"Aku menyelidikinya sedetail mungkin. Kalian bersama hanya demi anak-anak bukan?"
"Apa yang kamu rencanakan?" Suara Dila bergetar. Perasaannya sudah tak enak.
"Aku hanya ingin memberikan yang terbaik untuk bang Bara. Apakah kakak tahu jika dia ditembak lawan politiknya ketika mencari kakak ketika kabur.".
"Kamu tahu semuanya?" Tubuh Dila bergetar dan menggigil. "Jika tahu kenapa kamu datang mencariku?"
"Bang Bara lupa dengan semuanya, bahkan tidak tahu namanya sendiri. Dia hanya ingat dengan mamanya. Almarhumah mama Ranti."
"Jika dia lupa semuanya, kenapa kamu menikah dengan Bara? Bahkan aku dan dia belum bercerai secara resmi? Secara hukum kami masih sah sebagai suami istri?"
"Kakak mau menggugat pernikahan kami?" Rere malah berakting dengan lebay. Dalam hati dia bersorak kegirangan. Dila terpancing.
"Aku tidak menggugat pernikahan kalian. Aku hanya bertanya. Sebagai wanita apakah kamu tidak rugi menikah dengan pria yang masih berstatus suami orang?"
"Kala itu Bara sendirian. Tidak ada perempuan disampingnya ketika sakit. Jika bukan aku siapa lagi? Dia sendirian. Asing dengan keluarga sendiri? Aku tidak tega membiarkan dia sendiri. Apa yang kakak lakukan ke Bara sangat kejam. Kakak meninggalkan dia sendirian ketika dia membutuhkan kakak. Kejamnya kakak malah meninggalkan dia ketika hamil."
"Jadi maksud kamu datang kesini? Ingin membawa aku pulang kembali dan menjalani poligami? Maaf aku tidak bisa."
Pecah ketawa Rere ketika Dila bicara masalah poligami. Sejak kapan ia datang kesini untuk mengajak Dila untuk poligami? Membayangkan poligami dalam skenarionya saja tidak.
"Jangan bercanda kak." Rere terkekeh tawa. Tak bisa mengontrol diri. Dila sangat lucu.
"Lantas apa?" Dila mulai serius dan panik.
"Aku ingin membawa salah satu anak kakak untuk tinggal bersama kami."
"Apa?" Dila shock. Jantungnya serasa berhenti berdetak. Mengambil salah satu dari si kembar? Jangan mimpi Rere!
"Apa ucapanku kurang jelas kak?"
"Sampai kapan pun aku tidak akan membiarkan kamu membawa salah satu anakku."
"Kakak jangan egois," ucap Rere pelan namun membuat Dila bergidik.
"Egois maksud kamu?"
"Kakak egois. Abang Bara belum kenal siapa anak-anaknya. Mereka tidak tahu jika Apa mereka bang Bara. Sudah saatnya anak-anak tahu siapa anak-anaknya."
"Kamu bodoh atau bagaimana?"
"Kenapa kakak mengatai aku bodoh?"
"Seharusnya kamu tidak perlu membawa salah satu anak suamimu dari wanita lain."
Rere hanya tersenyum menanggapi Dila. Wanita itu malah takut jika Rere mengambil salah satu anak-anaknya.
"Aku bukan wanita yang jahat. Bersikap egois. Jika kita mencintai seseorang, kita akan bahagia melihat orang yang kita cintai bahagia. Aku hanya ingin mewujudkan mimpi suamiku bertemu dengan anak-anaknya. Yang dia tahu kalian bercerai lalu kakak hamil. Kenapa dia yakin kakak hamil, karena dia mengalami morning sickness. Mual, muntah, pusing. Dia merindukan anaknya. Segala sesuatu pasti ada hikmahnya. Jika Bara tidak datang kesini lalu kalian bertemu, mungkin sampai menutup mata suamiku tidak akan bertemu anaknya. Aku hanya ingin suamiku bahagia. Tidak lebih. Leon punya kakak."
Pantas saja aku tidak mengalami mual dan muntah selama hamil, ternyata Bara yang mengalaminya? Bisik Dila dalam hati.
"Sampai kapan pun aku tidak akan memberikan salah satu anakku pada kalian."
"Itu terserah kakak. Aku akan menceritakan semuanya pada abang Bara. Tahu gimana seorang Aldebaran? Dia bisa melakukan apa yang tidak bisa dilakukan orang lain."
"Kamu mengancamku?" Dila meradang. Emosinya naik ke ubun-ubun. Tangannya mengepal kuat.
"Aku tidak mengancam kakak." Rere mengulas senyuman.
"Apa yang tengah berlaku?" Lala menghampiri Dila dan Rere. Wajah keduanya tegang dengan napas memburu.
"Perkenalkan aunty. Saya Rere." Rere mengulurkan tangan pada Lala. "Salam kenal aunty."
"Ada apa awak datang kat sini?"
"I nak cakap dengan kak Dila." Rere bicara dengan logat Melayu. Kuliah di Malaysia membuatnya fasih bicara dalam bahasa Melayu.
"Cakap apa awak? I see Dila angry. What do you want?"
"I jujur atau bohong?"
"Why are you giving me a choice? Cakap saja yang sejujurnya."
"I istri Bara." Rere berhenti bicara sejenak lalu melanjutkan ucapannya. "I datang kat sini mau cakap about budak-budak. I know budak-budak comel itu anak my husband and kak Dila. So….i mahu kenalkan anak-anak dengan ayah mereka. I iba lihat kondisi abang. He is sad because lupa ingatan."
"Apa maksud kamu? Bicara dengan jelas?" Lala tak mengerti maksud Rere.
"Aku ingin membawa salah satu anak-anak tinggal bersama kami. Abang harus tahu dengan anak-anaknya begitu juga sebaliknya. Abang berhak untuk bahagia. Empat tahun belakangan ini bukan waktu yang mudah untuk dia lewati." Rere bicara dalam bahasa Indonesia agar Lala mengerti maksudnya.
"Dia tahu jika triplets anakku dengan Bara." Dila buka suara. Berusaha untuk tegar. Tidak mau menunjukkan kelemahannya pada Rere.
"Kakak sepertinya suka mempersulit sesuatu. Mereka bukan hanya anak kakak, tapi juga anak suamiku." Rere semakin membuat Dila terpojok.
"Kamu." Dila emosi ingin marah namun Lala melarangnya. Sebagai seorang Ibu, Dila tak rela jika salah satu anak-anaknya diambil.
"Aku akan mengumumkan pada keluarga jika anak-anak bang Bara sudah ditemukan. Papa Herman berhak tahu siapa cucunya."
"Jangan melewati batasanmu." Dila geram.
"Aku hanya ingin membahagiakan suamiku. Aku tidak mau suamiku dikutuk anak-anaknya karena tidak pernah diperhatikan. Jangan sampai itu terjadi. Mereka masih kecil. Jangan sampai kehilangan moment bersama ayah mereka. Aku hanya ingin yang terbaik buat bang Bara dan juga anak-anak. Aku datang kemari bukan untuk mencari musuh."