Jalan menuju kelas itu terkunci dengan pagar yang tinggi hingga ke langit langit lorong. Alasan dibuat pagar besi tersebut adalah supaya tidak ada yang masuk ke kelas itu. Tidak ada yang bisa masuk walaupun ada yang memanjatnya.
'Kenapa tidak boleh masuk ke kelas itu?' Itulah yang Tenza tanyakan saat ini. Tenza dengar kelas itu memiliki kutukan. Akan tetapi Tenza mengetahui bahwa yang namanya kutukan itu tidak ada.
Yang namanya kutukan hanyalah cerita bohong yang dibuat oleh seseorang untuk menakuti seseorang. Dan kenapa orang itu berbohong?
Saat ini Tenza sudah berada dikelasnya, mengabaikan perdebatan diantara Alex dan Nick mengenai 'Kutukan itu ada atau tidak'. Terlihat sepertinya Alex telah tersudut oleh Nick yang terkenal sebagai orang yang cakap berdebat, sedangkan niklas, orang yang paling pendiam kedua diantara laki laki hanyalah menikmati keseruan dari Tersudutnya Alex.
Saat ini Tenza duduk di mejanya sedangkan mereka bertiga duduk dibelakangnya. Tenza hanya diam bagaikan batu disana, memikirkan tentang kelas terkutuk yang dari tadi dia pikirkan.
Tenza memutar otaknya, dan dengan cepat Tenza mendapatkan jawabannya. Jawaban yang Tenza dapat adalah 2 kemungkinan.
Dukun, mungkin orang itu bekerja sebagai dukun dan membohongi oranglain supaya orang orang membayarnya dengan uang yang tidak sedikit sebagai bentuk rasa terimakasih telah mengusir mahkluk yang sebenarnya tidak ada itu, ngomong ngomong Tenza pernah terlibat dengan seorang dukun yang mengatakan kalau ruangan yang ditinggali dia dan ibunya berhantu dan dia akan mengusir hantu itu tetapi dengan membayar sebanyak 5 juta.
Dan yang satu lagi adalah orang jail yang hanya membuat cerita bohong untuk menakuti orang lain, dengan tujuan untuk memuaskan dirinya sendiri dan yang kedua ini juga pernah dialami oleh Tenza juga.
JIka Tenza pikirkan lagi, yang namanya lembaga pendidikan seperti sekolah tidak mengenal yang namanya kutukan, dan itu hanyalah sebuah mitos.
Tenza meraih smartphone dari sakunya, lalu menekan-nekan layarnya, pergi menuju halaman pencarian di internet. Sebelumnya Alex memberi tahu kata kuncinya.
T-r-a-g-e-d-i 2-1-0-0 E-l-i-k-y-a
Menekan 'enter' dengan ibu jarinya dan munculah ribuan web site di layar smartphonenya, dari banyaknya web site yang muncul, dengan cepat Tenza memilih web site yang paling atas, kemudian munculah artikel dari halaman web site tersebut.
Tenza Mulai membaca isi artikel lewat web site tersebut. Tenza membacanya, baca baca dan baca, membaca artikel itu dengan cepat. Matanya tampak bergerak ke kiri dan kanan dengan cepat, karena sebentar lagi guru akan datang.
'Tuk tuk' suara pintu kelas yang di ketuk dan terdengar knop pintu yang terbuka oleh seseorang. Mendorong pintu itu, lalu muncul seseorang dari balik sana, seseorang dengan rambut pirang kecoklatannya. Seseorang yang diharapkan untuk datang sedikit lebih terlambat lagi.
"Semuanya tolong kembali ke tempat duduk kalian. Tenza matikan smartphonenya." Guru itu memasuki kelasnya, menutup pintu dan berbicara demikian dan diakhiri dengan menunjuk kearah Tenza yang menatap seriu layar smartphone hologramnya.
"Ahh iya pak." Jawab Tenza kikuk.
Tenza mematikan smartphonenya lalu meletakannya kembali ke dalam saku celananya, siap untuk memperhatikan gurunya. Kalau tidak salah nama gurunya adalah Leone, Pak Leone.
Sekarang jam pelajaran kedua, yaitu ilmu biografi. Tenza mulai sedikit paham dengan sistem pendidikan di sekolah ini, masuk pukul 07.30 dan belajar sampai pukul 09.00 selama pelajaran diberi waktu setiap 15 menit untuk mengistirahatkan otak selama 5 menit.
Cukup mirip dengan finlandia yang mempunya waktu belajar 45 menit dan 15 menit istirahat.
"Semuanya ambil book tab kalian." Perintah guru itu sambil menyalakan kembali monitornya. Semuanya, termasuk Tenza mengambil book tab yang ada di kolong meja masing masing.
Untuk mata pelajaran yang di ajarkan hanya 2 mapel dari pukul 07.30 sampai 12.00 dan dari pukul 13.00 sampai 14.00 adalah pelajaran tambahan sesuai dengan minat setiap murid dan itu tidak dipaksakan.
Itulah yang Tenza tahu tentang sistem pendidikan di sekolah ini hingga dia akhirnya mengingat sesuatu.
"Siall..aku lupa isi artikelnya!!" Sambil memegang rambutnya dengan kedua tangannya, melakukan hal yang benar bear mencolok perhatian orang orang. Tenza bertekad akan membacanya kembali artikel itu setelah pulang sekolah nanti.
"Oh ya, Tenza nanti sebelum pulang ikut saya ke kantor guru sebentar" Guru itu sedikit memutarkan tubuhnya, wajahnya dihadapkan kepada seseorang yang sedang ingin dia ajak bicara. Seorang murid yang duduk di barisan kedua dari belakang.
"Eh? Kenapa?" Spontan Tenza melepas rambutnya lalu meletakannya diatas meja, memiringkan kepalanya berpose seperti orang yang bertanya tanya, tentang hal yang dikatakan oleh Pak Leone.
"Ada sesuatu yang ingin bapak bicarakan."
"Baiklah." Tanggap Tenza cepat sambil menganggukan kepalanya.
"Dan Chad?" Pak Leone mengubah pandangannya kearah pemuda yang berada di sebelah kiri Tenza. Mengarahkan pandangannya kepada Chad yang sedari Tadi menatap keluar jendela dengan tangan kanannya yang dijadikan sebagai bantalan untuk kepalanya.
"Hmm?" Jawabnya malas tanpa mengalihkan pandangannya dari luar jendela terhadap laki laki paruh baya itu.
"Jangan 'Hmm Hmm' saja, Menghadaplah kesini!, apa kau sudah mengisi formulir tujuan yang sudah kuberi?" Tanya Pak Leone sambil mendesah terhadap kelakuan muridnya yang satu ini.
Mulut Tenza ternganga terkejut, Tenza melihat kepada pemuda di sebelah kirinya ini, melihat kearah Chad yang masih mengarah ke luar jendela. ternyata bukan hanya Tenza yang belum memiliki tujuan, Chad juga belum mempunyai tujuannya masuk ke Elikya.
Hal tersebut membuat Tenza sedikit merasa lega karena dia tidak sendirian dan berpikir kalau Tenza harus secepatnya mengisi formulir...
"Tunggu formulir?" Reina tadi tidak mengatakan hal itu sebelumnya. Mungkinkah Pak Leone akan memberikan formulirnya di ruang guru nanti, tapi kenapa tidak sekarang? Tanya Tenza dipikirannya, mengalihkan kembali pandangannya terhadap laki laki tinggi yang berdiri di depan kelasnya.
"Haahh....Belum nanti akan kupikirkan." Chad menjawab dengan nada bicara yang tidak nengacuhkan pertanyaan Pak Leone.
"Sebaiknya kau lebih menghormati gurumu sedikit atau aku akan memanggil orang tuamu!" Pak Leone menekankan setiap kata yang dia katakan.
Suasana mulai terasa mencekam dan pak guru yang terlihat ramah itu akhirnya memperlihatkan ketegasannya di hadapan Tenza. Sedangkan di sebelahnya, Chad hanya mendecakan lidahnya.
"Terserah bapak aku tidak peduli." Jawabnya menantang Gurunya sendiri.
"CHAADDD!!"
Tenza merasa takut, Tubuhnya menegang, pundaknya terangkat, matanya menanap penuh dengan ketengangan. Walaupun bukan dia yang di marahi tapi ini adalah naluri seorang murid yang teman sebelahnya di marahi guru dan itu benar benar-benar benar wajar.
"Sebaiknya kau lebih menghormati gurumu. Keluar dari kelas ini SEKARANGG!!"
Guru itu mengacungkan tangannya ke arah pintu di samping kirinya dengan suara yang lantang dan sangat tegas.
Suaranya sangat keras, suara pak guru itu sangat keras dan kekerasannya melambangkan ketegasannya dalam mendidik anak muridnya. Tidak seperti tadi pagi, pak guru yang tadi terlihat ramah sudah benar benar tidak terlihat lagi.
Chad berdiri dari tempat duduknya dan berjalan menuju pintu kelas yang ditunjuk tadi dengan kakinya yang masih terluka, nampak Chad yang berjalan dengan normal tanpa terlihat pincang sedikitpun.
Suara langkah sepatunya terdengar oleh seluruh isi kelas yang sunyi. Chad Membuka pintu, keluar dari pintu tersebut dan kemudian menutup pintunya kembali. Suasana kelas yang sunyi dari tadi sekarang lebih mencekam setelah Chad keluar dari kelas.
Pak guru itu menutup mata, menarik nafas dalam dalam dan menghembuskannya perlahan, menghilangkan api amarah yang ada di dalam tubuhnya kemudian membuka matanya kembali dengan perasaan yang lebih baik.
"Semuanya sudah menghidupkan book tabnya? Bagus, sekarang kita mulai pelajarannya."
Tenza hanya bisa mengangguk dengan perasaan yang masih takut dan gugup. Bagi Tenza, suasana disini masih terasa mencekam, udara menjadi terasa lebih berat bagi Tenza.
Dengan perasaan gugup Tenza mengalihkan pandangannya ke book tab miliknya. Sekarang sudah pukul 10.10 yang artinya bel pulang akan berbunyi sekitar 2 jam.
***
'Triiiiiiiiiiiiiiiiingggggg'
Itu adalah suara bel pulang bagi Tenza yang berbunyi. Tidak dengan yang lain, Tenza dan Chad seharusnya sudah pulang sekarang. Yaitu pukul 12.00 akan tetapi...
"Tenza, ikut bapak sebentar keruang guru." Itulah alasannya kenapa Tenza tidak dapat pulang sekarang. Saat ini, dia harus menuruti perintah untuk mengikuti gurunya keruang guru.
'Semoga saja tidak lama.' Harapan Tenza dipikirannya.
"Iya pak." Tenza mengangguk, menutupi keluhannya terhadap kondisinya saat ini. Lagi pula tidak ada yang bisa dia lakukan dirumahnya. Tenza mulai berpikir bagaimana cara dia menghabisi waktu senggangnya.
Semenjak Chad dikeluarkan dari kelas suasana kelas memang mencekam, akan tetapi perlahan cekaman tersebut perlahan lahan menghilang. Dan Chad sudah boleh masuk kekelas sekitar 1 jam yang lalu.
Semuanya keluar dari kelas ini dan menyebar menuju kelas lain. Dan untuk Chad, dia sudah berjalan pulang sedari tadi. Sekarang ini Tenza sedang berjalan di belakang pak guru itu menuju ruang guru.
melihat anak anak yang masih kecil berlarian menuju lantai 1 dan keluar dari sekolah dengan girangnya membuat sebagian dari diri Tenza merasa iri dengan mereka.
Berjalan menuju pintu yang ada di depannya terdapat papan tulisan yang bertuliskan 'ruang guru', disanalah tujuannya berada. Ruang guru itu terletak di lantai yang sama dengan kelas Tenza. Mendadak dinginnya AC sekali lagi menyerang kulit Tenza, jika dibandingkan, dinginnya melebihi kelasnya.
"Ayo masuk." Pak Leone membukakan pintu, mempersilahkan Tenza untuk masuk. Ruangan guru tampak seperti ruangan kantor biasa. Ruangan dengan dinding putih disinari oleh sinar matahari lewat jendela kaca.
Terdapat beberapa lemari disetiap sisi dinding yang diisi dengan dokumen dokumen penting, terdapat 4 meja panjang dengan puluhan komputer berada diatas meja. beberapa guru yang sedang berbincang ria menikmati waktu istirahat dengan ditemani secangkir kopi, dan beberapa masih tampak fokus dengan komputernya masing masing.
"Ayo ikut bapak."
"..." Tenza hanya mengangguk. Mengikuti Pak Leone ke tempat duduknya yang berada di meja panjang yang paling dekat dengan pintu. Kemudian guru itu menarik kursinya memposisikannya lalu duduk di tempat duduknya.
"Silahkan duduk di sini."
Dan mempersilahkan Tenza duduk di tempat duduk yang sedang tidak digunakan disampingnya. Pak Leone mengambil selembar kertas di mejanya lalu mengulurkannya kepada Tenza.
"Ini formulir tujuan. Mungkin kamu sudah di beritahu tentang hal ini oleh teman mu." Katanya sambil memberikannya kepada Tenza.
"Ah terimakasih." Sesuai dugaan Tenza.
Tenza meraih selembar kertas tersebut, memandang dan membaca sedikit dari tulisan formulir itu lalu melipatnya, kembali menengadah ke arah Pak Leone yang sedang menunggunya selesai membaca.
"Namamu Tenza bukan?" Tanya Pria itu kebingungan untuk memulai pembicaraan.
Tenza hanya mengangguk. Rasanya aneh Pak Leone menanyakan hal itu. Bukankah dia sudah mengetahui namanya sebelumnya? Bukankah dia sudah memperkenalkan dirinya kepada laki laki paruh baya itu saat pertemuan pertamanya?
"Ahh bagaimana cara memulainya ya..."
Pak Leone menggaruk rambutnya dengan sedikit tersenyum ramah dan kemudian menempelkan tangannya ke dagunya dan memejamkan matanya, berpose seperti orang yang sedang berpikir.
"Kau tahu kasus yang terjadi akhir akhir ini?"
'Akhir akhir ini?' adalah kata kata yang muncul di dalam pikirannya.
"Tidak." Nampak Matanya bergerak ke kanan bawah sedang mengingat sesatu yang telah terjadi sebelumnya. Tenza hanya menggelengkan kepalanya, tidak mengerti dengan apa yang dimaksud dengan gurunya.
"Kasus tentang pemaksaan belajar oleh orang tua semakin lama semakin banyak terjadi."
"Kalau tidak salah saya pernah mendengar beritanya." Tenza mengangkat alisnya, dia benar benar ingat tentang itu, sebenarnya berita itu sudah ada cukup lama tetapi Pak Leone mengatakan '...kasus yang terjadi akhir akhir ini?'.
Pak Leone mengangguk dan mulai berbicara lagi.
"Ya, kasus pemaksaan belajar oleh orang tua semakin lama semakin banyak terjadi, ketika Elikya mengundang anak anak berprestasi untuk tinggal dan bersekolah di Elikya."
"...." Tenza hanya berdiam diri dan mendengarkan segala penjelasan yang dikatakan gurunya.
"Kebanyakan alasan yang di berikan kepada orang tua adalah ingin anaknya bersekolah di tempat yang berkualitas dan hidup enak. Tapi alasan sebenarnya..."
"Sebenarnya..." Tanpa sadar Tenza mengatakan itu, tampak ekspresi wajahnya semakin serius dengan pembicaraan yang baru saja dimulai ini. Tenza hanya bisa menebak apa yang ingin di katakan pak guru.
"Supaya sang orang tua tidak perlu lagi memikirkan biaya hidupnya sendiri dan hidup enak melalui anaknya."
Benar. Kurang lebih seperti itulah yang dipikirkan Tenza. Memaksakan kehendak orang tua kepada anak, menghancurkan cita cita si anak demi ego mereka itulah yang muncul di pikirkan Tenza.
'Tunggu, bukankah sekolah ini membiarkan setiap anak memilih cita citanya?' Tiba tiba pemikiran itu muncul di benaknya dan menganjal di kepalanya.
"Sepertinya kau sudah paham apa yang ingin bapak bicarakan. Langsung saja ke intinya."
Tenza mengangguk dan memperhatikan Pak Leone dengan lebih serius. Suasana menjadi terasa serius. Pak guru itu membuka mulutnya mengeluarkan kata kata dan otak Tenza siap merekam setiap kata kata yang akan keluar.
"Apakah orang tua mu memaksamu juga?"
"Tidak, tidak ada paksaan." Tenza menggelengkan kepalanya. Karena Tenza sudah tidak memiliki Ibu dan untuk Ayahnya, kabarnya tidak diketahui selama bertahun tahun hingga sekarang.
"Begitu yahh..." Pria itu menghela nafas legah terhadap muridnya.
Pak guru itu tersenyum memecahkan suasana yang serius ini. Kemudian sedikit memutar pandangannya ke samping. Mengubah suasana menjadi serius lagi.
"Ini hanya perasaan bapak."
"..." Tenza melihat ekspresi wajah lawan bicaranya, tampak serius sehingga Tenza juga mencoba untuk lebih serius.
"Mungkin orang tua Chad memaksanya untuk belajar dengan cukup ekstrim." Pria itu merendahan suaranya, berbisik kepada Tenza.
" Cukup ekstrim?...Jika hal itu benar?" Tanya Tenza memelankan suaranya, meniru apa yang dilakukan oleh gurunya.
"Jika hal itu benar, semoga saja tidak ada kekerasan yang dilakukan oleh orang tuanya."
Dengan mengatakan hal demikian Pak Leone membenarkan pandangannya memutarkannya kembali menuju pemuda yang sedang ia ajak bicara tersebut. Jika ada kekerasan maka orang tua Chad akan di tangkap dan dipenjara atas kasus KDRT. Tapi ada sesuatu yang mengganjal di dalam kepala Tenza.Tenza mencoba untuk mengatakan hal yang mengganjal tersebut.
"Bukankah Elikya memperbolehkan setiap anak menjadikan cita citanya menjadi nyata?"
"Memang benar." Pria itu mengangguk membenarkan perkataan Tenza.
"Jika memang ada pemaksaan ke anak, lalu apa keahlian Chad hingga dia bisa...ahhh!" Baru saja Hal yang mengganjal itu ingin ia ucapkan, akan tetapi jawabannya sudah muncul dibenaknya.
"Kau sudah mengerti sekarang." Pak Leone tersenyum simpul.
"Iya aku mengerti." Tenza mengangguk paham. Permasalahan sebenarnya adalah Test masuk Elikya adalah ujian tertulis.
"Ujian yang diberlakukan adalah ujian tertulis, bukan semacam ujian bakat. Menurut bapak, Chad memiliki bakat yang tidak cocok dengan ujian yang diberlakukan."
"Jadi?"
"Jadi, orang tuanya memaksanya untuk belajar dan belajar sesuai dengan apa yang ada di dalam ujian. memang tidak salah orang tua menyuruh anaknya belajar sesuatu yang tidak sesuai dengan bakatnya tapi jika terlalu dipaksakan dan menggunakan kekerasan, itu sudah beda lagi ceritanya."
Tenza diam, Tenza hanya terdiam. Mencerna apa yang dikatakan oleh Pak Leone, mendengar hal yang demikian membuat Tenza sedikit merinding jika hal itu benar benar terjadi.
Kenapa Elikya tidak melakukan ujian bakat atau semacamnya? Itu sudah jelas, karena dunia sedang tidak membutuhkan seorang aktor atau artis yang dengan keahlianya dapat menciptakan film dengan pertokohan yang bagus, dunia sedang tidak membutuhkan seorang pelukis handal yang dapat menciptakan sebuah maha karya, dunia sedang tidak membutuhkan seorang pemain bola dunia yang dengan kelincahannya dapat membuat timnya dapat menang dalam piala dunia, dunia sedang tidak membutuhkan seorang penyanyi dengan suara emasnya dapat menciptakan lagu yang benar benar indah. Dunia sedang tidak membutuhkan orang orang seperti itu.
Dunia sedang membutuhkan seorang ahli teknologi dan ahli dalam bidang lainnya untuk menyelesaikan masalah masalah yang sedang terjadi saat ini.
Masalah uang, makanan, lahan, moral, polusi dan masih banyak lagi. Dunia sedang membutuhkan seorang genius yang bisa menyelesaikan masalah masalah yang sedang terjadi saat ini.
"Yah...ini hanya perasaan bapak, semoga saja hal ini tidak benar benar terjadi."
"Semoga saja." Tutur Tenza menundukan kepalanya, menghela nafas menerima realita kehidupan yang perih ini.
"Ngomong ngomong, kau sudah boleh pulang."
"Ah baiklah. Permisi."
Tenza berdiri dari duduknya, membenarkan posisi tempat duduknya seperti semula, lalu berjalan menuju pintu dimana dia masuk tadi. Membukanya keluar dari pintu tersebut dan menutupnya kembali.