"Kadang kita tidak perlu mempertahankan sesuatu yang bukan milik kita."
Ucapan Tia bak petir di siang bolong bagi Dino. Tubuhnya gemetar dan kaget. Ia menghentikan tariannya. Dino terdiam membisu. Ia penasaran dengan Tia. Reflek pria itu menarik Tia dari ruang pesta dan membawanya bicara di samping ruang pesta yang berbatasan dengan laut.
"Apa maksud dari ucapanmu?" Dino meminta penjelasan pada Tia. Sepertinya wanita itu tahu banyak tentangnya.
"Pepatah pernah mengatakan. Kita tidak boleh memaksakan ukuran sepatu kita pada orang lain. Jika tidak muat silakan ganti ukuran. Aku hanya mengingatkan anda."
"Apa yang perlu aku ingat?"
"Aku tahu jika anda tengah menyelidiki bosku. Anda ingin mengetahui masa lalunya. Anda pun sudah tahu siapa Aldebaran sebenarnya. Bara adalah suami dari Fadila Elvarette."
"Omong kosong." Dino semakin naik pitam mendengar ucapan Tia.
"Pak Bara mengalami hilang ingatan karena peristiwa penembakan yang dilakukan lawan politiknya. Beliau kena tembak karena sedang mencari Dila yang kabur dari rumah. Meski beliau hilang ingatan namun perasaannya pada Dila tetap sama."
"Apa yang kamu bicarakan?"
"Sudahlah Pak Dino tidak perlu berpura-pura lagi. Anda sudah tahu semuanya. Dila dan Bara masih sah sebagai suami istri sampai sekarang secara hukum."
"Dila istriku bukan istri Bara," geram Dino dengan suara bariton. Napasnya terasa sesak ketika menyadari pihak luar ikut campur dalam urusan pribadinya.
"Pede sekali anda mengakui jika Dila istri anda. Aku sudah mengecek ke instansi terkait. Anda orang Indonesia bukan? Anda bukan warga negara Malaysia. Aku harap anda mengalah dan memberikan waktu untuk mereka berdua. Mereka saling mencintai. Pak Bara hanya butuh waktu untuk mengingat semuanya."
"Omong kosong macam apalagi yang ingin kamu katakan?" Dino mencengkram lengan Tia.
"Seorang Tia tidak pernah membicarakan omong kosong. Aku sudah tahu apa hubungan anda dengan Dila. Kalian hanya sepupu. Aku juga sudah tahu jika triplets adalah anak kandung dari Pak Bara."
"Triplets anakku bukan anak Bara." Dino menyangkal. Pria itu meninggalkan Tia. Namun baru beberapa langkah, Dino diam mematung mendengar ucapan Tia.
"Jika bukan anak Pak Bara mana mungkin dalam akte kelahiran tertulis nama ayah mereka Aldebaran dan ibu mereka Fadila Elvarette."
Dino shock mendengar ucapan yang keluar dari mulut Tia. Wanita itu sangat menakutkan dan tak bisa diremehkan. Dino tahu apa yang dibicarakan Tia benar karena ia sendiri yang mengurus akte kelahiran triplets ke Padang.
"Jangan bicara omong kosong nona." Dino bersikap biasa saja seolah tak terjadi apa-apa.
"Aku bukan tong kosong nyaring bunyinya." Tia mengambil ponsel dari tas kecil yang ia pasang di pinggangnya. Tia memperlihatkan foto salinan akte kelahiran triplets.
Dino tercekat. Pria itu tak bisa bicara apa-apa lagi. Ia memandang tajam pada Tia.
"Apa yang kamu inginkan?" Lirihnya dengan mata merah.
"Aku hanya ingin mereka bersatu. Mereka sudah cukup menderita telah berpisah selama tiga tahun. Aku hanya ingin yang terbaik untuk mereka. Shaka, Shakel dan Salsa harus tahu siapa ayah kandung mereka. Meski anda telah menjadi ayah yang baik bagi mereka, tapi itu tidak cukup. Mereka harus kenal dengan Pak Bara. Pak Bara telah lama menderita."
"Tapi Bara sudah menikah," balas Dino ketus.
"Pak Bara single? Beliau tidak pernah menikah selain dengan Dila."
"Bara hilang ingatan berarti mereka sudah tidak di takdirkan bersama."
"Anda lucu sekali Pak Dino." Tia malah tertawa.
Dino merasa heran dengan perubahan sikap Tia. Wanita itu sangat aneh dan tak bisa ditebak.
"Saya memegang kartu AS anda Pak," ucap Tia dengan senyum evil.
"Apa yang kamu ketahui tentangku?" Dino malah gemetar. Tiba-tiba tubuhnya kaku dan berdiri mematung menatap Tia. Entah kenapa rasa takut itu muncul. Tia dengan yakin dan percaya diri mendekat padanya.
"Bapak Dino Putra Chaniago," panggil Tia mengeliling Dino.
"Jangan basa-basi."
"Ingat tidak dengan mahasiswa magang yang telah menyelamatkan anda?"
Tubuh Dino seketika membeku, menatap Tia dengan nanar. Kenapa gadis ini tahu dengan masa lalunya? Dino bungkam memberikan waktu untuk Tia bicara. Setelah kejadian malam itu Dino memang mencari tahu siapa mahasiswa magang yang bersamanya malam itu. Setelah cinta satu malam mereka, gadis itu sudah tak menampakkan batang hidungnya. Gadis itu tidak pernah datang meminta pertanggungjawabannya dan tak menyelesaikan magang di kantornya.
Dino menyesal setelah mengetahui kebenarannya. Gadis itu tidak pernah menjebaknya dan hanya ingin menolongnya. Dino menyesali ucapannya malam itu. Pasti gadis itu sakit hati dan terluka atas perkataannya. Dino mencari keberadaan gadis itu namun tidak menemukannya. Sudah mencari ke kampus namun pihak kampus tidak mau memberikan alamat lengkapnya.
Dino juga menemukan fakta jika malam itu memang ada orang yang akan menjebaknya namun usaha itu gagal karena mahasiswa magang itu menolongnya.
"Apa yang kamu ketahui?" Dino melunak. Menatap Tia tajam dan arogan. "Jangan mengarang cerita jika gadis itu kamu. Aku masih ingat wajah gadis itu."
Tia tertawa terbahak-bahak seraya memegangi perutnya. Dino menjadi lucu dan menyebalkan dalam waktu bersamaan.
"Siapa juga yang mau mengaku jika gadis itu adalah aku. Jangan mimpi Pak Dino."
"Lantas?"
"Anda sudah menghancurkan masa depan sahabatku. Dia hamil karena perbuatan anda."
"Jangan mengarang kamu." Dino meradang karena dituduh menghamili wanita lain.
"Saya tidak pernah mengarang. Rere hamil anak anda dan anak itu sudah berusia dua tahun." Tia membuka ponselnya dan membuka galeri di ponselnya. Tia mengirimkan foto Rere dan Leon ke nomor WA Dino.
Smartphone Dino berderit. Ia mendownload foto yang dikirim Tia padanya. Shock bercampur rasa kaget. Anak lelaki itu sangat mirip dengannya waktu kecil. Mata, hidung, bibir dan wajah semua miliknya. Tanpa perlu tes DNA Dino yakin jika itu anaknya. Dino masih bisa mengingat wajah Rere dengan baik. Peristiwa malam itu memukul mental Dino. Merasa berdosa karena telah melakukan zina dan merenggut kesucian seorang gadis. Istrinya baru meninggal tujuh hari dan ia sudah bermain cinta dengan perempuan lain yang bukan mahramnya.
"Apa yang kamu katakan itu benar?" Dino bertanya untuk memastikan apakah Tia jujur atau tidak.
"Bisa lihat mataku Pak?" Tia meminta Dino untuk melihat ke matanya. "Apa ada kebohongan disini?" Suasana menjadi haru kala Tia mengeluarkan air mata.
"Apa kamu punya bukti?" Dino belum bisa percaya dengan bukti foto tadi. Ia masih butuh bukti yang lain untuk menghilangkan kecurigaannya.
"Tentu saja aku punya bukti. Aku mengetahuinya ketika melakukan penyelidikan tentang anda dan Dila." Tia memberikan bukti pada Dino. Ia melempar map coklat pada Dino. Pria itu membacanya dan terhenyak…
"Setelah anda mengetahui kenyataan ini apakah anda akan tetap jadi penghalang antara Bara dan Dila?"
"Apa kamu tidak berusaha menipuku?"
"Aku tidak mungkin menipumu hingga membuat skenario yang mengerikan seperti ini. Aku tidak seburuk itu. Aku mengatakan ini hanya untuk membuat kamu sadar dan memperbaiki apa yang telah rusak. Apa perlu aku bersumpah di atas Alquran agar anda percaya?"
Dino tahu tak ada kebohongan dari mata Tia. Perempuan itu berkata sebenarnya.
Dino dan Tia bicara dari hati ke hati layaknya seorang sahabat lama yang tak lama berjumpa. Semakin lama bicara dengan Tia, Dino semakin yakin apa yang diucapkan Tia benar. Dino oleng dan hampir jatuh. Panik tentu saja panik mengetahui punya anak lagi dari wanita lain.
"Pak Dino anda tidak apa-apa?" Tia membopong Dino dan membawa pria itu duduk.
Dino melamun dan masih sulit mempercayai kenyataan yang ada di depan matanya. Dino hanya butuh waktu untuk berdamai dengan keadaan.
"Bagaimana dengan Rere? Apa dia sudah menikah?"