruh banyak, ia yakin semuanya dimulai dengan hal-hal kecil.
"Zan, kamu kenapa tiba-tiba?" ulang Teguh, namun ia mulai paham apa yang menyebabkan Razan menangis mendadak seperti ini. Inilah alasan kenapa Teguh selalu setia mendampingi Razan. Teguh sangat mengenal baik bagaimana Razan.
"Gak papa Mas Guh, hanya saja aku gak tega melihat nasib adik-adik itu. Masih kecil sudah ditinggal oleh sosok ibu. Mereka kuat yah! Mampu bertahan hidup ditengah kondisi yang sangat memprihatinkan. Pasti sakit rasanya. Pasti mereka sangat menderita". Razan menyeka air matanya yang tak ingin berhenti. Ia tak boleh terlihat lebih menyedihkan.
"Zan, kamu harus kuat, kamu harus tahu ada aku disini. Kamu jangan merasa bahwa tidak ada yang peduli dengamu. Ayahmu, adikmu dan aku akan selalu mengenggam tanganmu. Jadi, jangan merasa sendiri yah ". Tangan Teguh ingin meraih pipi mulus milik Razan, menghapus butiran bening yang tersisa. Namun tangan Razan dengan cepat menghapus lebih dulu airmata itu.
"Eh iya Mas, Makasih yah... aku beruntung memiliki abang sebaik kamu". Teguh menarik kembali tangannya. Perasaannya sedikit berbeda ketika Razan memberi penekanan pada kata 'abang'. Apakah Razan hanya menganggap ia hanya sebatas abang selama ini? Kenapa Teguh sedikit kecewa? untuk hal-hal yang bahkan ia tidak mengerti alasannya
"Ayok Mas, kita pergi, jangan biarkan kelaparan menyakiti lebih lama perut kecil mereka". ajak Razan. "Mas!! Mas Teguh!!" panggil Razan setengah teriak. Sekarang giliran Teguh yang dibuat terdiam.