Chereads / The second man for Sigi / Chapter 2 - Kesalahan

Chapter 2 - Kesalahan

"Eros ...," sebut suara manja di sana. Mungkin setelah tahu panggilannya di terima, tanpa berpikir lain suara itu menganggap bahwa Eroslah yang sedang menerima panggilan. "Kamu sudah pulang, sayang? Aku merindukanmu." Suara penuh dengan kata cinta terucap disana. Sigi tidak hanya mendengar kalimat itu sendirian. Setelah suara perempuan itu menyebut nama Eros dengan nada penuh sensual, Sigi menekan tombol loud speaker. Kalimat itu bisa di dengar oleh mereka berdua.

Wajah Eros menegang, begitu juga tubuhnya. Sebuah tamparan mengenai wajahnya dengan telak. Tanpa memakai telapak tangannya, Sigi sudah bisa memukul Eros dengan keras.

"Eros, kenapa kamu diam saja?" tanya suara itu mulai sadar bahwa sejak tadi tidak ada suara Eros dalam sambungan telepon ini. "Eros? Kamu marah karena aku tidak mau di sentuh olehmu malam itu saat kamu ingin bercinta?" Pertanyaan yang mengandung banyak unsur sensualitas. Panas. Telinga Sigi panas. Wajanya memerah seperti berada sangat dekat dengan api. Matanya juga panas. Sigi ingin menangis.

Eros menelan salivanya sendiri. Suara manja yang biasanya indah dan membuai dalam kehangatan, sekarang seperti sedang menyudutkannya. Menciptakan rasa menyeramkan yang begitu mencekam. Ingin rasanya Eros segera menutup ponselnya untuk menghentikan obrolan ini.

"Eros ...," sebut perempuan itu penuh perhatian dan sayang. Ya, suara ini tidak akan bisa mengucapkan kalimat manja danĀ  sayang kepada Eros kalau mereka tidak dekat dan sering bertemu. Sigi menggertakkan gigi-giginya sambil mengatupkan rahang. Perempuan yang masih muda ini ingin mencabik, memotong, dan mengulitinya. Tangan satunya yang tidak beraktifitas apa-apa mengepal kuat.

"Maaf, Eros tidak bisa berbicara denganmu kali ini." Sigi memberikan jawaban atas rasa heran dan gelisah yang tersirat dalam suara perempuan itu. Perempuan disana tercekat mendengar sebuah suara perempuan menjawab pertanyaannya. Eros juga menahan napas sejenak karena terkejut. Jantungnya berdetak kencang.

"K-kamu ...." Bicara perempuan itu mulai terbata. Dia mungkin tidak menduga akan di sahuti oleh suara perempuan.

"Hai, Nara. Ya. Aku bukan Eros. Aku Sigi, istrinya." Jawaban tenang yang bisa di ucapkan Sigi membuat perempuan itu justru gelisah. Eros melihat Sigi dengan wajah pucat pasi. Lelaki yang menurut hukum adalah suaminya itu menjadi bungkam.

Ketakutan langsung menyerbu wajah tampannya. Eros tidak bisa membantah atau menyela. Dia tertangkap basah. Kalau bisa, Sigi ingin menangis sekarang. Meluapkan marah dan sakit hatinya. Sekarang, di depan Eros suaminya. Ia ingin berteriak sekencang-kencangnya. Memaki dan menghujat dia. Lelaki yang mengesahkan hubungannya tapi juga membuatnya jengah dengan perbuatannya. Namun entah di karenakan apa, Sigi tidak bisa menitikkan airmata.

"Ada yang ingin kamu katakan, Eros?" tanya Sigi seraya menyodorkan ponsel itu ke arah Eros. Ponsel masih tersambung. Ini seperti jalan untuk menyuruhnya bunuh diri. Sigi seolah memberikan pisau tajam agar Eros menggorok lehernya sendiri. Manik mata Eros hanya melihat ponsel yang ada di tangan istrinya. Lalu mendongak, untuk melihat ke arah raut wajah sangat dingin yang tercipta di dalam wajah Sigi, istrinya.

"Tidak ...." Dengan suara parau Eros menjawab. Suaranya juga seperti di paksakan untuk dapat mengeluarkan kata-kata.

Nara di sana masih juga diam tanpa menutup ponselnya. Menit dan detik pada ponsel Eros masih berjalan. Mungkin karena terkejut, Nara tidak segera mengakhiri pembicaraan.

"Tutuplah Nara. Jika tidak ... aku yang akan berbicara denganmu. Panjang lebar dan tidak dengan bahasa yang halus," ucap Sigi penuh dengan geraman nada marah yang mengental. Seperti ingin mencabik-cabik dan membunuh. Terdengar nada ponsel di putus. Itu pertanda Nara mengakhiri sambungan ponselnya.

Perempuan di depan Eros menghela napas panjang. Ada rasa sakit yang teramat dalam di sana. Setelah menundukkan pandangan dan diam sejenak menata suasana hati, Sigi mengalihkan pandangan ke arah Eros.

"Sekarang bicaralah ... Apa yang bisa kamu katakan padaku lagi selain pembantahan? Bukti bahwa kamu berselingkuh sudah ada. Lalu apa yang akan kamu katakan?" Nada bicara Sigi tidak meninggi. Justru terkesan datar. Tidak ada amarah meluap-luap di sana. Namun pertanyaan istrinya sanggup membuat Eros gagap.

"T-tidak a-ada."

****

Sigi bangun tidur dengan pening menyerang kepalanya. Kedua tangannya terangkat lalu memegang kepala. Menahan rasa nyeri yang tiba-tiba saja datang. Tubuhnya kembali meringkuk di atas ranjang. Mencoba memulihkan rasa sakit yang menyerang.

Selang beberapa menit Sigi meringkuk dan mengerang dalam kesunyian dengan posisi yang sama, akhirnya rasa nyeri itu perlahan luruh. Ini masih pagi. Matahari belum nampak menghangatkan bumi beserta isinya. Hanya saja Sigi harus bangkit dari tidur dan membersihkan diri.

Dia yang masih tinggal bersama mertua dalam satu rumah, harus bersikap sebagaimana mestinya seorang menantu yang baik. Bangun pagi dan membantu membersihkan pekerjaan rumah. Meskipun statusnya masih sebagai pengantin baru, dia tidak bisa berleha-leha saja tanpa melakukan kegiatan.

Setengah memaksakan diri, Sigi bangkit dari tidur dan menuju kamar mandi yang terletak di depan kamar tidurnya. Pusing masih ada, akan tetapi rasanya tidak sesakit tadi. Apa Sigi tadi malam tengah menangisi perselingkuhan suaminya? Ya. Sigi memang menangis walaupun bukan dengan tangisan yang menyayat hati.

Tangisannya bisa dikatakan tangisan biasa jika di lihat dari segi itu adalah sakit hati yang parah. Sigi tidak meraung-raung hingga membuatnya kelelahan dan pusing. Mata Sigi tidak terpejam dalam beberapa jam tadi malam. Berpikir, berpikir, dan berpikir. Hingga waktu menunjukkan pukul tiga dini hari. Itupun mata Sigi memejam perlahan bukan karena dia ingin. Mata itu kelelahan hingga akhirnya tidak sanggup menuruti kemauan si empu mata.

Mata Sigi menemukan suaminya meringkuk di lantai beralaskan kasur lantai. Lirikan muak terlempar begitu saja tanpa terencana. Tadi malam dia memang tidak mengeluarkan kata-kata apapun setelah menangkap basah tersangka perselingkuhan itu.

Setelah membersihkan diri, kaki Sigi melangkah menuju dapur. Bermaksud membantu ibu mertuanya yang hendak memasak.

"Kamu sudah bangun Sigi?" tanya mama Eros saat melihat menantunya muncul sudah rapi dan bersih. Wajah lelah terlihat dan membuat mertuanya ingin bertanya, "Kamu terlihat lelah dan pucat. Apa kamu sakit?" tanya beliau sambil menghentikan tangannya memotong wortel di atas talenan.

"Tidak. Saya baik-baik saja," ujar Sigi berbohong. Tidak mungkin dia baik-baik saja dengan permasalahan yang muncul tadi malam.

"Benarkah? Jika lelah, kamu bisa beristirahat saja. Tidak perlu membantu mama. Sebentar lagi Bik misna datang." Itu nama seorang ibu yang seumuran dengan mama Eros. Beliau yang bekerja sebagai pembantu disini. Walaupun sudah punya pembantu, mama Eros masih rajin memasak di dapur.

"Sigi tidak apa-apa, Ma. Sigi ...." Bruk! Tubuh itu langsung ambruk di depan mama Eros saat ini juga.

"Eros! Eros! Istrimu pingsan!"

***

Bau aroma minyak kayu putih menyengat ke dalam indra penciuman Sigi. Mata Sigi terbuka dan melihat banyak orang rumah mengelilinginya. Mertua, Kisi (adik perempuan Eros yang masih sekolah), bik Misna berada di bagian ranjang paling jauh dari kepalanya sambil memijit kakinya. Juga ada Eros yang berdiri di samping. Meski lemah, Sigi masih tidak bisa menghilangkan sorot mata dinginnya yang menusuk.

"Kamu sudah siuman, Gi? Hhh ... syukurlah. Mama sangat panik tadi." Mama yang menjadi saksi di tempat perkara pingsan tadi menghela napas sangat lega.

"Kakak tidak apa-apa?" Kisi juga terlihat khawatir dengan kakak iparnya. Sigi mengangguk. Mereka lumayan dekat karena jarak umur yang tidak jauh. Eros dan Sigi menikah saat Sigi masih berumur 19 tahun. Sementara Kisi kelas dua SMA berumur 17 tahun. Jarak yang sangat dekat layaknya seorang teman.

Eros diam tidak mengatakan apa-apa. Dia tahu, semua rasa simpatinya tidak akan mempan. Percuma.

"Sebenarnya Sigi ini kenapa, Er? Tadi pagi datang ke dapur dengan wajah lelah dan pucat. Sampai akhirnya pingsan di depan mama." Mama menanyakan asal muasal pingsannya menantunya.

"Dia mungkin kelelahan," jawab Eros singkat. Dia tahu pasti bahwa itu mungkin di sebabkan emosi tadi malam soal dia dan Nara. Ini pasti tentang isi dari kartu sd yang lalai dia letakkan. Hingga menjadi bukti kuat dia memang berselingkuh.

"Kamu lelah karena pekerjaan di kantormu ya?" tanya mama prihatin. Walaupun Eros sudah mapan, Sigi bersikeras enggan untuk berhenti dari pekerjaannya. Sebenarnya mereka berdua juga bisa menempati rumah di perumahan yang di beli Eros sebelum menikah. Namun Eros ingin, istrinya lebih dekat dulu dengan keluarganya dengan tinggal satu rumah.

Sigi hanya tersenyum lemah menanggapi. "Kenapa, Kak? Apa kakak merasa pusing lagi?" tanya Kisi cemas saat melihat kakak iparnya memejamkan mata. Mama Eros juga mencondongkan tubuh.

"Ya." Sigi menjawab masih dengan mata yang terpejam.

"Bik Misna sudah panggil dokter kemari bukan?" tanya mama Eros tidak sabar.

"Sudah Nyonya," jawab Bik Misna terkejut. Beliau tengah mendalami memijat.

"Tapi kemana itu dokter ... Ditunggu enggak muncul-muncul." Mama Eros mulai geregetan. Bik Misna terdiam. Kisi yang duduk di atas kursi dan menyeretnya dekat ranjang, mendongak. Melihat kakaknya dengan mata mencari tahu. Eros hanya diam dengan sedikit menoleh ke arah adiknya karena tahu sedang di perhatikan.

Ada apa dengan keduanya? Mengapa terasa kaku dan dingin?