Aksa melompat turun dari motor beat milik Arjuna, tanpa sepatah katapun segera melangkah memasuki area sekolahnya. Meninggalkan Arjuna yang mencak-mencak karena kelakuan tidak sopan adik satu-satunya itu.
"Kurang ajar," mahasiswa itu mendengus kesal. Namun sebuah ide jahanam terlintas di otaknya membuat Juna tertawa dalam hati, "Woy Sarah! Aksarah! Kotak makan gambar Elsa kesayangan lo ketinggalan nih,"
Langkah Aksara berhenti karena teriakan sang kakak, anak itu menarik napas panjang mecoba menekan emosinya. Anak itu kemudian berbalik, wajahnya memerah karena kesal, "Arjuna Dhilan Adyatma," serunya.
"Ganteng," balas sang kakak cepat, lalu tanpa pikir panjang segera tancap gas pergi dari kawasan sekolah Aksa sebelum adiknya itu mengamuk dan melemparkan batu kepadanya—cukup Mas Abim saja menjadi korban Mas Yudhis pagi tadi, Arjuna jangan.
Aksa menghela napas panjang, kembali berbalik dan melanjutkan langkahnya, mencoba secepat mungkin sampai di kelasnya.
Kota Bandung dirundung mendung dan kabut pagi ini. Udara dingin begitu menusuk dan anehnya Aksa baru menyadarinya.
Rasa dingin itu semakin menjadi ketika ia memasuki kelas, sial siapa yang menghidupkan ac pagi-pagi begini.
Setelah meletakkan tasnya, Aksara mulai memindai seluruh isi kelas, mencari di mana letak remot ac. Namun nihil, benda itu tidak di ketahui keberadaannya.
"Ada yang tau remot ac di mana? Tolong di matiin dong," serunya.
Beberapa siswa menoleh, kompak menggeleng bersamaan.
"Kita juga kedinginan dari tadi,"
Aksara mendengus, memilih kembali duduk di bangkunya, matanya menatap keluar melewati jendela yang berembun. Perlahan tapi pasti air hujan mulai menetes dari langit, awan gelap menutupi eksistenti matahari pagi ini.
Aksara menghela napas panjang, suasana pagi ini sangat cocok untuk bergalau ria.
Terlebih pujaan hatinya Nathalie tengah berada di Belanda entah apa alasannya. Ia merasa rindu.
Aksa tertawa dalam hati, mengobrol saja tidak pernah, bagaimana bisa ia merasa serindu ini kepada orang yang tidak terlalu di kenalnya itu.
Nathalie Agnesia—namanya cantik secantik parasnya. Sudah dua tahun ini gadis cantik itu berada di kelas yang sama dengan Aksa, tapi ajaibnya mereka tidak pernah benar-benar mengobrol bersama. Mungkin hanya sekadar bertegur sapa dan mengobrol tentang pelajaran. Selebihnya tidak ada interaksi yang berarti diantara keduanya.
Tapi Aksara tidak peduli. Ibuk pernah berkata, cinta dan perasaan itu tidak pernah salah. Hanya bagaimana cara manusia menghadapinya.
Aksara membenarkan ucapan ibuk dalam hati, cinta itu naluriah. Tidak bisa di paksakan, datang tanpa alasan, lalu pergi tanpa berpamitan.
Cinta itu sama seperti takdir, tidak bisa di ubah walaupun manusia menghendakinya. Tak ayal seseorang berusaha mati-matian untuk merubahnya, namun jika hati dan tuhan tidak menghendaki apa boleh buat, semuanya akan berakhir sia-sia.
Aksara kembali menatap ke depan ketika suara ketukan sepatu memasuki indra pendengarannya, berpendar dalam deru hujan deras yang mengalun merdu.
Saat itulah saat di mana seorang Aksara Haidar Adyatma mencoba dengan segenap jiwa raga menahan senyum lebarnya ketika mendapati Nathalie Agnesia sang pujaan hati memasuki ruang kelas. Dengan seragam sekolah yang rapih dan rambut di kuncir kuda, sepatu pantofel hitamnya kontras dengan kulitnya yang pucat.
Gadis cantik dengan rok sekolah sepanjang lutut itu berjalan dengan anggun, lalu berhenti di hadapan Aksa, ia tersenyum sekilas lalu mendudukkan diri di bangkunya bahkan tanpa sempat Aksa balas senyumnya.
Ya, Nathalie duduk tepat di bangku depan Aksara, membuat pemuda itu harus menahan diri untuk tidak bertingkah konyol di depan gadis pujaannya karena salah tingkah.
Ibuk tolong selamatkan Aksa, jantung anakmu ini rasanya ingin meledak.
"Kenapa ngelamun?" teman sebangku Aksa—Agam—berseru.
Aksa menoleh lalu menggeleng, "Kaya ada yang kelupaan tapi apa ya?" cuitnya.
Agam tampak berpikir selama beberapa saat, "Ya, mana gue tau kan yang barangnya ketinggalan lo bukan gue," balasnya cuek, "Gue mau nyamperin Neng Anya dulu jangan kangen lu,"
"Mentang-mentang udah jadian," anak itu berdesis, memandangi punggung Agam yang hilang dari balik pintu.
"Aksara,"
"H—ha?" sang empunya nama tergagap, Nathalie berbalik untuk menatapnya, gadis itu tersenyum sukses membuat Aksara plonga plongo seperti orang bodoh, "Eh iya Nath kenapa?"
"Boleh pinjem catetan? Kayanya hari ini Angel nggak masuk deh,"
"Oh iya boleh," jawab Aksa cepat, pemuda itu denan kikuk segera mengeluarkan beberapa buku catatan miliknya dari dalam tas lalu memberikannya kepada Nathalie, "Tulisanku agak susah di baca, nggak papa kan?"
"Masih bisa di baca kok. Makasih ya, ku pinjem dulu,"
"Iya pinjem aja nggak papa,"
***
Aksara merengut, pelajaran sejarah tengah berlangsung dan seharusnya ia senang karena ini pelajaran kesukaannya namun tidak hari ini. Bagaimana bisa Pak Agung dengan teganya menjadikan Agam dan Nathalie dalam satu kelompok sedangkan ia harus berada dalam satu kelompok bersama Karin—si cerewet yang suka menebar gosip. Aksa benar-benar di buat dongkol.
"Lo jangan bengong doang dong, kerjain ini tugasnya," omel Karin.
Aksara mendengus lalu memberikan buku tulisnya kepada gadis itu, "Udah,"
Karin melongo sebentar lalu meringis, tampak ia menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal lalu segera melanjutkan tugasnya.
Aksara menarik napas dalam, mencoba mengacuhkan eksistensi Agam dan Nathalie yang tengah mengobrol berdua dengan asiknya, tangannya kemudian merogoh laci mejanya untuk mengeluarkan sebuah note book dari sana—pemberian Mas Yudhis beberapa waktu yang lalu. Masih kosong, Aksa tidak tau mengisinya dengan apa.
Tapi, tanpa ia sendiri sadari, tangannya kini beradu pada kertas, merangkai kata-kata yang—mewakili perasaannya saat ini.
Ketika Mentari datang
Membawa senyum yang berpendar dalam kehangatan
Membawa suka cita dalam setiap lamunan
Tawamu mengalun Indah bak lautan
Senyummu merekah bagai pualam yang megah
Berdiri kokoh, siap menerjang badai kehidupan yang tak berkesudahan
Tak gentar akan kikisan jiwa yang semakin melebar
Langkahmu tetap terjaga, tetap maju dengan penuh sahaja
"Wih bagus banget,"
Aksara terperanjat ketika suara melengking Karin memasuki indra pendengarannya, gadis itu kemudian merebut note book miliknya tanpa aba-aba, "Gue kasih ke tim jurnalistik ya biar di pajang di mading,"
"Nggak usah,"
"Tapi sayangnya gue nggak menerima penolakan," gadis itu tertawa riang, "Nath—Nathalie,"
Sang empunya berbalik untuk menatap Karin yang memanggilnya, "Iya Rin, kenapa?"
"Istirahat kedua anterin ke ruang jurnalistik ya,"
"Mau ngapain?"
"Nih puisinya Aksa bagus, cocok banget di pasang di mading,"
"Mana lihat," Nathalie mencondongkan tubuhnya, matanya melirik penasaran pada note book yang berada di genggaman Karin.
"Jang—"
"Nih," belum sempat melarang, note book milik Aksara sudah berada di tangan Nathalie.
Pemuda itu tersenyum malu-malu ketika decakan kagum meluncur dengan mulus dari bibir merah muda milik sang pujaan hati, "Bagus banget. Kamu kenapa nggak masuk bahasa aja sih Sa?"
"Lebih suka sejarah aja hehe," kalau aku masuk bahasa aku nggak bakalan ketemu kamu Nath, lanjut Aksara dalam hati.