"Pukul saja aku bunda. Jika perlu cekik saja aku sampai mati. Aku bukan anak yang membanggakan," ucap Rere putus asa. Rasa sakit pukulan Ainil belum seberapa dengan rasa sakit di hatinya.
"Anak tidak tahu malu. Teganya kamu mengecewakan bunda. Dari kecil bunda ajarkan untuk menjaga kehormatan tapi kamu malah memberikannya pada pria yang bukan suamimu. Kuliah jauh-jauh bukan buat bangga tapi buat malu. Jadi kamu pulang ke Indonesia karena sedang hamil? Dengan pria mana kamu hamil? Apa dia beda keyakinan dengan kita sehingga kamu tidak mau menikah dengan laki-laki itu? Siapa yang mau menikah dengan perempuan yang hamil di luar nikah?" Ainil melampiaskan kekesalannya pada Rere. Air matanya mengalir deras kala memukul Rere. Ainil stress mendapati anaknya telah hamil.
Rere pasrah dan terkesan membiarkan ketika Ainil memukul tubuhnya. Berharap ia mati melalui pukulan bundanya.
"Maafin aku udah mengecewakan bunda." Rere tak berani menatap Ainil.
"Pergi kamu dari rumah ini." Ainil berteriak lantang mengusir sang anak.
"Jangan usir aku bunda. Aku enggak tahu mau kemana jika bunda usir." Rere bersujud di kaki Ainil.
"Pergi kataku. Aku lebih baik kehilangan kamu daripada kehilangan muka."
"Jangan bunda." Rere menggeleng. Ia memohon-mohon pada sang ibu.
"PERGI." Teriak Ainil lantang.
"Ada apa ini?" Herman, ayah tiri Rere masuk kamar karena mendengar keributan.
"Papa," ucap Ainil dan Rere serentak.
"Kenapa kalian bertengkar? Rere kamu menangis?" Herman prihatin melihat keadaan putri tirinya.
"Apa yang kamu lakukan padanya?" Herman menatap tajam pada Ainil.
Rere ketakutan dan tubuhnya gemetaran. Ia menatap Ainil dengan mata melotot, berharap sang bunda tak menceritakan kehamilannya pada Herman. Rere geleng-geleng kepala sebagai isyarat agar Ainil tidak cerita pada Herman.
"Bunda memukulnya pa," kata Ainil berusaha tegar.
"Kenapa bunda pukul Rere? Apa salah dia?" Herman prihatin lalu memeluk Rere. Meski Rere hanya anak tiri namun ia sangat menyayanginya seperti anak kandung.
"Papa tanya sama dia atau papa perhatikan perut dia." Ainil menunjuk perut Rere.
Herman memperhatikan perut Rere yang semakin membesar. Ia paham maksud istrinya.
"Kamu hamil Re?" Herman kaget mengetahui fakta jika putri tirinya sedang hamil. Herman yakin jika kandungan Rere sudah tua.
"Iya pa," ucap Rere ketakutan. Ia menggigil lalu pingsan.
"Astagfirullah Re." Herman cepat tanggap. Ia menahan tubuh Rere sebelum terjatuh ke lantai.
Ainil menatap Rere seolah tak peduli. Sakit hati melihat kelakuan sang anak. Hatinya telah tertutup. Tak ada rasa kasihan dan iba dengan sang anak. Kecewa tentu saja kecewa. Merasa gagal menjadi seorang ibu karena tidak bisa mendidik anak. Merasa gagal menjalankan amanah almarhum suaminya. Bukannya membanggakan tapi Rere malah membuatnya malu. Ainil merasa tidak ada muka bertemu orang lain.
"Ainil panggil Bara atau siapa untuk menggendong Rere." Herman menghardik istrinya.
"Iya pa," jawab Ainil malas.
Baru saja melangkah, Bara masuk kamar. Kaget dan shock melihat sang adik tergolek pingsan.
"Ada apa Pa?" Bara panik mengambil alih Rere dari tangan Herman.
"Nanti papa cerita. Bawa adikmu ke rumah sakit."
Tiga puluh menit mereka sudah sampai di rumah sakit terdekat. Bara membawa Rere ke UGD namun di rujuk ke poli obgyn karena Rere dalam keadaan hamil.
Bara dan Herman mengikuti perawat yang membawa Rere ke poli obgyn untuk diperiksa dokter kandungan.
"Bar." Uty, dokter kandungan yang memeriksa Rere kaget melihat kedatangan Bara. "Ini istri lo?"
Bara menggeleng, "Bukan Ty. Ini adik gue."
"Suaminya mana?" Uty berusaha mencari sosok pria lain.
"Kenapa dia bisa pingsan? Ibu hamil tidak boleh banyak pikiran dan stress. Tadi dia dan temannya sudah periksa kandungan tadi."
"Apa?" Herman dan Bara kaget.
Uty memeriksa keadaan Rere. Tidak ada yang serius dengannya. Rere pingsan karena takut dan stress.
"Bar kehamilannya sudah 26 Minggu. Tiga bulan lagi adik lo akan melahirkan."
"Apa?" Bara menyugar rambut dan wajahnya. Kecewa dan sakit hati mengetahui sang adik telah hamil diluar nikah. Dada Bara terasa sesak . Bara hampir saja menangis, tapi ia tahan karena malu di depan Uty.
Uty mengajak Bara mengobrol di ruangan pribadinya. Uty memberikan segelas air agar Bara tenang.
"Jadi adik lo belum menikah? Maaf gue enggak tahu jika Rere adik tiri lo."
"Thank Uty." Bara mengambil air dari tangan Uty. "Gapapa jika lo enggak tahu. Gue shock banget. Abang macam apa gue enggak bisa menjaga adik sendiri. Adik gue enggak mau bilang siapa yang telah menghamili dia. Papa tadi udah cerita. Bunda kecewa sama dia. Bunda malah enggak peduli dengan Rere."
Uty menepuk pundak Bara pelan, "Sabar ya Bar. Gue paham bagaimana perasaan lo. Sikap Bu Ainil wajar seperti itu. Orang tua mana yang tidak kecewa jika anak gadisnya hamil diluar nikah. Apa yang terjadi dengan Rere mengingatkan gue dengan masa lalu. Gue pernah mengalami hamil diluar nikah. Menikah dengan suami gue karena hamil duluan. Gue hamil bukan sama pacar tapi sahabat pacar gue. Semuanya gara-gara minuman sialan itu. Bisa jadi Rere enggak hamil dengan pacar atau dia menjadi korban pemerkosaan."
"Jadi lo dan Rizki enggak pacaran. Apa karena ini lo putus sama Demir dulu?"
"Iya seperti itu."
"Apa yang harus gue lakukan Ty?" Bara tertunduk lesu.
"Kehamilan Rere memasuki trimester ketiga tidak mungkin menggugurkannya. Saran gue ajak adik lo ngobrol dari hati ke hati. Tanya ke dia siapa yang telah menghamili dia. Jika dia mau ngomong. Lo cari pria itu dan nikahin mereka. Bayi dalam kandungan dia butuh kepastian hukum. Apa kata dunia jika adik lo punya anak tanpa suami. Tapi ngomongnya harus sabar Bar. Wanita hamil enggak boleh stress."
"Bangsat…." Bara mengepalkan tangan kuat. "Gue gagal jadi kakak. Gue enggak bisa jaga Rere."
"Please…Bar. Jangan salahkan diri lo. Mungkin sudah takdir. Ingat bayi dalam kandungan Rere butuh sosok seorang ayah. Jangan pernah tinggalkan dia. Support Rere untuk menjadi seorang ibu."
Bara kembali ke kamar perawatan Rere dengan langkah gontai. Pikirannya bercabang. Bingung apa yang akan ia lakukan selanjutnya.
"Rere sudah bangun Pa?" Tanya Bara pada Herman.
Herman menggeleng lesu. Matanya berkaca-kaca menatap sang putri tergolek lemah.
"Sebaiknya papa pulang saja. Biar Bara yang menjaga Rere. Istirahat Pa."
"Tapi Bar…."
"Papa please…."
"Bagaimana dengan Rere?"
"Biar aku yang urus Pa."
Setelah Herman pulang, Rere bangun dari pingsan. Kaget dan shock ketika sadar sudah di rumah sakit. Bara sedang memainkan ponsel.