Mobil mulai pergi, perlahan-lahan menembus pasar yang ramai, menuju jalan kecil yang berada diujung pasar. Sampai kami melewati sebuah gereja yang terlihat cukup tua, namun masih sangat terawat, dengan lumut yang tumbuh di sisi kanannya. Saat itulah, aku melihat seorang wanita di pemakaman yang berada dibelakang gereja, aku tidak dapat melihatnya dengan jelas. Tapi, wanita itu mengenakan gaun hitam legam, terlihat seperti gaun untuk perkabungan, dan aku bisa melihat beberapa jejak lumpur pada ujung gaunnya. Ini aneh, sekarang adalah bulan desember, bagaimana mungkin bisa ada kubangan lumpur disini, mungkin wanita itu hanya menggunakan gaun yang diambil dari lemari tua, tanpa mencucinya terlebih dahulu. Topi besar menutupi hampir sebagian wajahnya, tetapi aku masih bisa melihatnya, dia memiliki tubuh yang kurus, wajahnya sangat pucat dan terlihat sama seperti salju yang sedang turun. Semacam syal mengikat lehernya, tidak terlihat seperti syal untuk musim dingin. Menatap sebuah nisan dengan pandangan sendu, mungkin itu nisan saudara atau kerabat dekatnya, karena dia terlihat sangat terluka.
Aku kembali memfokuskan pandanganku kedepan, tidak baik terus menatap seorang wanita yang sedang berkabung, lagipula dia sudah tidak terlihat karena mobil yang kunaiki semakin menjauh dari gereja.
Hari ini cuaca terlihat cerah meskipun salju sedang turun, matahari bersinar tipis di balik awan putih;menyusup ke celah-celah awan dan menyinari semua penjuru kota. Tatkala kami melintas cepat ditengah kota, aku bisa melihat beberapa bangunan yang sudah tua, ikut ditumbuhi lumut di beberapa sisinya, dan jalanan yang masih berupa tanah berwarna cokelat pekat dengan bebatuan diatasnya, tidak seperti London ataupun Bistol.
Tapi berangsur-angsur, tanah berganti menjadi rerumputan tinggi, aku melihat tanggul dan parit penuh air, kemudian kami melewati sebuah tanah cukup luas yang telah dibajak.
Jiwaku bersuka ria menikmati keindahan yang mengagumkan ini, pemandangan yang amat indah dan udara yang terasa masih segar. Aku rela berkelana sejauh ribuan kilometer untuk memanjakan mata dengan pemandangan ini. Tidak pernah kubayangkan, Foghill adalah kota kecil yang sangat indah.
Satu-satunya bunyi yang bisa kudengar adalah suara deru mesin mobil yang berjalan, sesekali kicauan burung ikut terdengar diatas pohon yang kami lewati. Kami mungkin sudah menempuh tiga kilometer, tapi tiada ladang maupun parit, tidak ada juga rumah-rumah tua yang disebut tempat tinggal, hanya ada pepohonan rimbun disepanjang sisi jalan. Hanya ditemani salju yang turun menempel diatap mobil, kamj seolah-olah melaju ke sisi dunia lainnya.
Di depan kami, terlihat air gemerlapan bagai berlian, dan mobil kami mulai mengitari bongkahan es yang besar dan mengkilap itu. Semakin diperhatian, itu adalah sebuah danau yang telah membeku akibat cuaca dingin, dan terlihat tidak terlalu besar. Mobil kami mulai berhenti diujung danau satunya, sepertinya telah sampai ditempat tujuan. Matahari terpantul diseluruh permukaan es, sehingga danau itu bersinar dan berkilau bagaikan sebuah cermin.
Karena pantulan matahari begitu terang menghalangi pandangan, aku berusaha memfokuskan pandangan ke depan, dan kulihat sebuah rumah, terlihat tinggi dan kuno, dengan dinding yang terbuat dari batu, terlihat sangat muram dan dingin. Rumah itu berdiri dengan kokoh, menghadap sebuah danau es yang kulewati tadi, inilah rumah yang letaknya paling mengherankan yang pernah kutemui; untuk apa ada sebuah rumah ditempat terpencil dan jauh dari peradaban manusia.
Selama beberapa saat, aku hanya duduk terdiam dan memandang sekelilingku, suara mobil telah dimatikan Samuel, yang terdengar hanya suara kicauan burung yang saling bersahutan. Aku merasakan sensasi yang aneh, khawatir namun juga bersemangat... aku tak tahu pasti. Yang pasti, aku dilanda keheningan, Samuel memutuskan tidak berbicara dan hanya menatapku melalui kaca mobil. Tapi aku tidak merasa takut-- apalah yang harus kutakuti dari rumah tua ini? Suara burung hantu di malam hari? Badai salju?
Aku turun dari mobil dan terlihat Samuel juga mengikutiku.
"Jadi, ini rumahnya?"
"Benar. Itulah mengapa ibuku khawatir kau hanya tinggal sendiri disini, karena tempat ini sangat terpencil." Aku menatap kearah Samuel, dia melanjutkan perkataannya sebelum aku menjawab, "maaf jika aku tidak berbicara formal. Tapi, bukankah kita harus lebih akrab karena kau akan lebih sering membutuhkan bantuanku?"
Sebenarnya bukan itu yang ingin aku permasalahkan--tapi aku hanya menganggukan kepala menanggapi ucapannya.
Jadi aku tidak bisa berbuat lebih disini, selain hanya melihat-lihat keadaan sekitar dan membiasakan diriku dengan suasana rumah yang sepi ini. Tapi, tempat ini membuatku takjub, sekarang aku tahu alasan ibu membeli rumah ini. Terpencil namun sangat nyaman, dan cocok untuk menulis karena tidak ada kebisingan.
"Begini," kataku setelah kembali ke dunia nyata. "Rasanya konyol jika Anda--maksudku kau setiap hari pergi kesini untuk melihat keadaanku. Itu akan sangat melelahkan, lebih baik kau kesini setiap dua hari sekali. Atau mungkin saat aku membutuhkan sebuah kendaraan.?"
Aku menunggu, kukira Samuel akan membantah, karena bagaimanapun bibi Lily sudah menyuruhnya untuk melihat keadaanku setiap hari--itu terjadi saat sarapan tadi. Tapi tak kusangka, Samuel mengangguk setuju.
"Kau benar. Tapi, jika aku yang menginginkan sendiri untuk mengunjungimu itu tidak masalah bukan?"
Aku hanya bisa setuju dengan perkataan, memutuskan untuk tidak berdebat lebih panjang dengan Samuel. Kemudian, aku memutuskan untuk mengeluarkan semua koperku, dibantu dengan Samuel yang ikut mengeluarkan barang bawaan lain. bibi Lily berkata rumah ini sudah dibersihkan sebelumnya, agar aku tidak perlu repot untuk membersihkan rumah besar ini sendiri. Aku melihat lagi kearah rumah besar itu, sebelum angin dingin tiba-tiba merayap ke tengkukku. Membuatku merinding dalam sekejap, aku mulai merasakan sesuatu yang tidak biasa ditempat ini. Tapi, aku memutuskan untuk tidak peduli dan mulai bersiap membongkar isi barang bawaanku.[]