Chereads / GRAFFITI AREA / Chapter 4 - The Resonance of Magic

Chapter 4 - The Resonance of Magic

Resonansi merupakan peristiwa ikut bergetarnya suatu benda karena pengaruh getaran dari benda lain di sekitarnya yang mempunyai frekuensi yang sama dengan benda tersebut. Resonansi tidak bisa dipisahkan dari getaran dan bunyi, karena dari getaran tersebut resonansi akan menghasilkan suara.

Proses terjadinya resonansi ialah saat sistem mampu menyimpan dan mudah mentransfer energi antara dua atau lebih mode penyimpanan yang berbeda.

"Pada kasus ini, kepala sekolah terkena sihir resonansi dan sihir tersebut diaktifkan oleh Akita saat masuk ke ruangan kepala sekolah, Kaito Hirazawa."

Fuyuki menambahkan penjelasan resonansi sihir, sementara Kei hanya menyimak penjelasannya. Karena fuyuki tahu kalau Kei tidak paham dengan penjelasan tersebut, Fuyuki membuat ilustrasi.

Ilustrasi pertama: Kei menelepon Kaito. Kei mentransfer sinyal dari sebuah penyimpanan berupa ponsel dan Kaito menerimanya (Kaito masih di ruangan). Suara yang dihasilkan Kei hanya getaran dari sambungan telepon yang diterima secara langsung oleh Kaito dan tidak beresonansi dalam ruangan tersebut.

Ilustrasi Kedua: Akita yang dilengkapi chip sensor dari Kei mengetuk pintu kepala sekolah kemudian Akita membukanya dan beliau tidak ada di dalam ruangan. Secara tak sadar getaran dari ketukan yang Akita hasilkan merupakan resonansi berupa suara ketukan yang dapat didengar oleh kepala sekolah dan orang lain yang ada di dekatnya (sebelum chip pada Akita dipasang, seseorang telah memasang sihir pada pintu ruangan kepala sekolah sehingga sensor pada chip Akita tidak berfungsi).

Ilustrasi Ketiga: Akita membuka pintu dan kepala sekolah tidak ada di ruangannya. Kemungkinan besar antara Akita atau kepala sekolah, salah satunya telah dipindahkan pada dimensi yang berbeda sehingga tidak dapat melihat satu sama lain. Lalu, Akita yang menelepon Kei dari ruangan tersebut adalah Akita yang sudah berada di dimensi lain, bisa jadi yang kembali itu hanya suara Akita yang satu-satunya Kei dengar.

Ilustrasi Keempat: Ketika Akita kembali, kode chip sensor Kaito dan Kei berubah menjadi Kaito dan Akita. Maka dari itu Kei hanya bisa mencari chip sensor Kaito melalui Akita, sementara sebagian diri Akita yang berada di dimensi lain menuntun Akita di dunia ini dan mempertemukannya dengan Kaito. Akhirnya chip mereka aktif saat berdekatan. Tetapi, suara Akita dari dunia ini tidak dapat menjangkau Kaito yang tubuhnya sudah beresonansi di dimensi lain. Ketika suara Akita menjauh, maka Kaito menghilang karena satu-satunya yang Kaito dengar hanyalah ketukan Akita sebelum masuk ke ruangan kepala sekolah.

"Jadi di mana Akita yang asli dan Kaito yang asli saat ini?" Fuyuki melontarkan pertanyaan yang sulit pada Kei.

"Mana kutahu!?" kata Kei sambil menggelengkan kepalanya, "Tapi, aku yakin Akita yang saat ini adalah Akita asli."

"Bukan."

"Eh-!? (Kei Terkejut) Lalu bagaimana dengan Hana-chan?" ia menambahkan pertanyaan pada Fuyuki.

Fuyuki menghela napas, dan kembali melanjutkan bicaranya, "Hana yang kembali adalah penyihir itu."

"Bagaimana bisa?"

"Beberapa struktur Leweis dipakai bersama-sama untuk menjelaskan struktur molekul. Tapi struktur tersebut tidak tetap, melainkan ada sebuah isolasi antara ikatan rangkap dengan elektron saling berbolak-balik, makanya disebut resonansi. Hana-sensei memiliki ikatan darah dengan Kaito-sensei dan molekul keduanya terisolasi menjadi struktur Leweis kemudian sihir dengan struktur Leweis tersebut dipasang pada pintu ruangan kepala sekolah sehingga menghasilkan bentuk peralihan dari struktur resonan yang disebut hibrida resonan."

"Jadi Hana yang saat ini adalah ... Hana yang sudah menjadi penyihir?"

"Ya. Terlepas dari kecelakaannya Hana atau tidak, pada dasarnya Hana akan koma juga. Saat diaktifkan, elektron elevansi itu akan diangkut ke otak dengan mengabaikan elektron yang tidak berpasangan. Karena di saat Kaito-sensei dan Akita Hongo beresonansi bukanlah isomer atau dirinya yang asli dan satu-satunya yang asli adalah molekul yang bersangkutan." Jelas Fuyuki sambil mengaitkan sihir dengan teori resonansi dalam pelajaran Fisika

Kei bertanya-tanya "Sejak kapan Hana belajar sihir?" dia memiliki keinginan kuat untuk menguak Hana secara pribadi. Pikiran itu langsung terbaca oleh Fuyuki.

"Yamada-san pasti bertanya-tanya sejak kapan Hana mempelajari sihir?"

"Bagaimana kau tahu isi pikiranku?" tanya Kei heran.

"Aku hanya menebaknya. Melalui resonansi tubuhmu."

"Kamu bisa sihir juga?"

"Tidak. Sihir dan Spiritual umumnya berbeda. Sihir dapat mengendalikan apa pun objek yang berada dalam jangkauannya, sementara kemampuan spiritual hanya bisa dikendalikan melalui potensi diri sendiri. Hana yang asli bukanlah penyihir tetapi Hana yang saat ini adalah penyihir. Hana yang asli telah dirasuki oleh penyihir."

"Buruk sekali."

"Sihir dikenal juga sebagai ilmu hitam, yang sebagian orang jiwanya diserahkan kepada Iblis. Bahkan orang yang bukan Atheis sekalipun bisa mempelajarinya meski tidak mengontak langsung. Kemungkinan besar, kegiatan yang dilakukan Kaito-sensei ada yang berhubungan dengan semua ini dan membuat Hana jadi penyihir."

"Lalu kenapa Hongo harus menderita?"

"Hongo adalah Intermediet-nya."

"Aku tidak begitu paham. Jadi selama ini Akita menjadi penghubung Hana dan kepala sekolah, begitu?"

"Kurang lebih seperti itu."

****

Waktu sudah mulai petang, sekolah akan ditutup 30 menit lagi.

"Tuan muda, terima kasih telah bersedia datang kemari." Kei membungkuk kepada Fuyuki

"Ya, tak masalah." Fuyuki membalas hanya dengan jawaban singkat.

"Yamada-san, kalau di sekolah panggil saja nama asliku. Ini kan tempat umum sementara identitasku sangat dirahasiakan. Aku adalah muridmu saat ini."

"Baiklah."

Kemudian Fuyuki pergi dari ruangannya.

Sepertinya Kei melupakan sesuatu ....

Kei mencoba mengingat-ingat apa yang akan dilakukannya kepada bosnya. Kei membereskan gelas yang ada di meja kemudian ia mengingatnya.

Dilihatnya Fuyuki yang melangkah masih tak jauh dari ruangannya.

"Anu, Fuyuki Matsuda!" teriak Kei, "Bagaimana permintaanku?"

Fuyuki berhenti sejenak dan menoleh ke arah Kei "Saya akan mempertimbangkannya."

Lalu Fuyuki melanjutkan langkahnya dan pergi meninggalkannya.

Dalam hati Kei berkata "Terima kasih."

Kei merasa tertolong, kini Kei memiliki senyum bahagia di raut wajahnya. Ia yakin misteri yang ada dalam kehidupannya akan segera berakhir dan bisa berakhir dengan menolong Akita.

Tetapi, di sisi lain ....

Fuyuki kembali memikirkan kasus ayahnya. Sementara Madara menunggunya di depan pintu masuk sekolah.

"Oi!" sapa Madara pada Fuyuki.

"Kau masih ada di sini?" Fuyuki menoleh ke arah Madara dan menyapanya balik.

"Aku menunggumu."

Fuyuki menghela napas, dan tampak lelah memikirkan posisi sulit yang ia dapatkan baru-baru ini. Fuyuki dan Madara saling pandang, Madara berharap Fuyuki memikirkannya dengan sungguh-sungguh.

"Madarame, aku tidak ingat tentang apa yang kita bicarakan dulu." Fuyuki benar-benar tidak mengingatnya.

"Ya tidak apa-apa." Madara yang pasrah memalingkan pandangannya dari Fuyuki dan menunduk dengan muka sedih.

Melihat Madara yang tengah tertunduk sedih seperti itu, Fuyuki merasa prihatin. Pasti ada hal berat yang dilalui Madara sama seperti apa yang Fuyuki rasakan saat ini. Dalam hati Fuyuki berkata "Haruskah aku mengabaikannya?" Sebenarnya Fuyuki ingin menolongnya. Namun, ada hal tabu yang tidak bisa dilakukan dalam dirinya.

Fuyuki memejamkan mata dan kembali memikirkannya dengan matang, untuk apa ia berada di sini?

Jawabannya hanya untuk menjalankan wasiat.

Namun, Fuyuki berpikir ada hal yang harus ia lakukan dalam menjalankan wasiat itu. Fuyuki juga bukan orang yang suka mengabaikan orang lain, selama dirinya merasa mampu pasti ia akan menolongnya tanpa meminta balasan dari orang tersebut.

Fuyuki bergumam, "Tidak ada alasan untuk menolong orang lain."

"Huh?" Madara sempat mendengarkan gumam Fuyuki.

"Madarame, ikut aku!" ajak Fuyuki sambil mengulurkan tangannya.

"Ke mana?" Madara heran kemudian membalas uluran tangan Fuyuki dengan tangannya.

"Ayolah! Mungkin aku bisa membantumu." Fuyuki tersenyum tipis.

Senyum Madara yang hilang tadi kembali meski tak tahu apa yang akan Fuyuki rencanakan, "Baiklah." Selama itu bisa dibilang membantu, Madara akan mengikutinya ke mana pun.

Madara percaya pada Fuyuki yang sejak saat itu (sejak meninggalkan kuil) bahwa dia dapat membantunya.

"Fuyuki Matsuda." Madara tiba-tiba mengucapkan nama Fuyuki.

"Eh, ya? Ada apa?" Fuyuki heran dengan Madara yang tiba-tiba memanggil namanya.

"Tidak, tidak ada apa-apa." Madara menggelengkan kepala. "Aku hanya ingin memanggil nama itu saja."

"Aneh!"

Benar, tidak ada alasan ....

Tidak ada alasan untuk menolong orang lain.