" Assalamualaikum adik-adik," sapa Razan kepada kedua bocah itu. "sudah pada makan?" tanyanya kemudian. Seorang bocah yang bernama Kosim, memalingkan wajah dengan angkuh.
"Belum"
"Sudah," jawab kakak beradik itu saling berlawanan.
"Bang Kosim! kita kan belum makan!!" tegas adiknya yang bernama Koko. Kosim dengan menatap tajam kepada sang adik seakan sedang menunjukkan kekesalannya. Razan dan Teguh menatap penuh tanda tanya.
"Tidak usah berharap sama mereka, mereka datang cuma kasihan lihat kondisi kita yang tak seenak kehidupan mereka ko". ketus Kosim.
Ia menatap Razan dengan tatapan luka, sebelum akhirnya memalingkan wajah. "Lebih baik simpan makanan itu untuk kakak sendiri.Negeri ini kan sudah tidak peduli terhadap nasib anak-anak sampah seperti kami" tambah Kosim, ia menarik tangan adiknya untuk meninggalkan tempat itu. Razan dan Teguh yang tak mengerti apa-apa hanya terpaku mendengar perkataan Kosim. Ia tak menduga bahwa kedatangannya tidak disambut dengan baik.
"Dek, dek... tunggu! mau kemana? kakak datang kesini mau ngasih makanan, kakak tau kamu dan adikmu belum makan" ucap Razan menghalangi langkah mereka. Teguh menyodorkan kantong kresek berisi makanan kepada mereka. " Ini, kamu ambil trus bagiin ke teman kamu yang lain."
"Sudahlah kak, jangan sok belagak baik didepan saya. Saya bisa nyari makan sendiri, mending belajar dirumah gak usah mikirin nasib kami. Kalian tidak akan paham rasanya menjadi kami, ditinggalkan oleh orangtua, hidup dijalanan, makan sisa-sisa dari kalian." Emosi Kosim sudah seperti hutan bisa membuat tenang kadang bisa membuat terbakar. Kosim memang tidak suka dengan orang-orang yang memiliki penampilan rapi. Karena ia menganggap bahwa mereka datang hanya untuk menertawakan kondisi anak-anak yang hidup dijalanan, mereka hanya bersembunyi dibalik kata kasihan lalu setelah itu berkata 'malang nian nasib anak-anak gembel itu, untung kita tidak jadi mereka'.
"kalian orang-orang kaya sama saja" tambah Kosim, ia menarik kembali tangan Koko untuk diajak pergi menjauh dari kedua orang itu. Namun Koko menahan tangan kakaknya, Kosim berdalih menatap Koko, adapun Koko menggelengkan kepala pertanda bahwa ia sangat menginginkan makanan itu.
" Begini, kakak tidak mengerti apa maksudmu, menyamakan kakak dengan orang-orang diluar sana. Kakak kesini bukan karena kakak kaya untuk membantumu. Karena kakak paham betul bagaimana rasanya tidak berpunya. Seperti kalian, kakak juga sudah tidak memiliki ibu," jelas Razan, ia tidak ahli dalam berekting. Tapi apa yang disampaikan olehnya, berhasil membuat kedua bocah itu memalingkan wajah lalu menatap dengan sendu.
"Kakak tahu, kalian tidak menginginkan posisi ini. Tapi kalian harus ingat masih ada orang-orang baik yang tersisa diluar sana. Kalau kamu berpikir bahwa kehidupan kamu begitu miris, menderita, menyedihkan. Kamu bukanlah orang satu-satunya. Saat kamu mau berdamai dengan lingkungan disanalah kamu menemukan kebahagiaan," ungkap Razan dengan penuh arti. Kosim salah memandang kehidupannya mewah nan glamor, Kosim melupakan satu hal bahwa gadis itu berusaha memikirkan semuanya, ia hanya perlu kuat untuk berpura-pura kuat.
"Mama kakak, meninggal juga?" tanya Koko tiba-tiba. Pertanyaan lugu itu berhasil membuat Razan tersenyum tipis.
"Iya, ibu kakak meninggal sejak 3 tahun lalu. Jadi, sekarang kita samaan deh! kalian gak boleh menganggap semua orang sama saja. Harus tetap jadi anak baik seperti yang mama kalian ajarkan,"jawab Razan, meski sungguh terluka. Ia harus tetap tersenyum dihadapan bocah-bocah itu.
Teguh tidak memalingkan netranya, sedari tadi ia menatap Razan. Betapa Razan mampu membuat luluh kedua bocah itu dengan cara nya sendiri. Sangat jarang ia menemukan gadis seperti Razan dalam era ini.
"Okeee, nanti kita lanjutin lagi ngobrolnya, yuk makan dulu" celetuk Teguh, ia kembali menyodorkan kantong kresek berisi makanan itu kepada Koko.
"Ayo Koko, kita pergi" ajak Kosim dengan penuh amarah. Ternyata Kosim benar-benar keras kepala. "Gak mau, Koko mau makanan itu" rengek sang adik. Koko langsung menjangkau makanan yang diberikan Teguh.
"Koko...siapa suruh kamu ambil makanan itu" . Kosim menarik kembali kantong itu, namun Koko menahannya. Teguh yang mulai kesal melihat sikap Kosim yang tidak bisa diajak kerja sama, akhirnya menjauhkan tangan Kosim dari kantong kresek berisi makanan tersebut. "Kosim!! Kamu benar-benar yah, kamu tidak bisa lihat kalo adik kamu itu lapar! kenapa sih keras kepala banget," hardik Teguh.
"Mas, mas jangan dimarahin" bisik Razan, ia tahu siapapun bisa kesal melihat sikap Kosim. Namun menyalahkannya bukanlah cara yang tepat. "Kosim-kosim, Haa" Razan menghela nafas gusar. Ia kehilangan cara menghadapi bocah yang memiliki luka yang amat dalam ini . "Sekarang, kamu terserah mau menganggap kakak bagaimana. Yang lebih penting adalah adik kamu, dia lapar, kamu ambil makanan ini setelah itu kakak akan pergi. " ucap Razan memberi saran.
"Ayok Ko, kita pergi..." Kosim menarik tangan adikknya. Kantong kresek makanan itu berhasil dibawa oleh Koko. Kosim membiarkan adiknya membawa makanan itu, karena seperti yang dibilang Razan, sekarang adiknya benar-benar kelaparan . Langkah Kosim terhenti selang beberapa saat. Ia membalikkan badan. " Makasih makanannya" singkat Kosim, meski raut wajahnya masih terkesan datar.
"Eh Kosim!!" panggil Razan, yang dipanggil tidak menoleh. " Kapan-kapan kakak main kesini, boleh yah?" tanya Razan, ia masih berharap Kosim memberi ruang untuknya.
" Iya, boleh banget kak" kali ini si lucu Koko yang menyahut, dengan senyum manisnya. Kosim hanya diam tidak mengiyakan ataupun menolak. Meski suasana hening beberapa detik, Razan yang masih menunggu jawaban Kosim dengan harapan besar Kosim mau menerima kehadirannya lagi. "Sudahlah ayok kita balik." Tak kunjung mendapatkan jawaban, akhirnya Teguh mengajak Razan untuk balik.
"Ya, terserah" singkat Kosim. Meskipun terkesan dingin, sudah sukses membuat Razan senang, ia tersenyum menampakkan sederet gigi putih miliknya. Hingga akhirnya Kosim dan Koko benar-benar menghilang. Razan berpikir bahwa ini memang tidak mudah. Hidup tidak hanya tentang bahagia, kadang harus kecewa, kehilangan, kadang juga harus berkorban.
"Jan, kita pulang?" ajak Teguh, yang diajak malah liatin kendaran berlalu lalang.
"Apa sih gunanya kaya? lihat mereka yang punya mobil itu, kerja cari uang dari pagi sampai malam. Menikmati kemewahan sendiri. Ternyata benar konstitusi telah berbohong!" sahut Razan tiba-tiba. Bukan menjawab pertanyaan Teguh, ia malah melalangbuana dengan pikiran sendiri. Teguh menelan salivanya, kalimat apa yang cocok untuk menanggapi pernyataan Razan yang dengan sesuka hati mengganti topik pembicaraan.
" Serahkan saja sama pemerintah Zan, mereka sedang berusaha. Sudahlah ngapain mengkritik kehidupan orang lain. Mereka tahu apa yang mesti dilakukan," jawab Teguh dengan santai. Ia ingin segera keluar dari obrolan yang berbaur politik, sebab bukan seleranya.
Razan berdalih menatap Teguh datar. " Pasal 31 ayat 2 bukankah setiap negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. Mas lihat Kosim dan Koko tadi, harusnya diusia mereka , mereka tuh mempunyai hak untuk mengeyam pendidikan, bukan malah mengais-ngais sisa-sisa makanan," tegas Razan.
"Zan, kita tak bisa bertindak banyak. Mengkritik pemerintah sama saja buang-buang waktu, mereka juga gak bakalan dengerin, sudah lah... kamu jangan membahas terlalu jauh" ucap Teguh malas. Mereka mulai berjalan kearah motor yang dipakir digang depan.
"Bukankah fakir miskin dan anak-anak terlantar itu dipelihara negara, mana coba? omong kosong!!" ternyata Razan belum juga mengakhiri obrolan mereka.
"Aisshh, masih ada lagi? ungkapkan saja Rajan, ungkapkan uneq-uneqmu itu" kesal Teguh, kenapa justru ia yang malah terkena getahnya.
"Aahh, percuma curhat sama antek-antek koruptor!!" ketus Razan, membuang muka.
"Waaahhh,, penghinaan ini aku laporin kamu yah pasal 310 KUHP". Teguh menunjuk tepat diwajah Razan, seoalah tak terima dengan tuduhan itu.
" Ampun bang jago, canda bang jago!! " goda Razan, sembari merapatkan kedua tangannya, bak sedang memohon pengampunan. Adapun Teguh tak bisa menahan tawanya melihat tingkah Razan.
Perjalanan mereka berakhir, Teguh mengantarkan Razan pulang untuk beristirahat karena mereka sangat letih melakukan penjelajahan dari sedari pagi.
Razan membuka pintu rumah. "Assalamualaikumm, Aku pulang," ucapnya. Tidak ada jawaban, dengan menyunggingkan raut wajah ceria, ia melihat Abah dan si bocah tengil tampak mengobrol sangat serius diruang tamu. Lebih tepatnya Ilham yang banyak bicara . Adapun Abah seperti biasa, menjadi pendengar yang baik. Raut wajah Razan tiba-tiba berubah datar ketika dia menguping apa yang Ilham katakan kepada Abah.
" Apa-apaan an?!! shiit Ilham mulai lagi, sayangnya si Abah mau saja mendengar cerita ngawur itu" batinnya.