Seperti orang gila yang bicara dengan sesosok mayat, Kwat Lin bertanya, kemudian dia membuka baju dan celana luar dari mayat yang sudah kaku kejang itu dengan agak susah, lalu mengenakan pada tubuhnya sendiri. Tentu saja agak kebesaran.
"Hi-hi-hik, pakaianmu kebesaran, Suheng...." Dia memandang wajah mayat twa-suheng-nya dan tertawa lagi. "Hi-hik. Nah, begitu, tertawalah Twa-suheng, tertawalah para suheng sekalian..., tertawa dan bergembiralah karena dendam kalian pasti akan kubalaskan! Hi-hi-hik... hu-hu-huuuhhh..."
Dia menangis lagi terisak-isak dan dengan terhuyung-huyung dia meninggalkan tempat mengerikan itu setelah mengambil pedang twa-suheng-nya. Pedang itu adalah pedang pusaka terbaik di antara pedang ketiga belas orang pendekar Bu-tong-pai itu, sebatang pedang pemberian ketua Bu-tong pai sendiri.