"Kamu kasih ASI ekslusif ya Re. Itu lebih bagus dari sufor," ucap Bara sambil bermain dengan Leon.
Bara tak mau melepaskan Leon dari dekapannya. Sayang itu telah tumbuh. Menyayangi Leon semenjak dalam kandungan Rere. Bukannya apa-apa. Melihat Leon pria itu teringat istrinya. Herman dan Dian mengatakan Bara telah bercerai dengan istrinya namun pria itu tak percaya begitu saja. Bara tahu jika Dian dan Herman tengah membohonginya.
Bara yakin istrinya hamil ketika pergi meninggalkannnya. Keyakinan itu ada karena Bara mengalami morning sick dan tidak selera makan selama sembilan bulan. Zico, suami Dian juga mengalami hal yang sama ketika Dian hamil Alana dulu. Andai saja ingatan Bara telah kembali mungkin ia bisa menemukan dimana istrinya.
"Aduh gantengnya anak ini," puji Tia ketika berkunjung ke rumah. Tia sekarang bekerja sebagai sekretaris Bara.
"Mirip dengan pria itu," cebik Rere kecewa. "Kenapa Leon tidak mirip gue aja."
"Namanya Leon?" Tia mengalihkan pembicaraan tak mau membahas ayah kandung Leon.
"Bang Bara memberikan nama itu pada anak gue."
"Re, lo beruntung punya kakak sebaik Pak Bara. Jarang punya saudara tiri sebaik dia. Bisa dibilang langka."
"Jasa bang Bara sangat besar dalam hidup gue. Jika bukan karena abang tidak mungkin gue dan Leon diterima di keluarga ini."
"Benar Re. Bisa gue liat jika Pak Bara sayang banget sama lo."
"Tia gue ingin balas budi." Rere menggenggam erat tangan sahabatnya.
"Balas budi bagaimana?"
"Lo tahu jika bang Bara mengalami hilang ingatan?"
"Iya gue tahu. Re…" Tia menatap sekitarnya memastikan tidak ada orang di sekitar kamar Rere. Tia mengunci pintu kamar Rere dari dalam lalu menaruh Leon di atas box bayi.
"Kenapa lo tutup pintu kamar gue?"
"Re..sebenarnya gue menemukan suatu fakta soal istri Pak Bara."
"Apa?" Rere bersuara pelan seperti orang yang sedang bisik-bisik.
"Mungkin lo enggak percaya dengan penemuan gue tapi ini fakta."
"Apa Tia? Gue penasaran."
"Sebenarnya dulu Pak Bara seorang gay."
"Jangan fitnah lo!" Rere merinding mengetahui kakak tirinya mantan gay."
"Nah liat ini." Tia memperlihatkan artikel di internet tentang isu Bara seorang mantan gay.
Mata Rere membulat ketika membaca kata demi kata yang tertulis di artikel itu.
"Jadi Re. Pak Bara mengalami penembakan ketika mencari istrinya yang hilang. Jadi ketika Pak Bara menjabat sebagai ketua DPRD Sumbar dia punya banyak musuh. Musuhnya ini yang membongkar masa lalu Pak Bara. Istri Pak Bara tahu jika suaminya gay dan dia yang mengembalikan Pak Bara ke kodrat. Bucin pokoknya Pak Bara sama istrinya. Ceritanya, mertua dan kakak ipar Pak Bara malu memiliki menantu mantan gay. Jadi mereka mengancam istrinya Pak Bara akan membongkar rahasia suaminya agar masuk penjara. Rahasia Pak Bara aman jika istrinya meninggalkan Pak Bara. Istri Pak Bara terpaksa meninggalkannya."
"Seserius itu Tia?" Rere menggeleng.
"Masa lalu Pak Bara sangat kelam. Beliau enggak sebaik sekarang. Istrinya yang mengubah Pak Bara hingga berubah total seperti sekarang. Bu Dian tahu semuanya Re, tapi dia bungkam."
"Apa? Teteh Dian?"
"Iya Bu Dian."
"Tia bantu gue menemukan istrinya abang. Gue ingin mempersatukan abang dengan istrinya. Setelah empat puluh hari gue lahiran kita terbang ke Padang cari info. Kita ke rumah lama Papa lalu kita cari tahu siapa dan dimana istri abang. Gue harus membahagiakan abang. Dia sudah berbuat banyak untuk gue dan Leon."
"Baik Re. Apa pun yang lo minta akan gue bantu. Lo juga telah banyak memberikan bantuan untuk gue dan mama selama ini."
"Jangan sungkan Tia. Selagi gue bisa akan bantu."
Empat puluh hari setelah melahirkan, Rere dan Tia bertolak ke Padang. Rere minta izin pada keluarganya untuk menghadiri pernikahan temannya. Pagi buta Rere dan Tia sudah terbang ke Padang. Pesawat mereka mendarat jam delapan pagi. Sesampainya di BIM (Bandara Internasional Minangkabau) sepupu Tia sudah menunggu.
"Uni Vinta." Tia memeluk sepupunya.
"Panggil nama aja kenapa sih? Ketuaan gue lo panggil uni." Protes Vinta mencebikkan bibir.
"Kenalin Vin. Ini sahabat gue Rere yang sudah bantu keluarga kami selama ini." Tia memperkenalkan Rere pada Vinta.
Mereka bertiga jalan menuju parkiran. Rere senang sekali berkunjung ke Padang untuk pertama kalinya. Bandaranya kecil dan tak jauh menuju parkiran.
"Tumben lo ke Padang? Ada apa?" Tanya Vinta ketika sedang mengemudi.
"Gue cari seseorang."
"Siapa?"
"Vinta kenal tahu ga sama mantan ketua DPRD Sumbar yang bernama Aldebaran. Pasti Vinta kenal kan orang asli sini." Rere bicara hati-hati.
"Apa?" Vinta mengerem mendadak mobilnya hingga Rere dan Tia terhuyung dan membentur dashboard.
"Kok kaget gitu?" Rere memandangi Vinta intens.
"Gimana enggak kaget? Kaget. Siapa bilang enggak kaget. Gue kenal banget sama beliau. Pak ketua Aldebaran. Panggilannya Bara. Istri beliau itu mantan atasan gue di bank MBC."
"Apa?" Rere dan Tia kaget bercampur lega. Tak terlalu sulit mendapatkan fakta. Ada saja kemudahan yang mereka dapatkan untuk menolong Bara.
Vinta pun menceritakan apa yang dia ketahui tentang Bara dan istrinya. Dila, nama istri Bara. Dila dulu bekerja di bank MBC. Jabatan terakhirnya sebelum resign adalah kepala capem bank MBC utama. Kariernya menonjol dan bagus meski usianya masih muda. Vinta juga menceritakan masa lalu Bara yang memang diketahui mantan gay. Sejak menikah dengan Dila pria itu kembali ke kodrat. Menjadi pria yang religius dan takut dengan Tuhan. Bara sangat mencintai istrinya dan rela melakukan apa pun demi kebahagiaan sang istri.
"Kak Dila resign kenapa?" Rere semakin penasaran.
"Katanya sih karena sakit keras," cicit Vinta. "Tapi gue yakin bukan itu sih. Gue pernah dengar kalo ayah kep Dila enggak suka Pak Bara setelah tahu masa lalunya. Ayahnya kep Dila minta mereka bercerai."
"Kep itu apa sih Vin? Kagak ngerti gue." Tia garuk-garuk kepala.
"Kep itu artinya kepala. Jadi atasan di kantor gue itu dipanggil kep. Makanya kalo manggil kak Dila gue udah terbiasa kep Dila." Vinta menjelaskan. "Kalian ini ngapain nanyain Pak Bara sama gue? Ada yang mencurigakan disini."
"Kak Dila pergi meninggalkan bang Bara. Sudah hampir dua tahun dia pergi tanpa jejak. Bang Bara mengalami hilang ingatan karena ditembak lawan politik dia." Rere menangis menceritakan Bara. Diam-diam ia pernah menyaksikan Bara menangisi istrinya. Meski pria itu lupa siapa nama dan wajah istrinya namun di hatinya masih ada wanita itu. Bara bahkan menolak para wanita yang mendekatinya.
"Apa?" Vinta kembali kaget. "Kalian lama-lama bikin gue jantungan. Kita ke kafe dulu buat meluruskan semua ini." Vinta kembali mengemudikan mobil dan berhenti di sebuah kedai kopi kekinian yang sedang hits di kota Padang.