Chereads / ELIKYA Number Zero : The Unknown Brave Hero / Chapter 9 - Arc 1 - Chapter 8 (Waktu senggang)

Chapter 9 - Arc 1 - Chapter 8 (Waktu senggang)

Menyalin angka angka yang tertera pada kartu pengenal dengan smartphonenya yang sedang dia genggam. Lalu menghubungi orang yang memiliki nomor tersebut. Tenza mendekatkan smartphonenya ke telinga sebelah kanan, terdengar 'tuuuttt...' yang artinya pemilik nomor belum mengangkat panggilan dari Tenza.

Sambil menunggu pemilik nomor mengangkat panggilannya, Tenza membenarkan posisi tubuhnya, merebahkan badannya di tempat tidur yang empuk itu dengan bantal sebagai penyangga kepalanya, berharap rasa pusing dikepalanya dapat mereda. Saat ini cuaca cukuplah panas, sehingga Tenza menghidupkan AC agar ruangan terasa lebih sejuk.

'Apakah tidak apa apa menghidupkan AC disiang hari?' hal itu menjanggal di kepala Tenza, walaupun pada akhirnya dia tetap menghidupkan AC.

'Tuuuttt...tuuuttt...clkk'

"Halo apa ada yang bisa saya bantu?" Tidak terlalu lama akhirnya pemilik nomor tersebut mengangkat panggilan dari Tenza. Terdengar suara perempuan yang umurnya lebih tua beberapa tahun dari Tenza.

Dia adalah Ova, seseorang yang bertugas untuk mengantar Tenza dari bandara hingga kerumahnya. Tenza tidak yakin, tetapi dia merasa umur perempuan itu sekitar 20 tahun, Tenza tidak berani menanyakannya karena menanyakan umur perempuan adalah suatu tindakan yang tidak sopan.

"Halo ini aku Tenza apa kabar Ova." Tenza menyapanya, memulai pembicaraan.

"Ahh tuan muda ternyata saya baik baik saja disini. Bagaimana dengan tuan muda? Apa anda kurang sehat?" Ova menanyakan kesehatannya, karena terdengar suara Tenza seperti seseorang yang terkena gejalah penyakit.

"Tidak aku sehat, hanya sedang kelelahan dan aku sedikit merasakan pusing." Menggunakan punggung tangan kirinya, Tenza mencoba memeriksa apakah dirinya benar benar terkena demam atau tidak. Dan hasilnya tidak.

Tenza tidak merasakan panas dari dahinya.

"Itu namanya jet lag." Jelasnya secara singkat.

"Aku tahu. Apakah kau tahu cara menghilangkannya?" Tanya pemuda itu penuh dengan harapan.

Tenza yakin seseorang yang sering berpergian seperti Ova memiliki cara untuk menghindari jet lag. Itu karena Tenza tidak melihat Ova sedikitpun seperti terkena serangan jet lag saat mengantarnya ke rumah barunya.

"Sayangnya kita tidak bisa menghindari masalah tersebut."

"Tapi saat itu kau seperti tidak terkena jet lag?"

"Saya hanya sudah terbiasa menahannya."

Tenza sedikit kecewa, tidak. Dia benar benar kecewa dengan kenyataan yang sebenarnya. Bahwa faktanya yang namanya jet lag tidak bisa dihindari dan terdapat fakta lainnya yang selalu berulang ulang kali dia katakan yaitu.

"Ngomong ngomong Sudah ku bilang jangan memanggilku tuan muda, aku tidak pantas dengan sebutan itu." Tenza menekuk wajahnya.

"Sekali lagi maafkan saya. Bagaimana dengan sebutan 'calon tuan muda'?"

"Tidak, bagiku itu tidak enak didengar!"

Tenza menolak tawaran Ova. Dan dari sana terdengar seperti seseorang yang sedang menahan tertawa. Ova sedang tertawa itu hal yang cukup jarang Tenza temui.

Beberapa saat terlewati, Ova yang terdengar tertawa kembali berbicara.

"Jadi, ada apa menelpon saya? Apa ada yang bisa saya bantu?" Ova mencoba untuk mengalihkan pembicaraan ke topik utama.

"Oh iya ini tentang tujuan."

"Ah iya maafkan saya, tentang hal itu saya benar benar lupa."

Sesuai dengan yang diperkirakan Tenza. Ova lupa dengan hal tersebut. Mungkin sebenarnya Ova akan memberi tahunya setelah sesampainya di rumah barunya, tetapi Ova tidak sengaja melupakannya.

Tenza mengesampingkan masalah tersebut.

"Ah iya tidak apa apa. Ngomong ngomong..."

"..."

"Apakah Ova kelelahan?" Tenza mencoba untuk mengganti topik walaupun topik yang sebelumnya baru saja dibahas. Itu karena tujuannya menelpon hanya untuk menanyakan masalah 'tujuan' yang lupa Ova katakan.

"Ah tentang masalah itu saya hanya sedikit kelelahan tapi tidak apa apa setelah ini saya akan beristirahat sebentar."

"Yah baiklah itu bagus. aku pernah mendengarnya kalau meminum air putih yang cukup dapat meningkatkan konsentrasi, sebaiknya Ova lebih banyak meminumnya."

"Terimakasih atas sarannya, mulai sekarang saya akan meminum air putih lebih banyak lagi."

"Ada satu hal lagi yang ingin kutanyakan." Tenza menemukan sesuatu yang harus ditanyakannya.

"Ya ada apa? Anda boleh menanyakan berbagai hal kepada saya." Dan Ova menerimanya begitu saja.

"Bukannya kau terlalu formal saat berbicara kepada ku?"

"Memang hal itu benar, apakah anda ingin saya lebih akrab dengan anda?"

"Ya begitulah. Aku ingin lebih akrab dengan mu." Tenza tersenyum simpul tapi serius kepada lawan bicaranya, tidak peduli meskipun Ova tidak dapat melihat ekspresi wajahnya.

Tenza dengan serius mengungkapkan perasaannya kepada Ova. Tenza hanya merasa bahwa perlakuan yang formal sangatlah mengganggunya. Lagi pula itu bukanlah sesuatu yang khusus, Tenza hanya ingin berteman dengan Ova.

Tenza ingin berteman dengan banyak orang. Karena di sini dia tidak memiliki seseorang yang dia kenal, semuanya memiliki wajah dari ras yang berbeda beda dan tentunya hal itu dikarekanakan mereka semua yang berasal dari berbagai negara berkumpul di satu tempat yaitu di Elikya.

Reina, Alex, nick, niklas dan...

Chad. Tenza ingin mencoba berteman dengan nya dan berteman dengan anak perempuan yang lain. Tidak ada hal yang terjadi di kelasnya sehingga dia terlalu sulit untuk mendekatkan diri dengan anak perempuan.

hanya saja seperti ada dua kkelompok yang ada di kelasnya yaitu kelomppok laki laki dan kelompok perempuan. Chad tidak termasuk dalam kedua kelompok tersebut. Dia tampak seperti seorang yang anti sosial.

"Baiklah, mulai sekarang saya akan berusaha."

Tenza menebak Ova sedang tersenyum menjawab permintaan Tenza. Dan Tenza yang tetap dalam posisi merebahkan badannya di tempat tidur tersenyum juga mendengarnya.

"Apa hanya itu yang ingin anda tanyakan?"

"Ada satu hal lagi." Satu hal tiba tiba muncul dibenaknya, memunculkan perasaan penasaran.

"Silahkan."

"Apakah kau tahu dimana letak tepatnya pulau Elikya ini dibuat?"

"Tentu saja saya tahu. Sekitar 500 kilometer kearah barat dari san francisco california."

"Begitukah?...Aku akan mencoba mencarinya dari peta."

"Ada yang ingin ditanyakan lagi?"

"Tidak." Jawab Tenza singkat.

"Baiklah saya akan menutup teleponnya."

"Baiklah."

"TUNGGU dulu ada satu hal yang ingin saya katakan!" Tenza menjauhkan smartphone dari telinganya, karena sontak kejut dari Ova, dan untungnya dia tidak menutup teleponnya. Lalu mendekatkannya lagi ke telinganya.

"a..ada apa?"

"anda tinggal dirumah nomor 23 bukan?" Tanya Ova.

"tidak, aku tinggal di rumah nomor 33, ada apa?" Tenza tampak kebingungan dengan pertanyaan itu, entah kenapa Tenza merasa Ova sedang menepuk dahinya karena telah melakukan kesalahan.

"ehh ah t tidak ada apa apa, saya akan menutup teleponnya, dan kalau nanti ada seseorang yang datang biarkan dia yang akan menjelaskan."

Ova menutup teleponnya dengan cepat. Tenza sadar kalau Ova masih belum akrab dengannya itu dapat diketahui dari cara berbicaranya yang masih formal terhadapnya. tapi kenapa dia terdengar agak kacau di akhir perbincangan? 'ah sudahlah bukan urusanku'.

Tenza mengangkat badannya. Tangan kanannya terulur untuk meletakan smarphonenya ke lemari kayu di sampingnya. bersiap siap untuk mengganti pakaiannya, dan melakukan kegiatan rutinitasnya.

Sedangkan disisi lain, yaitu di suatu ruangan pada sebuah gedung, dengan komputer serta orang orang yang memakainya berjejer tampak sibuk. Terdapat beberapa orang yang berjalan kesana kemari, sibuk dengan pekerjaannya masing masing.

Diantara mereka yaitu Ova yang baru saja selesai menutup panggilan dari Tenza meregangkan badannya, mendorong menjauh dari mejanya dan bangun untuk melakukan sesuatu yang telah disarankan oleh Tenza.

"Baiklah...aku akan meminum segelas." Berjalan menuju dispenser terdekat dan mengambil gelas plastik yang tersedia lalu mengambil minuman dengan gelas itu.

Meneguknya secara perlahan dan mendesah pelan ketika selesai menghabiskan minumannya. Beberapa saat terlamun dia menghela nafas.

"Semoga saja dia tidak marah..."

***

"Kepala ku pusing"

katanya yang sesekali menghela nafas sambil berjalan, memandang smartphonenya yang sedang dia gunakan untuk menunjukan arah jalan.

Waktu yang ditunjukan oleh smartphonenya telah menunjukan angka 12.50 yang artinya setelah dia mengganti pakainnya dan kembali berbaring sebentar demi meredakan rasa pusing di kepalanya dan pergi keluar rumah, menuju supermarket terdekat yang hanya memakan waktu perjalanan 10 menit.

"Ah,,,itu dia." Tenza berhasil menemukan supermarket tujuannya, dengan bantuan dari smartphonenya. Tenza berjalan ke arah supermarket itu.

Pintu kaca terbuka ketika Tenza berjalan ke depan pintu kaca tersebut.

Tenza berjalan masuk melewati pintu kaca tersebut yang kembali menutup ketika Tenza melewati dan menjauhinya. Suhu panas tergantikan dengan dinginnya AC secara tiba tiba.

Tenza mengingat barang dan bahan makanan yang ingin dia beli untuk keperluan bulan ini, yaitu bulan juli. mengingat hari ini sudah tanggal 21 maka Tenza harus memotong menjadi sepertiga keperluannya yang biasanya.

Berjalan mondar mandir kesana dan kesini, melihat kesana dan kemari, membandingkan harga setiap produk, dan berakhir dengan Tenza yang membeli bahan makanan yang paling murah.

Itu adalah keahlian Tenza demi mempertahankan hidupnya sebelum dia berada disini. Tenza lebih suka berbelanja ke supermarket dari pada harus ke pasar, mengingat tempat itu dipenuhi dengan para pedagang curang yang berusaha menguras uang Tenza diam diam.

dengan menggunakan keahliannya yang sudah terasah selama 5 tahun ini dia keluar dengan membawa tas belanja yang tidak terlalu berat karena belanja bulanannya yang telah dia potong menjadi sepertiga.

Tenza kembali ke rumahnya, ketika dia sudah selesai memilih barang dan membayarnya ke kasir. Dan sekali lagi sepasang pintu kaca itu membukakan jalan keluar kepadanya. Panasnya cuaca sekali lagi menyerang Tenza.

Tenza berjalan keluar, kembali ke rumahnya tanpa harus membuka smartphonenya untuk menunjukan jalan. Karena dia masih ingat dengan jalan yang baru saja dia lalui.

Sekitar 10 menit telah berlalu semenjak Tenza keluar dari supermarket, sambil menggenggam tas belanjanya dan sekarang Tenza sudah berada di depan gerbang masuk menuju perumahan dimana dia tinggal. Tidak jauh dari gerbang masuk ini dia akan sampai ke rumah.

Tenza melihat seorang perempuan dengan seragam yang dipakainya. Terlihat perempuan itu sedang mengangkat tangannya, dengan smartphone yang tertempel di telinganya, terlihat sedang menelpon seseorang dengan benda itu dan tampak dari ekspresinya Tenza tahu bahwa dia terlihat sedang memarahi lawan bicaranya. Yang paling menarik perhatiannya adalah mengapa perempuan tersebut berdiri di depan rumahnya.

Tenza menunggu perempuan itu selesai menelpon dan menutup teleponnya, lalu mencoba untuk menyapanya dan berbicara padanya. Tidak lama dia menutup teleponnya, lalu menghela nafas meredam kemarahannya dan memasukan smartphonenya ke dalam saku celananya.

"Permisi ada apa?" Tanya Tenza memulai pembicaran.

Perempuan itu berbalik, menatap Tenza ketika dia merasa seseorang sedang berbicara dengannya.

"Apa anda tuan Tenza?" Balasan dari perempuan itu bertanya terhadap pemuda yang sedang menenteng sebuah tas belanja.

"Ya, tapi tolong jangan panggil aku dengan sebutan itu." Tenza mengangguk dan tersenyum kecut.

"Maafkan saya, saya adalah seorang pembantu yang diberi tugas untuk merawat rumah Anda." Tutur perempuan itu menutup mulutnya dengan ujung jari tangannya.

Pembantu? Tenza tidak tahu bahwa dia akan memiliki seorang pembantu. Kemarin malam Ova juga tidak memberi tahunya bahwa dia akan memiliki seorang pembantu.

"Pembantu? aku tidak pernah mendengar Ova mengatakan itu."

"Sekali lagi maafkan saya, seharusnya saya sudah datang sejak pagi tadi tetapi dikarenakan kesalahan informasi yang saya dapat, saya baru bisa memulai pekerjaan saya sekarang, sekali lagi saya mohon maaf."

"Ahh..begitu ya." Tenza sekarang paham, sepertinya saat dia menelpon Ova, dan ketika perempuan itu menanyakan nomor rumahnya, dia mengira bahwa rumahnya bernomor 23, yang sebenarnya adalah 33.

Sepertinya Ova memberikan informasi yang salah terhadap perempuan dengan atasan biru muda ini. Lagi pula nomor 2 dan 3 terlihat cukup mirip, Tenza ingat dia juga pernah salah membaca nomor 2 dan 3.

"Silahkan masuk."

Tenza mendengar penjelasan dari Perempuan itu, lalu membuka pagar yang terkunci, memperbolehkan Perempuan itu masuk ke dalam rumahnya, lalu berjalan menyusuri taman kecil lalu menaiki beberapa anak tangga menuju pintu depan dan membuka kunci dari pintu putih tersebut.

"Ngomong ngomong aku dulu juga seorang pembantu." Ucap Tenza yang sedang berbasa basi mengisi kekosongan pembicaraan.

"Begitukah? masa depan memang tidak bisa ditebak." Dibelakang Tenza, perempuan itu menunggu Tenza membukakan pintu depan.

"Dulu aku membantu membersihkan rumah serta mencuci pakain seorang nenek tetangga kami."

Pintu putih terbuka dan Tenza masuk kedalam rumahnya dan diikuti oleh perempuan itu. Mereka berdua disambut dengan ruang tamu yang gelap dan kosong tanpa penghuni. Mereka membuka sepatu masing masing dan meletakannya di rak sepatu. Elikya benar benar menyiapkan segalanya dengan ditail.

Tenza menggerakan jarinya, meraih saklar dan menekannya untuk menghidupkan lampu di ruang tamu ini lalu berjalan masuk ke dalam.

"Sejujurnya aku sedikit terkejut bahwa Pemerintah Elikya akan memberikan pembantu kepadaku, aku yakin ehhh..."

"Nama saya Tanisa." Jawab Tanisa tersenyum memperkenalkan namanya kepada Tenza, mengerti dengan apa yang Tenza maksud.

"aku yakin Tanisa adalah seorang yang handal dalam pekerjaan ini."

"Tidak, aku hanya seorang pembantu biasa." Tanisa menyangkal ekspektasi Tenza.

"Eh?" Tenza tersontak dengan fakta baru. Tenza membalikan badannya, menghadap ke perempuan yang ada dibelakangnya.

"Tidak semua orang yang tinggal di Elikya adalah orang orang hebat. Contohnya adalah saya, saya hanyalah salah satu dari banyaknya orang biasa yang diberi pekerjaan ini." Jarinyanya menyentuh tengah dadanya, menunjukan pekerjaannya yang sebenarnya kepada tuannya.

"Begitukah? Aku baru mendengar hal ini." Mendengar penjelasan itu, Tenza merasa ada kekecewaan didalam dirinya. Itulah akibat dari terlalu berekspektasi.

"Bukan hanya itu, masih banyak lagi profesi yang diberi kepada orang orang kecil seperti saya." Jawab Tanisa sambil tersenyum.

Tenza hanya tersenyum ketika mendengarkan apa yang dikatakan oleh lawan bicaranya.

"Sebaiknya jangan merendahkan diri seperti itu." Tanisa sedikit terkejut dengan apa yang dikatakan oleh Tenza.

Yang dilakukan oleh perempuan itu hanyalah menggerakan telapak tangan kanannya kearah kanan dan kiri mengisyaratkan penolakan.

"Apa maksud anda? Saya tidak merendah memang begitulah kenyataannya."

Yang bisa dilakukan Tenza hanyalah tersenyum.

"Aku yakin ada suatu kerja keras yang telah Tanisa lakukan sehingga Tanisa berada disini."

Suatu kalimat yang pernah di dengar oleh Tenza, suatu perkataan yang kurang lebih seperti itu. Perkataan yang telah memberinya motivasi ketika dia dalam keadaan pesimis. Perkataan yang pernah dikatakan oleh Ova. Seorang perempuan dengan setelan jas hitam itu tergambar jelas didalam pikiran Tenza saat ini.

"Ah...ngomong ngomong aku telah membeli bahan makanan." Tenza mencondongkan tas belanja yang ia beli di supermarket kepada Tanisa.

Tapi entah kenapa ekspresi dari perempuan didepannya itu seperti terkejut dan kebingungan.

"Ah..saya juga telah membeli bahan makanan untuk dimasak sekarang."

"Hahh!?" Sebenarnya Tanisa telah menenteng tas belanja tersebut dari tadi. Tetapi Tenza benar benar tidak menyadarinya.

"Jadi bagaimana?" Tanya Tanisa.

Mereka berdua tidak tahu apa yang harus dilakukan dengan kedua tas belanja tersebut.

"Maaf menanyakan ini. Apakah Tanisa memiliki keluarga?" Tenza merasa dirinya kurang sopan menanyakan hal seperti itu.

"Hanya saya dan suami saya. Saat ini dia sedang berkerja dan akan pulang sekitar jam 8 malam."

"Kalau begitu ini." Tenza tersenyum, mencondongkan tas belanjanya sekali lagi.

"Ahh itu...untuk saya?" Tanisa mengangkat tangannya ke dadanya lagi, Tenza mengangguk membenarkan.

"Ah tidak perlu, anda membelinya dengan uang anda bukan?" Tanisa mengangkat kedua tangannya, lalu menggelengkannya.

Tenza hanya tersenyum dan mengangguk.

"Sudahlah...ambil saja."

Tenza memaksa Tanisa untuk mengambil tas belanja yang dibawa oleh Tenza dan mengambil tas belanja yang dibawa oleh Tanisa.

Beberapa saat Tanisa terdiam. Bibirnya membentuk senyuman.

"Terimakasih, anda adalah anak yang baik."