Chereads / The second man for Sigi / Chapter 4 - Kau

Chapter 4 - Kau

Sigi tahu itu pasti Nara. Ponsel Sigi juga berdering. Ada nada pesan masuk. Ternyata Pima.

"Dimana?"

"Keluar."

"Sekalian ke tempat aku nongkrong ya... Aku kenalin kekasih baruku." Ada emoticon bahagia di selipkan Pima pada pesannya.

"Tidak bisa. Aku sedang bersama bosmu."

"Ow... kencan suami istri? Aku tidak bisa menganggu nih. Oke dah, bye..." Sigi mendengkus mendengarnya. Pima memang belum tahu tentang perselingkuhan itu. Dia mungkin masih berpikir bosnya adalah pria baik-baik.

"Ya," jawab Sigi pendek. Setelah Sigi menyelesaikan chatnya pun ponsel Eros masih berdering. Ekor mata Sigi melirik. Eros tidak menerima panggilan itu, tapi dirinya masih menatap ponselnya dengan gelisah. Sigi membiarkannya. Hingga akhirnya mereka sampai pada dokter kandungan.

Karena tidak mendaftar terlebih dulu, Sigi masih harus mengantre. Tempat praktik dokter ini sangat terkenal, jadi begitu ramai.

"Aku ke toilet dulu," ujar Eros. Sigi tidak menyahut. Dia hanya duduk bersandar sambil memainkan ponsel. Tidak peduli suaminya pergi. Namun pikirannya tidak pada layar ponselnya. Dia sedang menerawang memikirkan hal lain.

Hamil? Bagaimana ini? Jika dia benar hamil, apa yang akan di lakukannya? Aku masih boleh berharap karena belum di periksa. Kemungkinan mualku murni memang karena bukti-bukti menjijikkan itu.

Sigi memejamkan mata sebentar. Dia tahu suaminya ke toilet hanya sebuah alasan. Pasti laki-laki itu ingin menelepon perempuan itu. Dia mungkin tidak berani terang-terangan masih berkomunikasi dengan Nara.

Kali ini Sigi tidak ingin mencaci suaminya. Rasa sakit dan marah yang memuncak justru semakin membuatnya enggan untuk mencaci maki.

"Ibu Sigi Almeira," panggil petugas tempat praktek ini. Karena masih berpikir, Sigi tidak mendengarkan. "Ibu Sigi Almeira." Sekali lagi petugas itu memanggil.

"Kamu bernama Sigi?" tanya sebuah suara di samping Sigi membuyarkan lamunannya. Seorang perempuan berumur sekitar tiga puluh lebih tersenyum padanya. Perutnya membesar.

"Ah, benar. Ada apa?"

"Nama kamu di panggil petugas," ujarnya memberitahu. Sigi menoleh ke arah petugas yang masih menyebut namanya.

"Oh, iya. Terima kasih ...." Sigi menunduk sopan dan beranjal dari tempat duduknya. Melangkah kaki menuju pintu ruang praktek dokter Murad.

Perempuan tadi terlihat sedang mencari seseorang. "Kemana dia sekarang. Sebentar lagi aku di panggil, dia enggak muncul. Mana aku ingin ke toilet lagi ...." desahnya kesal. Dengan perutnya yang mulai membesar, perempuan itu seperti kesulitan berdiri. Hingga perempuan lain yang sedang mengantre periksa kandungan, tapi masih dengan perut kecil, merasa perlu membantu. "Tidak. Saya tidak apa-apa. Terima kasih." Bibirnya tersenyum geli melihat orang kasihan padanya. Lalu bergerak menuju toilet.

Sementara itu di dalam ruang praktek dokter, Sigi tengah di periksa. Tadi, melihat seorang perempuan muda memeriksakan diri sendirian tentu mata dokter Murad terangkat. Beliau mengira gadis di depannya adalah korban hasrat lelaki yang tidak terbendung.

"Suami saya masih di toilet." Sigi memberitahu karena dia paham tatapan tadi. Dia seperti gadis yang di hamili pacarnya dan di tinggal pergi. Meskipun keadaannya saat ini juga bisa di bilang sama seperti itu. Dia dianggap hamil saat suaminya berselingkuh. Miris. "Saya akan memanggilnya kalau memang suami saya harus disini," ujar Sigi karena sepertinya dokter Murad ragu untuk memeriksa.

"Biar petugas saya yang memanggil suami anda." Dokter Murad memberitahu lewat interphone.

***

"Panggilan untuk suami ibu Sigi Almeira harap datang ke ruang pemeriksaan dokter Murad." Panggil petugas. Pria itu datang dengan tergopoh-gopoh. Wajahnya cemas tapi tetap bersikap tenang.

"Anda mencari suami Sigi?" tanya pria itu setelah sekilas tadi mendengar petugas menyebut nama Sigi.

"Ya. Anda adalah suaminya?" tanya petugas tadi meyakinkan.

"Bisa dibilang begitu." Petugas tidak paham, tapi karena pria ini mengaku dia adalah suami Sigi, dia mempersilakan pria ini masuk.

"Anda suami ibu Sigi?" tanya dokter Murad saat melihat pria ini datang.

"Ya begitulah..." Lagi-lagi jawaban tidak pasti lagi meluncur dari pria ini.

"Istri Anda di nyatakan hamil," ujar dokter Murad dengan senyum bahagia. Namun pria ini hanya diam mendengarnya. Bahkan terlihat tidak suka. Tidak ada kebahagiaan apapun di raut wajahnya. "Istri anda hamil," ulang dokter Murad merasa beliau tidak jelas saat mengatakannya.

"Saya sudah tahu dia memang hamil dok. Apa tidak ada pemberitahuan lain selain dia hamil? Dia sehat atau tidak. Bayinya sehat atau tidak. Semacam keterangan seperti itu?" tanya pria ini tidak senang dan tidak sabar.

"Itu masih belum terbentuk dengan sempurna karena umur kehamilannya masih muda. Masih satu minggu." Dokter Murad menjelaskan dengan tenang walaupun kebingungan.

"Saya boleh melihat Sigi?" tanya pria ini kemudian. Wajahnya merasa ada yang tidak beres.

"Boleh. Istri anda ada di ranjang di sebelah sana. Silahkan." Dokter Murad membiarkan suami pasiennya menemui istrinya di balik tirai.

"Dokter, maaf mengganggu. Ada pasien dengan perut membesar ada di luar kamar mengerang kesakitan. Sepertinya waktunya melahirkan," ujar petugas di ambang pintu. Dokter Murad berdiri dan menuju pintu. Membiarkan suami pasiennya menuju ranjang yang di tutupi tirai berwarna hijau toscha.

***

Sigi menatap langit-langit ruang periksa. Dunianya yang indah seakan berubah menjadi getir dan pedih dengan cepat. Hamil? Aku hamil? Ada sesak di rongga dadanya. Dengan semua kejadian itu bagaimana dia bisa bahagia dengan berita kehamilannya.

Sigi menutup mata dan menindihnya dengan lengannya. Setelah dokter Murad tadi memeriksa perutnya dan menyatakan bahwa dia hamil, rasa sakit langsung menggelegak di dadanya. Jika saja kejadian memuakkan ini tidak terjadi, kehamilan ini akan sangat membahagiakan.

Srek!

Terdengar suara tirai di buka di samping Sigi. Dia yang sudah duduk dan sedang menangis masih menutup mata tanpa suara.

Srek!

Suara tirai ditutup lagi dengan cepat. Tidak ada suara apapun setelah tirai di buka dan ditutup lagi. Dia yakin Eros ada di sana. Di sampingnya. Pria itu pasti sedang menatapnya iba ataupun muak.

Melihat dirinya yang dengan mudah berselingkuh, menunjukkan kadar cinta yang di milikinya memang sedikit. Mungkin juga sekarang bahkan sudah lenyap tak berbekas. Pria ini pasti lebih memihak Nara daripada dirinya.

"Maaf," ujar suara pria itu. Terdengar aneh tapi Sigi sudah tidak berpikir banyak soal hal lain. Marahnya memuncak saat mendengar kata maaf saat dirinya di ketahui hamil. Maaf? Bukankah seharusnya seorang suami bahagia saat istrinya hamil?

Punggung tangan Sigi menghapus airmatanya dengan kasar. Lalu menguatkan hati untuk mendongak dan menatap suaminya.

"Kau, apa yang k-kau ...." Sigi tidak jadi meneruskan kata-katanya. Suara Sigi tercekat karena terkejut. Kata-katanya lenyap. Bukan karena kemarahan yang menyeluruh pada tubuhnya. Melainkan murni karena terkejut dan kebingungan. Matanya mengkerjap berulang-ulang. "Kau ... siapa?" tanya Sigi lambat. Bekas airmata masih ada di ujung manik matanya.

Seseorang yang dia pikir adalah suaminya ternyata bukanlah Eros. Seorang pria dengan setelan kemejanya berdiri membelakangi tirai. Matanya yang berwarna hitam pekat tengah memandanginya. Memperhatikan dengan seksama.

Sigi mengusap lagi airmata di ujung matanya dengan jari-jarinya. Mata hitam pria itu masih menatapnya. "Kau siapa? Mengapa bisa ada disini?" tanya Sigi semakin penasaran dan heran. Bukankah seharusnya Eroslah yang muncul disini? "Apa Eros menyuruhmu? Kau anak buah Eros?" cecar Sigi ingin segera tahu.

"Maaf. Aku salah mengira. Maaf, sudah masuk ruang yang salah. Aku juga sepertinya tidak mengenal pria itu." Pria ini membungkuk meminta maaf.

"Apa?" Sigi melebarkan mata tidak percaya. "Salah masuk?" Sigi mendengkus merasa lucu dan setengah mencemooh. "Keluarlah sebelum aku berteriak," ancam Sigi dingin.

"Tenangkan dulu dirimu. Hapus dengan benar airmata itu, jika memang tidak ingin ada yang melihat. Minumlah dulu sebelum berbicara dengan orang yang membuatmu sangat marah tadi. Itu akan membuatmu tetap tenang meski amarah menggelegak dalam tubuhmu," ujarnya menasehati. Mata Sigi menatap pria ini dingin. Memindai sejenak dan mengalihkan pandangan ke arah lain.

Srek! tirai di buka lagi.

"Maaf, ibu dan bapak. Ibu harus segera beranjak dari ranjang, karena ada pasien yang akan melahirkan," kata petugas tadi terburu-buru. Di balik tirai sudah ada seorang perempuan dengan perut yang semakin mengencang.

Melihat perempuan di atas kursi roda itu, pria ini terkejut.

"Aku keluarganya. Aku akan menemaninya," uajr pria ini tiba-tiba. Petugas bingung mendengar pria ini mengaku keluarga perempuan yang akan melahirkan itu.

Sigi yang langsung berdiri dengan cepat, paham. Mungkin pria itu salah mengira dirinya adalah istrinya tadi. Lalu kainya melangkah pergi menjauhi ranjang itu. Sebelumnya Sigi mendatangi meja dokter Murad terlebih dahulu. Beliau menuliskan resep vitamin untuk di konsumsinya.

"Bagaimana istri saya, dok," kata Eros yang akhirnya tiba. Beliau mendongak. Sigi juga melihat ke arah tubuh pria yang baru saja datang

"Anda suaminya yang sebenarnya? Suami Sigi Almeira ini?" tanya beliau lagi tidak ingin salah. Pria tadi sempat menoleh ke arah meja dokter Murad. Melihat siapa sebenarnya orang yang di maksud perempuan tadi.

Jadi dia Eros?

"Ibrar ...," panggil perempuan yang meringis kesakitan itu menyebut pria tadi. Kepala Ibrar menoleh. Membiarkan Sigi dan Eros yang masih duduk di sana.

"Ya."