Chereads / The second man for Sigi / Chapter 5 - Berita gembira yang menyesakkan

Chapter 5 - Berita gembira yang menyesakkan

Perjalanan pulang menuju rumah masih tetap diliputi kesunyian. Dokter Murad tadi sudah menjelaskan lagi soal kehamilannya di depan Eros. Namun tidak ada lagi pembicaraan soal kehamilannya. Eros tetap diam.

Sigi membiarkan. Dia tidak berharap banyak soal itu. Sejak dia menemukan bukti perselingkuhan lelaki ini, dia tidak pernah berharap banyak lagi soal dirinya dan Eros. Dia tidak lagi mau bertanya.

"Bagaimana denganmu?" tanya Eros akhirnya menghapus senyap yang membentang diantara mereka.

"Aku baik. Kenapa?" tanya Sigi dingin dan ketus.

"Bagaimana dengan janin itu?"

"Janin? Ada apa dengannya?" tanya Sigi ketus.

"Jawablah dengan tenang, Gi," pinta Eros.

"Aku rasa, aku cukup tenang menanggapi perselingkuhanmu." Kalimat Sigi menamparnya dengan keras. "Aku tidak memberitahu keluargamu tentang ini. Belum."

"Aku membahas bayi itu, Gi. Anak kita." Eros merendahkan nada bicaranya. Di telinga Sigi kata 'Anak kita' seperti menohoknya. Seakan mencemooh ikatan suami istri yang memanas dan menuju ke tepi jurang.

"Ada apa dengan itu? Tidak ada yang salah dengan itu."

"Kamu tidak akan ... tidak akan membuangnya bukan?" Sigi terkejut dengan pertanyaan Eros. Kepalanya menoleh dan membeliakkan mata. Tidak menyangka akan ditanya hal itu.

"Kamu mengajukan pertanyaan yang sangat buruk, seburuk sikapmu sebagai seorang suami yang tidak layak," cemooh Sigi sambil menggeram marah.

"Jangan berkata hal-hal yang tidak ada hubungannya dengan hal yang aku tanyakan, Gi." Eros seperti naik darah. Sigi tidak peduli.

"Aku wanita waras, Er. Aku tahu janin ini muncul di saat kedua orang tuanya sedang dalam keadaan terburuk. Aku sadar aku sepenuhnya tidak bisa memaafkanmu. Aku mengerti janin itu adalah anak dari pria yang memuakkan sepertimu. Aku sadar semuanya. Namun aku tidak harus melimpahkan semua rasa marahku yang memuncak padanya. Bagaimanapun janin ini akan tumbuh di dalam perutku. Aku tetap menerimanya bagaimanapun aku membencimu." Mata Sigi berkaca-kaca sambil menguarkan hawa marah. Dia tidak bisa lagi menahan airmatanya hingga menetes.

Melihat airmata ini, Eros menghentikan mobil di sebelah kiri jalan. Tangannya terulur ingin menghapus airmata itu. Sigi menjauhkan tubuhnya dan membuang wajah ke arah jalanan di sebelah kirinya.

"Maaf, Gi," ucap Eros. Sigi tidak mau dengar ucapan maaf itu. "Aku juga ingin melihat bayi itu sampai lahir."

***

Berita yang di sampaikan Eros di sambut bahagia oleh kedua mertuanya. Mama Eros terlihat sangat bahagia mendengarnya. Beliau tersenyum dan mengelus lengan menantunya berkali-kali. Ini adalah cucu pertama mereka, jadi tentu saja sangat-sangat diharapkan.

"Semoga saja laki-laki. Anak pertama itu harus laki-laki biar jadi pelindung keluarga saat orangtuanya menjadi tua kelak," kata Mama Eros.

"Laki-laki atau perempuan itu sama saja, Ma. Yang penting sehat jasmani dan rohani," sambung papa.

"Iya, iya benar. Mama mengucap harapan enggak apa-apa kan, Pa...." Mama membela diri. Papa hanya mengangguk. "Selamat ya, Sigi dan Eros," kata mama sambil tersenyum ke arah mereka. Papa tersenyum juga.

Sigi hanya tersenyum ironi menerima kata selamat dari bibir mertuanya. Dia tidak bisa sebahagia itu mendengar kabar ini. Hatinya masih di liputi rasa sakit yang luar biasa atas pengkhianatan suaminya.

Bibir Eros tersenyum tipis melihat kebahagiaan orangtuanya. Sigi mendengkus dalam hati. Menertawakan sikap tenang suaminya di kala prahara mendera rumah tangganya.

"Jaga kesehatanmu, Gi. Jangan kelelahan. Bayi dalam kandunganmu sangat membutuhkan kehati-hatianmu," nasehat mama.

"Iya, Ma."

***

Sigi berangkat kerja di antarkan oleh Eros. Bukan keinginan Sigi ingin bermanja pada suaminya, tapi mama kembali mendikte langkah mereka karena takut kenapa-kenapa dengan kandungan Sigi.

Eros tampak menuruti semua pendiktean orangtuanya. Sebenarnya dia buka pria yang masih anak mama. Dimana selalu mengedepankan semua pendapat mamanya. Hanya saja pada cerita ini, dia sedang terdesak. Mungkin saja dia ketakutan Sigi akan membongkar perselingkuhannya dengan cepat. Jadi dia menuruti semua keinginan bundanya.

Sigi sampai di pintu masuk gedung mall tempatnya bekerja. Tanpa berpamitan, dia langsung turun dan berjalan menjauh dari mobil. Bukan mempercepat langkah yang menunjukkan bahwa dia sedang marah. Kakinya berjalan santai dan melenggang tenang. Eros tahu pasti di balik ketenangannya itu tersimpan sikap dingin yang menyimpan rasa amarah memuncak. Semakin Sigi tenang, itu berarti marahnya semakin besar.

Ponsel Eros berdering.

"Ada dimana?" tanya sebuah suara perempuan.

"Aku mengantar Sigi kerja."

"Mengantar? Bukannya dia selalu membawa motor kalau bekerja, sayang?" Panggilan manja ini sudah pasti dari bibir Nara.

"Mama menyuruhku selalu mengantarnya."

"Kenapa?"

"Mama mungkin merasa kasihan melihatnya pulang pergi kerja dengan naik motor."

"Lalu aku bagaimana?" tanya Nara manja.

"Pakailah motor yang aku belikan waktu itu Nara."

"Emm ... kamu enggak sayang lagi sama aku?" tanya Nara mulai merajuk.

"Bukan seperti itu. Aku belum bisa berkutik, Na."

"Dia melaporkanmu pada orangtua dan meminta cerai?" tanya Nara paham.

"Justru dia banyak bungkam Na. Dia tidak membicakan soal kita pada siapa-siapa di rumah. Hanya saja itu semakin membuatku kebingungan."

"Kamu iba? Kasihan? Atau kamu mulai mencintainya lagi?"

"Ini waktunya berangkat kerja Na. Kamu juga harus segera berangkat. Kamu tidak boleh terlambat."

"Kamu mengalihkan pembicaraan. Ya sudahlah ... Aku berangkat kerja juga. Dah sayang, mmuach." Eros tidak membalas kecupan lewat ponsel dari Nara. Dia hanya diam sambil melihat ke arah gedung mewah yang di jadikan mall itu.

Iba? Dikatakan iba sepertinya tidak tepat. Eros yang kadang ketakutan, bukan dia. Bahkan Sigi bisa memoles mimik wajahnya di depan mama dan papa dengan apik dan profesional. Padahal perkara ini tidak ringan. Ini permasalahan pelik di dalam rumah tangga.

Eros takjub juga merinding melihat Sigi mampu bersikap sewajarnya dengan luka yang di torehkannya. Awalnya Eros membayangkan perempuan ini akan marah semarah-marahnya dan memintanya cerai. Atau kalau memang dia masih ingin menjadi istrinya karena masih mencintainya, seharusnya Sigi akan menangis terus menerus dan meminta dirinya pergi jauh dari Nara. Memohonnya kembali.

Sigi itu tidak pada kedua dugaan tadi. Dia marah, tapi hanya mencaci seperlunya. Dia sedih, tapi tetap bisa bersikap layaknya seorang istri. Walaupun kegiatan intim tentu tidak akan pernah di lakukan lagi. Karena itu tidak mungkin. Dia sakit hati dan muak tapi bisa tersenyum di hadapan semua keluarganya.

Semua cerita orang marah saat di selingkuhi, tidak nampak padanya. Ini membuat Eros justru berpikir keras. Apa yang sebenarnya di rencakan istrinya? Pikirannya selalu was-was dan tidak tenang. Ketenangan Sigi menanggapi perselingkuhannya yang nyata membuatnya sedikit tertekan.

***

"Tumben datang pagi?" tegur Hito saat berpapasan di pintu gerbang masuk karyawan. Dia seorang security disini. Sigi memperhatikan sekeliling, ini memang masih sepi. Lalu matanya melirik ke arah dinding. Masih setengah delapan lebih. Biasanya dia datang kurang lima belas menit dari jam masuk kerja. Masih empat puluh lima menit lagi.

"Ingin tidur," jawab Sigi. Ini bukan kata kiasan. Dia memang ingin tidur dulu sambil membunuh waktu sampai waktunya masuk nanti.

"Memangnya tadi malam enggak tidur? Mentang-mentang sudah punya suami malam-malam enggak tidur," ledek Hito yang sudah mengenalnya lama karena satu sekolah dulu. Sigi tidak menggubris ledekan menjurus ke hal-hal tabu itu. Kaki Sigi menuju ke ruang istirahat karyawan. Dia benar-benar ingin tidur. Di rumah dia tidak bisa tidur nyenyak. Banyak hal tidak menyenangkan berkelebat di benaknya.

Baru sekitar lima menit Sigi merebahkan tubuh, Yeri sudah mengusiknya. Teman sekolahnya ini adalah staff HRD junior disini.

"Aku melihatmu lewat di depan kantor."

"Ada apa?" tanya Sigi masih dengan rebahan.

"Bangun dong. Bukan kamu yang harus tanya ada apa, tapi aku," dengkus Yeri.

"Yang ganggu aku kan kamu," bantah Sigi gusar. Akhirnya dia bangkit dan duduk sambil kucek-kucek mata.

"Kemarin kemana? Kok tiba-tiba saja ijin enggak masuk kerja." Ternyata Yeri bahas kemarin.

"Oh, itu. Memangnya Eros ijin apa?" Sigi justru balik tanya.

Yeri menepuk lengan Sigi gemas. "Kamu ini ditanya malah nanya."

"Aku beneran tanya. Eros kemarin ijinkan aku apa?"

Melihat wajah Sigi serius, Yeri akhirnya menjawab. "Dia bilang kamu sakit. Gitu. Memang benar?" tanya Yeri menyelidik. Bukan hanya sebagai staff HRD tapi juga sebagai kawan dekat.

"Ya, begitulah...," jawab Sigi santai tapi terdengar getir. Yeri hendak memprotes, tapi tidak jadi.

"Ada yang lagi dipikirin sama kamu yah..."

"Banyak." Mungkin maksud Sigi bercanda, tapi Yeri sudah menatapnya lurus ingin jawaban pasti, bukan abal-abal.

"Jawab yang benar, Gi. Raut wajah kamu menunjukkan kesedihanmu. Kalau biasanya kamu bisa bohong, kali ini enggak. Meskipun tersenyum kamu kelihatan sakit. Jadi aku yakin ini bukan masalah sepele," ujar Yeri yang langsung membuat Sigi menghilangkan senyumannya. Menjadi kawan dekat itu kadang membuat kita paham dengan apa yang sedang di sembunyikan sobat kita.

"Eros ...selingkuh," ucap Sigi lirih. Dia tidak bisa mengelak lagi. Namun di dalam indra pendengaran Yeri, ini layaknya genderang perang. Menyalak tajam dan kuat. Tangan Yeri reflek menutup mulutnya yang menganga.

Ruang istirahat masih sepi. Karena Yeri saja, yang bawa kunci pintu utama karyawan, baru datang. Jadi pembicaraan sensitif ini sangat aman.