Seperti kata Tuan Bingley, kendatipun tempat tujuanku sangat jauh, dan sedikit tidak rela meninggalkan Bristol--kota tempatku tinggal sekarang. Satu-satunya hal yang dapat diandalkan untuk melambungkan semangat adalah membayangkan bagaimana kota tempat tinggalku nanti, sambil melihat lorong raksasa stasiun kereta api, yang tampak berkilau seperti dibersihkan setiap hari. Di tempat ini, ada bunyi riuh berdentang, serta suara persiapan keberangkatan kereta. Monica memutuskan membeli majalah di kios buku, lalu dengan langkah ringan, berjalan di sepanjang peron, di samping kereta yang mengepulkan uap. Sambil mengigat perkataan Tuan Bingley tadi.
Aku menemukan kursiku di gerbong tengah. Menggeser pintu gerbong tempat duduk, meletakkan jaket dan barang bawaannya di atas rak, kemudian duduk diatas kursi yang hangat dan nyaman.
Saat kereta meninggalkan London, kabut tipis mulai tampak menyelimuti kota hari ini. Aku menatap ke luar jendela, terlihat langit mulai beranjak terang.
Green House, itulah nama rumah yang akan aku tempati, seperti perkataan Tuan Bingley sebelum memberi beberapa petuah kepadanya. Dia berkata, penduduk kota Foghill akan langsung memberitahumu dimana letak rumah itu jika kau menyebut namanya.
Aku memerhatikan bahwa rel mulai sedikit berbelok meskipun masih menuju Utara, dan cukup menikmati sarapan lezat yang dihidangkan padaku. Aku tampak nyaman selama dua jam perjalanan, meskipun kereta yang kutumpangi memiliki gerbong kuno, kursinya tetap terasa nyaman dan tidak membuat bokongnya sakit. Gerbong itu juga tidak berbau seperti kayu tua, tampak sangat terawat.
Hingga akhirnya, Aku menyadari sepertinya akan menjadi penumpang terakhir. Karena--siapa yang ingin pergi ke kota kecil yang namanya saja bahkan jarang didengar. Tapi, peluit petugas stasiun tiba-tiba berbunyi, seorang pria masuk ke dalam pembatas peron, melirik kearah gerbong kosong yang terlihat hampa, dan begitu tatapannya bertemu denganku, pria itu mendekat--sangat jelas bahwa pria tersebut lebih suka mempunyai teman mengobrol selama perjalanan.
Pria itu mulai membuka jaket panjangnya, beberapa butiran salju masih tampak menempel disana. Sebelum pria itu menatapku dari ujung kaki sampai ujung kepala, bukan dengan pandangan menyelidik, tapi dengan raut yang terlihat penasaran. Lalu dia melihat ke arah barang-barang bawaan yang bertengger di rak, sebelum mengangguk mengerti.
"Sepertinya, Saya lolos dari cuaca buruk. Saya beruntung karena berangkat sebelum salju mulai turun."
"Ya benar," ujar pria itu. "Tapi, ketika Anda turun dari kereta, salju akan langsung menumpuk dijaket Anda. Ditambah lagi dengan cuaca yang terasa makin dingin."
"Aku sudah mempersiapkan untuk itu."
"Tapi kalau Anda pikir dengan datang kemari hanya dihadapkan dengan salju tebal, Anda salah. Di belahan Utara sini, terdapat kabut yang cukup tebal."
"Kabut tebal?"
"Maksudku, kabut laut. Kabut itu datang sangat cepat dari laut ke daratan, menyebar keseluruh kota," pria itu memberi jeda sejenak, mengeluarkan sebuah koran tapi tidak langsung membukanya. "Ditambah ini bulan Desember bukan? Akan sulit bagi Anda jika harus menghadapi salju yang turun dan kabut tebal. Itu akan membuat seseorang sulit melihat."
Kemudian, karena tidak ingin membahas sesuatu lebih lanjut dengan pria di depan, aku memutuskan untuk mengeluarkan buku catatan, mungkin aku bisa menulis beberapa, sambil menghabiskan waktu selama perjalanan. Maka, selama beberapa saat, perjalanan di atas kereta ini berlangsung dengan keheningan--hanya terdengar suara yang dihasilkan dari mesin kereta, dentang roda bes yang beradu dengan rel, dan suara badai salju dari balik jendela.
Tapi, aku bukanlah orang yang betah berlama-lama dalam keheningan, aku mulai merasa bosan, ditambah hawa dingin yang mulai menusuk di dalam gerbong ini. Memutuskan untuk memasukkan buku catatan dalam tas kecil yang selalu kubawa, dan mulai memerhatikan pria di depan yang tampak sibuk dengan korannya. Dia pria yang memiliki badan tegap, memiliki kulit putih pucat, wajahnya pun terlihat tampan dengan rambut pirang dan memiliki bola mata biru, tutur katanya pun terlihat baik--mungkin karena dia orang yang terpelajar. Dan menurutku, dia berusia sekitar dua puluh lima tahun sama sepertiku. Pakainnya yang dikenakannya pun terlihat memiliki mutu tinggi, mungkin dia berasal dari keluarga yang cukup kaya.
Aku kembali menatap jendela, kabut tipis mulai tampak diluar sana. Setelah itu, merasakan hawa semakin dingin, bahkan pakaian tebal yang kugunakan kurang berguna. Ketika itulah pria asing itu membuatku sedikit terkejut dengan pertanyaannya, "Apa Anda akan menetap di Foghill? Atau sekedar kunjungan?"
"Bagaimana Anda tahu?"
"Tentu Saya tahu! Karena sebentar lagi kita akan sampai di tujuan terakhir, stasiun Foghill," jawab pria itu santai, melipat koran yang sedang dibacanya, dan mengalihkan atensinya kepadaku.
"Jadi begitu, Saya akan menetap disana--mungkin. Dan apakah Anda akan berkunjung ke Foghill juga? Sekedar berlibur mungkin."
" Tidak tidak. Saya tinggal disana, Anda tidak akan bisa menemukan apa-apa di kota kecil itu. Jadi, Anda sudah menemukan tempat tinggal disana?"
"Ya. Apa Anda tahu tentang Green House?" tanyaku ragu.
"Tentu Saya tahu! Apa Anda putri dari Julia Lawrence?" Aku terkejut dengan ucapan pria di depanku, bagaimana dia bisa tahu tentang ibuku? Apakah mereka kerabat dekat?
"Benar. Anda mengenal ibu Saya?"
"Ya," pria itu mengangguk pasti, "ibu Saya yang mengurus Green House, ibu Saya adalah sahabat ibu Anda."
"Mungkin, Saya bisa menanyakan kepada ibu Anda alasan ibu Saya menghilang," gumanku.
"Maaf, apa yang Anda katakan?"
"Tidak, lupakan saja."
"Baiklah." Ada jeda sesaat, sebelum pria di depannya melanjutkan, "tapi, Green House adalah rumah terkutuk, semua orang di Foghill mengetahui itu. Maksud Saya--Saya tidak mencoba menakuti Anda, hanya sekedar memberitahu."
"Apa maksud Anda dengan rumah terkutuk?" tanyaku mulai penasaran.
"Saya tidak tahu pastinya, karena Saya sudah lama tidak kembali ke kota itu. Mungkin, ibu Saya bisa memberitahumu."
Aku mengangguk mengerti.
"Dan barangkali Anda membutuhkan teman selama disana, Nona ....?"
"Monica. Monica Lawrence."
"Samuel Anderson."
Kami saling berjabat tangan.
"Tapi, memang benar rumah itu terkutuk. Apalagi jika Anda hanya tinggal sendiri disana."
"Saya mengerti," ujarku sambil tersenyum, "apakah Anda akan mulai menceritakan kisah hantu tentang rumah kuno itu."
"Tidak," Samuel kemudian hanya tertawa menanggapi perkataan itu, "Saya bukan orang yang seperti itu."
Aku mengusap kaca jendela, berusaha memandang keadaan diluar yang tertutup oleh salju tebal. Sejujurnya, aku mulai khawatir, aku bukanlah orang yang penakut. Tapi, perkataan Samuel yang terdengar serius membuatnku ragu. "Seberapa jauh lagi perjalanan kita?" Bagaimanapun, aku akan berada di sebuah kota asing, tinggal sendiri ditemani dengan hawa dingin yang menusuk pada bulan Desember.
Samuel mengeluarkan jam sakunya. "Mungkin, sekitar satu jam lagi paling cepat. Kita hanya harus melewati sebuah terowongan panjang, dan sebuah gunung. Foghill berada dibalik gunung itu."
"Rasanya, perjalanan Saya sangat lama. Saya tidak tahan berlama-lama di dalan kereta ini."
"Karena ini daerah yang terpencil, dan berada dipaling ujung."
"Saya harap, ada yang bisa dilihat di kota itu."
"Itu bergantung pada Anda. Disana banyak gereja tua, mungkin sudah berusia lebih dari lima puluh tahun. Atau mungkin, Anda lebih tertarik untuk mengunjungi sebuah pekuburan tua yang luas disana?" Samuel terkekeh pelan.
"Anda hanya membuat saya tak sabar ingin segera pulang ke Bristol."
"Maafkan Saya. Tapi, Anda akan cukup nyaman di Foghill. Tempat itu sedikit sepi dari kota lainnya, dan mempunyai sebuah tebing di dekat laut, akan sangat indah melihat matahari terbenam disana. Dan sangat cocok untuk orang yang menginginkan tempat yang damai."
Aku mengerti, Samuel menyadari ke khawatiranku dan berusaha menghiburn. Maka aku akan menyampaikan terima kasih kepada Samuel, kemudian kam fokus kembali pada dunianya masing-masing, memustuskan untuk membunuh waktu di sisa perjalanan yang melelahkan ini.[]