Waktu dimana sebelum Sigi mendakwa Eros tentang perselingkuhannya.
.
.
Dia menemukan banyak bukti nyata. Menyita kartu sd, flash disk yang berisikan percintaan mereka. Bukan hanya cinta manis mereka yang ada di dalam flash disk dan kartu sd usang itu, tapi juga cinta panas mereka di atas ranjang. Permainan yang seharusnya hanya dia dan Eros yang boleh melakukannya. Karena mereka sudah mengantongi ijin dari pengesahan yang nyata dan di akui.
"Hoek!!" Sigi mual. Melihat adegan intim suami dan perempuan lain membuatnya ingin muntah. Tangannya sibuk menutup mulut dan memegang perutnya yang tiba-tiba seperti di remas-remas yang menciptakan rasa mual yang sangat. Berkali-kali dia merasakan mual dan pening. Adegan ranjang Eros dan perempuan itu membuatnya jijik dan mengaduk-aduk perutnya. Kakinya berlari ke kamar mandi dan memuntahkan isi perutnya di sana. Sigi muntah.
Bagaimana bisa Eros membagi cinta, tubuhnya dan kejantanannya dengan wanita lain? Itu sangat tidak bisa di percaya. Sigi yang sudah menghabiskan isi perutnya sampai rasa pahit terasa pada langit-langit mulut menjadi lemah. Tubuhnya terkulai lemas. Perempuan ini kekurangan separuh staminanya setelah muntah-muntah.
Tubuh Sigi melorot di tempat duduk yang di pakai Eros mengerjakan tugas kantornya di dalam kamar. Menengadahkan kepala seraya memejam mata. Perutnya bergolak lagi dan itu memaksanya harus ke kamar mandi.
Tidak ada yang tahu keadaan Sigi karena dia tengah sendirian. Mama Eros pergi ke tetangga. Memang ada Bik Misna, tapi mungkin beliau masih sibuk di belakang hingga tidak bisa mendengar suara mual Sigi.
Mata Sigi menutup dengan kedua tangan menutupi kedua mata dan kepala. Punggungnya bersandar pada dinding kamar mandi yang basah. Sigi menangis.
Suaminya berselingkuh. Tangan Eros sudah menyentuh tubuh sintal wanita itu yang polos tanpa sehelai kain apapun. Bibir Eros sudah menggesek, mencumbu, dan menggigit bibir tebal yang menggoda itu. Kejantanannya juga sudah menerobos masuk dan membenamkan dalam-dalam ke sisi kewanitaan perempuan bernama Nara.
"Hoek!" Sigi yakin perutnya sudah tidak berisi lagi. Kosong. Namun rasa mual terus saja menderanya. Mual lagi. Muntah lagi. Hingga terasa sangat pahit dan semakin sakit di dinding perut. Airmata bercucuran. Terasa sakit di kerongkongan saat dia mencoba menahan tangis. Sakit. Seluruh jiwa raganya sakit. Pedih.
Mereka sudah pada tingkat dimana bercinta menjadi rutinitas hubungan mereka. Pengkhianat dan penggoda itu sudah memberi Sigi bayangan-bayangan menyesakkan yang terus saja memaksa matanya basah karena airmata.
Tubuh Sigi juga basah kuyup. Dia tidak peduli. Punggungnya masih bersandar di dinding kamar mandi. Gadis ini sangat hapal, foto yang berstatus terkirim oleh Eros ini berada di dalam kamar mandi ini. Apa yang ada dalam pikiran lelaki itu, hingga harus mengirimkan foto di kamar mandi kepada seorang wanita itu. Menjijikkan.
Setelah cukup lama, Sigi menangis di dalam kamar mandi, akhirnya dia memutuskan mandi. Masih. Airmatanya masih meleleh.
"Non, tadi saya dengar anda mual-mual. Apa Anda tidak apa-apa?" tanya Bik Misna dari balik pintu.
"Tidak apa-apa, Bi. Perut saya hanya tidak nyaman tadi. Sekarang saya masih mandi, Bi."
"Begitu ya. Saya kembali kebelakang ya?"
"Iya, Bi."
****
Setelah mengeringkan tubuh dan rambut, Sigi mengambil headphonenya yang berwarna kuning metalik. Menyalakan lagu pada ponsel.
Mencoba mengalihkan otaknya yang terus saja mengingat ulang, isi dari percintaan suaminya. Duduk dengan mata memejam sambil mendengarkan musik yang diputar.
I don't wanna know
If you're playin' me, keep it on the low
'Cause my heart can't take it anymore
And if you're creepin', please don't let it show
Oh baby, I don't wanna know
[ Mario Winans, I dont wanna know ]
Awalnya Sigi tidak ingin tahu kelanjutan cerita Eros dan Nara. Ada jawaban 'hanya teman' membuatnya tidak lagi mengorek kisah mereka. Namun setelah menemukan sendiri itu adalah bukti perselingkuhan mereka yang nyata, Sigi tidak bisa tinggal diam. Sedingin dan secuek-cueknya seorang Sigi, hatinya juga pasti hancur saat orang terkasihnya berkhianat.
Tok! Tok!
Pintu kamar di ketuk seseorang. "Non, saya bawakan wedang jahe agar perut nona tidak mual." Rupanya Bik Misna. Sigi bangkit dari tempat duduknya dan melangkah menuju pintu. Memegang handle pintu dan membukanya. Bik Misna membawa segelas wedang jahe.
"Makasih ya, Bi...," ujar Sigi sambil tersenyum. Wajah Sigi terlihat bengkak karena menangis tadi. Bik Misna melihatnya.
"Anda benar-benar tidak apa-apa, Non?" tanya Bik Misna khawatir. Sigi menggeleng. Dia tahu pasti bik Misna menemukan mata bengkaknya.
"Iya. Tadi perut enggak enak. Hanya itu saja."
"Mungkin masuk angin itu, Non. Seharusnya jangan malah mandi. Nanti tambah masuk angin," nasehat beliau benar.
"Iya, ya. Apa mama masih di rumah tetangga?" selidik Sigi. Dia tentu tidak ingin mertuanya melihat mata bengkaknya.
"Iya. Beliau belum pulang. Saya kerokin, Non? Biasanya kan Nona minta kerokin kalau lagi enggak enak. Mumpung libur kerja. Jadi besok bisa kerja dengan tubuh sehat. Bagaimana?" tawar Bik Misna menggiurkan. Sigi paling suka di kerokin. Dia memilih itu, daripada minum obat. Seperti orang kuno.
"Baiklah Bi."
"Saya ambil uang koin ya, sama minyak kayu putih." Sigi mengangguk.
****
Waktu kembali pada saat Sigi terbaring di atas ranjang karena pingsan.
Kisi merasa ada gelagat aneh di antara kak Eros dan istrinya. Apalagi melihat Sigi yang hanya melihat ke arah sisi lain dimana ada mamanya. Biasanya seorang perempuan akan lebih manja kepada suaminya saat sedang sakit, apalagi di saat tinggal dengan mertua. Suami biasanya jadi tumpuan. Sementara Bik Misna sudah ke belakang lagi untuk memasak.
Walaupun masih pagi, karena ini permintaan keluarga Eros, sebagai pelanggan tetap jika berobat ke dokter Fahmi, beliau mau datang. Juga, letak rumah beliau dekat.
Sigi hanya kelelahan. Tanpa perlu memanggil dokter, Sigi paham soal kondisi tubuhnya sekarang. Dia sakit karena lelah dan stress. Semua itu pasti karena lelaki di sampingnya itu. Eros.
"Namun, ada juga indikasi bahwa menantu Anda hamil, Nyonya." Jantung Sigi langsung seperti di hantam benda yang sangat keras hingga menimbulkan rasa sakit. Hamil?
Mama dan Kisi terlihat begitu bahagia mendengar berita ini. Sigi terdiam seraya menatap dokter Fahmi dengan wajah tidak percaya. Mata Sigi melebar penuh dengan keterguncangan. Dia seperti berkata, 'bagaimana ini?'.
Eros nampak terkejut juga. Pandangannya menunduk menatap Sigi yang terperangah tidak percaya.
"Benarkah?"
"Sebaiknya periksakan segera pada dokter kandungan," nasehat dokter Fahmi. Setelah berkata demikian, dokter Fahmi pulang
Semua menyambut berita ini dengan suka cita. Mama menggenggam tangan Sigi sambil tersenyum. Beliau akan mendapatkan cucu pertama. Eros yang merupakan putra pertama, tentu saja di harapkan agar segera mendapatkan momongan.
"Selamat ya, Sigi dan Eros. Kalian akan melewati masa-masa sulit tapi menyenangkan," ujar mama sambil melempar senyum pada sigi yang terbaring lalu ke Eros.
"Kan belum di periksa lebih detail oleh dokter kandungan, Ma." Eros menanggapi.
"Kamu itu. Ya segera periksakan, dong. Biar cepat tahu menantu mama itu hamil atau enggak. Nanti antarin Sigi periksa."
"Sigi masih kerja, Ma," ujar Sigi ingin menolak.
"Tidak. Bagaimana bisa kamu mau kerja. Eros, tolong beritahu tempat kerja Sigi, kalau dia tidak bisa masuk kerja karena sakit." Mama sudah medikte mereka berdua, hingga tidak bisa menolak lagi. Namun Eros melihat ke arah Sigi. Mencoba meminta pendapat. Apa Sigi memang tidak akan masuk kerja atau sebaliknya. Namun Sigi tidak menoleh sama sekali.
"Baik, Ma," jawab Eros menyanggupi.
Kisi juga tersenyum ke kakak iparnya. "Kakak akan jadi ibu nanti dong. Kecil, kecil sudah mau gendong bayi aja ...," goda Kisi sambil ketawa. Mama langsung memukul lengan putrinya. Kisi meringis kesakitan.
"Apa sih, ma?" gerutu Kisi.
"Kamu itu ngomong apa sama kakakmu? Jangan di anggap ngomong sama teman," ujar mama menasehati. Walaupun umur mereka tidak jauh, beliau tidak suka cara berbicara putrinya seperti itu. Padahal, kalau beliau tahu, Kisi memang sering begitu kalau sedang berbicara dengan Sigi. Memang seperti sedang berbicara sama teman. Jadi Kisi sering khilaf. Sigi sendiri tidak terlalu peduli.
*****
Seperti yang sudah di dikte mama Eros, setelah pulang kerja Eros segera pulang dan mengajak istrinya berangkat ke dokter kandungan.
Suasana di dalam mobil sunyi. Sigi hanya menolehkan kepala ke arah jendela di samping kanannya. Sesekali menyentuh ponsel dan mengutak-atik. Eros juga gelisah. Mau bertanya atau memulai obrolan, tidak bisa. Tenggorokannya seperti tersekat sesuatu yang membuatnya kesulitan mengeluarkan suara.
"Sigi, bagaimana tubuhmu?" Setelah pergulatan dengan hatinya sendiri, Eros mulai bisa mengatakan sebuah kalimat.
"Berhentilah berusaha ingin membuat keadaan tidak canggung dan kaku. Aku bisa mengatasinya," sahut Sigi dingin tanpa menoleh. Eros mengatupkan rahang dan fokus ke arah jalanan.
Ponselnya yang di letakkan di bawah dashboard mobil berdering. Eros meraih dan membaca sebuah nama di layar ponsel. Matanya melebar hingga spontan menoleh ke arah istrinya.
Tangan Eros masih tidak menekan tombol terima. Dia membiarkan ponsel itu berdering lagi. Kemudian akhirnya menekan sembarang tombol untuk membuat nada dering itu berhenti berbunyi. Namun nama di layar ponsel itu tetap coba menghubungi.