Maya baru saja mandi dan duduk linglung di sofa kamarnya. pikirannya melayang saat dia bisa keluar dari dunia misteri itu. Dia ingat saat dia ketakutan menatap mata orang itu, dia menekan buku yang dipegangnya dan hatinya bergejolak melafalkan keinginannya" Aku ingin pulang" dan dunia itu mengabur dan menjadi cahaya putih, tubuhnya terlempar dan begitu dia membuka mata dia sudah kembali ke ruang baca, bersandar di rak buku.
Mata Maya tanpa sadar tertuju pada buku itu. Ia sangat penasaran, apa yang menyebabkan dia kembali? Bagaimana dia bisa kembali ke dunianya? Sebenarnya, dunia apa yang di datanginya itu? Kenapa Binatang disana aneh? Siapa dan Kenapa sosok telanjang itu?
Berbagai pertanyaan melintasi kepalanya. Ia ingin pergi kesana untuk menguak misteri tapi bagaimana kalau dia tidak bisa kembali?
" Nona!."
Ketukan itu mengembalikan kesadaran Maya.
" Masuk!." Katanya membenarkan duduknya.
" Ada apa?."
Pelayan itu memberi hormat." Makan malamnya sudah siap dan Tuan sudah ada diluar menunggu nona."
" Aku akan keluar sebentar lagi."
" Baik." Pelayan itu keluar dan menutup pintu kamar.
Maya merasa sedikit gugup. Dia sudah menerima laporan dari pelayan kalau ayahnya membuat keributan di sayap kiri saat tahu dia tidak muncul selama dua hari.
" Oh...kamu sudah datang?." Tuan Ferd menyongsong melihat Maya berjalan kearah meja makan.
" Siapkan supnya sekarang." Dia langsung mengintruksikan pelayan menata meja makan.
Meja dengan limpahan makanan mengepul terpampang di depan Maya. Dua tahun terakhir, suasana akrab ini jarang terjadi, kalaupun pengaturan ini dilakukan, Maya selalu merasa canggung karena kehadiran Melinda dan Grace.
Karena di meja hanya ada dia dan ayahnya sikap Maya tidak sedingin biasanya.
Walaupun Wajahnya belum menampilkan secarik senyum, setidaknya sikapnya sudah melunak. Tuan Ferd makin antusias menawarkan ini dan itu pada Maya. Wajah Maya sangat mirip ibunya, melihatnya sedikit mengobati kerinduannya.
" Pelayan mengatakan kalau kamu tidak makan dalam dua hari ini, apa yang kau lakukan?." Tuan Ferd hati-hati bertanya.
" Membaca di perpustakaan ibu."
" Tidak makan?."
" Ada roti yang kumakan sambil membaca jadi tidak lapar."
Tuan Ferd tahu anaknya berbohong tapi dia tidak ingin mengejar permasalahan ini lagi.
Sisi lain, Maya tahu kalau ayahnya tidak percaya yang dia katakan, tapi dia bersikap seolah yang dikatakan kebenaran. Masalah ini menguap dengan sendirinya.
" Kembalilah sekolah besok. Gurumu akan menjemputmu kalau ayah menahanmu terlalu lama."
" Baik." Kata Maya sopan.
****
" Akhirnya kamu kembali sekolah!." Mary berlari memeluk Maya. pelajaran pagi adalah praktek kimia, sebagai kelompok pertama, Mary dan Renata langsung menuju ruang praktek tanpa ke kelas terlebih dahulu. Pelajaran praktek menghabiskan jam pelajaran dua kali lipat lebih lama daripada pelajaran teori. setelah jam praktek itu menjadi jam pelajaran mandiri. Maya dan ingky memilih meninjau pelajaran di outdoor class, taman baca yang bisa digunakan membaca di jam pelajaran mandiri.
" Senang melihatmu lagi."
Ingky mengcibir." Senang, ada PR yang bisa dia salin." Sindirnya.
" Tentu saja." Mary tersipu.
"Cih...!" Ingky menatap jengkel tapi Mary tidak menanggapinya, dia lebih sibuk mengamati Maya.
" Kamu terlihat sedikit kurus."
Mata Ingky juga mengamati Maya.
" Iya, nih Maya, padahal baru beberapa hari, kok bisa kurus?."
" Mama tirimu tidak menyiksamu,kan?." Mary bertanya
" Tidak.Kami tidak pernah bertemu.'
" Mungkin dia sangat marah Grace dihukum pihak sekolah."
Maya menggeleng. " Ayah yang tidak mengijinkannya meninggalkan sayap kiri mansion."
" Lega mendengarnya." Kata Ingky.
" Hei Maya!." Renata bergabung." Tadinya aku tidak percaya kalau kamu sudah sekolah lagi." Dia meletakkan sepatunya diatas meja.
" Ada apa denganmu? kenapa membuka sepatu?." Ingky segera bertanya melihat Renata bertelanjang kaki.
" Dia." Renata menunjuk Mary." Entah bagaimana dia mencuci tangan sampai airnya muncrat menyiram sepatuku."
" Aku tidak sengaja." Mary tertawa kecil."Lagian, aku hanya menyiram satu, kenapa membuka keduanya?."
Renata mendengus. " Akan lebih aneh kalau aku hanya memakai satu sepatu. pikiranmu aneh!." Renata kesal.
" Berapa ukuran kakimu? itu terlihat lebih besar." Ingky mengamati sepatu Renata.
" Tentu saja karena aku tinggi, jadi kakiku panjang." Mendengar ucapan Renata, tanpa sadar ketiganya melihat kearah kaki Renata.
Kening Maya mengkerut, tatto di kaki Renata menarik perhatiannya, itu terlihat familar baginya.
Dimana dia melihatnya?
Maya yang bingung menatap Renata yang kebetulan melihat kearahnya.
" Ada apa?." Tanya Renata melihat ekspresi serius Maya. " Kenapa..
" Eh...!" Renata belum sempat menyelesaikan kalimatnya saat Maya tiba-tiba meraih kakinya. Dia terjungkal.
" Maya, ada apa? kenapa aku tidak tahu kamu punya selera humor begini."
" Tatto ini?!." Guman Maya.
" Lepaskan kakiku. itu geli." Teriak Renata disela-sela tawanya.
" Bagaimana bisa kamu memiliki tato ini?." Maya makin menarik kaki Renata kearahnya untuk lebih menelitinya lagi.
" Lepaskan dulu baru kita bicara.Ini geli dan sakit."
Maya akhirnya menurut.
" Katakan! Bagaimana kamu memiliki tato itu?."
" Itu tato keluaga. Setiap anak yang lahir dari klanku akan diberi tatto itu."
" Bentuknya aneh."
Renata mengelus tato di kakinya.
" Ini nama Klan kami dalam bahasa purba."
Ekspresi Maya makin serius. Tato di kaki Renata mirip dengan yang ada di mata kaki sosok yang dilihatnya dalam dunia misteri.