Ainil dan Herman membawa Rere dan Angga ke ruang tamu. Mereka ingin tahu hubungan Angga dan Rere di masa lalu. Angga tidak berani menatap Ainil karena mata wanita itu berkobar bak api yang tengah menyala. Ada rasa takut tertolak menderanya. Ibu mana yang tidak akan marah pada pria yang telah menghamili anak gadisnya lalu pria itu tidak bertanggung jawab. Malah putrinya hamil seorang diri tanpa suami. Bergitu banyak pertanyaan dan cercaan dari masyarakat akan status Leon.
"Siapa kamu?" Ainil menatap tajam pada Angga. Rasa tidak suka segera menyergap kala Ainil menatap wajah sok innocent Angga.
"Saya Angga tante."
"Ceritakan hubungan kalian di masa lalu." Ainil berkacak pinggang. Angga semakin takut untuk bicara. Tatapan Ainil sangat mematikan.
Rere hanya terdiam membisu. Mendadak ia kehilangan kata-kata karena Angga membuat pengakuan di depan keluarga. Ada rasa kesal dan marah pada Angga. Kenapa Angga bertindak sendiri tanpa berdiskusi dengannya. Rere hanya bisa tertunduk malu, membiarkan Angga menjadi korban kemarahan Ainil.
"Saya dan Rere berpacaran sewaktu kuliah tante, om." Angga mulai bercerita. Ia menatap Ainil dan Herman bergantian. Angga tahu jika Herman papa Tiri Rere karena sang kekasih pernah cerita dengannya.
"Oh pacaran." Sarkas Ainil menahan emosi. Darahnya bergejolak kenapa Angga baru muncul sekarang setelah kotoran dilemparkan ke wajahnya selama bertahun-tahun. Ainil menaikkan lengan bajunya ke atas bermaksud mendekati Angga dan menamparnya.
"Bunda tahan emosinya. Tidak bagus segala sesuatu dimulai dengan emosi. Tenangkan jiwa bunda." Herman mencegah istrinya untuk marah.
"Tapi papa." Ainil ingin memprotes, namun melihat sorot mata suaminya ia diam. Ainil tak berani memprotes suaminya.
"Bicarakan baik-baik bunda. Harus dengan kepala dingin bukan dengan amarah. Memang Angga bersalah pada Rere, tapi marah enggak ada gunanya. Nasi sudah menjadi bubur bunda. Tujuan kamu datang kesini buat apa?" Giliran Herman menginterogasi Angga.
Angga sedikit lega kala Herman lebih bersahabat daripada Ainil.
"Ceritakan latar belakang keluargamu. Kenapa kamu datang?" Herman mulai menginterogasi Angga. Ia harus melakukannya agar semuanya menjadi jelas. Selama ini Rere tidak mau cerita siapa ayah kandung Leon. Selalu bungkam. Rere lebih suka dipukul dan diomeli daripada bicara.
"Saya Angga Prasetyo om, tante," ucap Angga terbata-bata. Ia merasa panas dingin kala berhadapan dengan orang tua mantan kekasihnya.
"Kemana saja kamu selama ini? Kenapa baru muncul sekarang ketika Leon sudah berusia dua tahun?"
Angga gelagapan mau menjawab darimana. Pertanyaan Herman belum semuanya ia jawab namun sudah ditambah dengan pertanyaan baru.
"Papa," protes Rere pada Herman.
"Papa akan melaksanakan fungsi papa sebagai seorang ayah," balas Herman membungkam Rere.
Rere gregetan hampir menangis. Kenapa Angga harus datang ke rumah dan mengacaukan semuanya. Hidupnya telah tenang bersama Leon. Keluarganya tidak lagi mempertanyakan siapa ayah Leon. Setelah Angga muncul semuanya jadi runyam. Masalah kembali muncul ke permukaan.
Rere ingin membenturkan kepalanya ke tembok. Tak habis pikir dengan keberanian Angga. Kenapa pria itu bicara tanpa diskusi padanya dulu. Posisi Rere serba salah. Betapa bodohnya Angga. Apa pria itu tidak sadar jika malam itu ia tak berhasil memperkosanya? Ini keberuntungan atau kesialan baginya Rere tidak tahu bagaimana menanggapinya.
Rere terpaksa harus berbesar hati atas ulah Angga. Entah apa yang akan terjadi ke depannya jika kedua orang tuanya memaksanya menikah dengan Angga demi Leon. Sampai kapan pun Rere tidak mau menikah dengan Angga. Ayah biologis Leon bukan Angga.
"Lantas apa tujuan kamu datang?" Ainil kembali buka suara setelah bisa meredakan emosinya. Suaminya benar, tidak perlu emosi membicarakan masalah ini. Harus dengan kepala dingin.
"Saya mau tanggung jawab sama Rere tante." Angga memberanikan diri menatap wajah Ainil yang kesal. Perempuan itu tidak bisa menutupi kemarahannya.
"Setelah kamu melemparkan kotoran ke wajah kami lalu kotoran itu telah bersih seenaknya kamu bilang mau tanggung jawab? Seharusnya kamu tanggung jawab ketika Rere sedang hamil Leon. Kemana kamu selama ini? Aku bahkan hampir mengusir putriku ketika hamil." Ainil naik pitam. Herman kembali mengingatkannya untuk istigfar.
"Saya tidak tahu jika Rere hamil tante," ucap Angga dengan bibir gemetar.
"A-apa maksud kamu?" Ainil jadi gemetar dan kaget.
"Rere meninggalkan saya di KL. Saya akui jika telah berbuat khilaf pada Rere ketika mabuk. Saya benar-benar tidak tahu jika Rere hamil tante. Andai waktu itu Rere memberi tahu saya pasti saya akan bertanggung jawab. Saya bukan pria bajingan yang akan lari dari tanggung jawab. Saya benar-benar tidak tahu tante. Saya baru tahu beberapa waktu belakangan ini. Kami tidak sengaja ketemu di mall. Makanya saya beranikan diri datang kesini untuk mempertanggungjawabkan semua perbuatan saya. Butuh keberanian besar untuk datang kesini. Saya sudah prediksi jika tante dan om akan marah sama saya. Orangtua mana yang tidak akan marah pria yang telah menghamili putrinya. Datang setelah sekian lama. Saya mengerti jika kalian tidak suka dengan saya. Nasi telah menjadi bubur. Lebih baik kita makan saja buburnya. Toh rasanya juga enaknya. Saya datang kesini demi Leon. Saya ingin memberikan status yang jelas pada anak saya. Untung saja anak kami laki-laki, jika perempuan tentu beban moral saya lebih berat om, tante. Saya tidak bisa menikahkan anak itu kelak karena kami tidak hubungan dalam agama karena dia lahir diluar pernikahan. Apa salah jika saya memperbaiki kesalahan saya?"
Dada Ainil terasa sesak. Napasnya naik turun. Ia kembali dihadapkan pada masalah pelik.
"Secara agama kamu dan Leon tidak punya nasab. Leon bernasab pada Rere. Beruntunglah anak kalian laki-laki sehingga tidak butuh wali ketika menikah," ucap Herman mengusap matanya yang berair.