Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

Dolce!

🇮🇩Dream_White
--
chs / week
--
NOT RATINGS
80.3k
Views
Synopsis
"Gue enggak mau kehilangan senyuman manis lo, Vania!" - Alvaro Vania Keisya, seorang perempuan yang mengalami lupa ingatan pada saat ia masih duduk di bangku sekolah dasar karena kejadian yang tidak pernah diinginkan selama seumur hidupnya, sehingga dia harus melakukan rehabilitasi dan home schooling selama tiga tahun lamanya. Sekarang saatnya dia diperbolehkan melakukan aktivitas layaknya orang seumuran biasanya. Melakukan hal baru yang tidak pernah dialaminya, seperti cinta dan persahabatan. Tetapi saat datangnya murid pindahan, semua berubah. Ingatan Reva yang hilang, muncul kembali membuat semua ingatannya menjadi campur aduk dan membuat Reva ingin menuju kematian untuk kedua kalinya.
VIEW MORE

Chapter 1 - Bab 01 : Hari Pertama Masuk Sekolah (1)

Langit yang masih gelap dan bulan yang masih belum pergi, cahaya bulan yang masih menyusup melewati sela sela jendela kamar. Suara alarm dari smartphone yang mulai berbunyi membuat seorang perempuan yang sedang tidur nyenyak membuka matanya secara perlahan. Dia melihat smartphonenya yang tepat di sebelahnya.

Jam 05.15

Perempuan itu menguap pelan, pagi sudah datang, dia harus pergi mandi dan bersiap untuk pergi ke sekolah. Hari ini adalah hari pertamanya menjadi anak SMA, dimana salah satu impiannya akan terwujud hari ini.

Setelah mandi, dia langsung memakai seragam putih abu-abu kebanggaannya, memasukkan beberapa buku tulis ke dalam tasnya. Hari ini adalah hari paling bahagianya selama hidupnya. Selama tiga tahun, dia berhome schooling, jarang menemui teman yang seumuran dengannya.

"Vania! Ayo turun sarapan, sayang!" panggil ayahnya dari ruang makan yang tepat di bawah kamarnya.

"Baik, yah!" jawabnya.

Dia adalah Vania Keisya, perempuan yang masih berumur lima belas tahun, tahun ini dia akan menjadi anak SMA, dimana masa indahnya akan dimulai.

Tiga tahun yang lalu, Vania terjadi kecelakaan yang menyebabkan harus lupa ingatan dan rehabilitasi selama enam bulan, sehingga dia harus home schooling sampai lulus SMP.

Tok...tok...tok...

Suara pintu kamarnya yang terdengar ada seseorang yang sedang mengetuk pintu itu, Vania langsung membuka pintu kamarnya.

"Sudah selesai bersiap?" tanya seorang wanita yang terlihat masih berumur dua puluh tahunan.

Vania tersenyum dengan bahagia, "Aku sudah siap, kak!" wanita itu adalah kakak pertama Vania, Minna Revanza.

"Kalau begitu, ayo turun sarapan," ajak Minna.

Vania menerima ajakan Minna, dia langsung mengambil tasnya dan pergi keluar kamar bersama Minna. Minna yang melihat adiknya yang sudah cantik penuh dengan makna, seperti dia sangat bahagia.

"Hari ini, kakak yang akan mengantarkanmu ke sekolah," ujar Minna.

"Okeee," seru Vania. Dia benar-benar sangat bahagia. Minna mengepuk kepala Vania dengan penuh lembut.

"Adikku ternyata sudah besar dan sebahagia ini," gumamnya.

Sampai di ruang makan sudah ada ayah, ibu, dan Rhea, kakak kedua Vania. Ayah yang sedang asyik membaca koran, ibu yang sibuk menyiapkan sarapan, dan Rhea yang sedang memainkan smartphonenya.

"Karena hari ini hari penting, jadi ibu masakin kamu nasi goreng super spesial kesukannmu dan bekalmu adalah nasi dengan ayam karage dan telur gulung," seru ibunya.

Vania tersenyum bahagia, dia langsung duduk dan dengan lahap memakan sarapannya, "makasih, ibu," serunya sambil mengunyah nasi goreng super spesial buatan ibunya.

"Pelan-pelan makanannya," Rhea mengambil sehelai tisu di dekatnya, "ada nasi yang nempel di samping mulutmu," karena senang dan lahapnya, dia tidak sadar ada nasi yang menempel di samping mulutnya. Bukannya menerima tisu Rhea, tapi dia mengambil nasi itu dan memakannya lagi. Kelakuannya itu membuat seisi rumah menjadi tertawa dan hangat.

Setelah selesai sarapan, Vania langsung cepat memakai sepatu sekolahnya dan menunggu Minna di garasi rumah.

"Kak, ayo!" seru Vania.

"Iya, sebentar," jawab Minna sambil memakai sepatu pentofel hitam miliknya.

Selesai memakainya, Minna membuka mobilnya, diikuti oleh Vania. Saat masuk ke dalam mobil, dia membuka kaca mobilnya dan berteriak, "IBU, AKU PERGI DULU," sambil melambaikan tangannya. Ibunya hanya menjawab dengan melambaikan tangannya juga.

Minna menginjakkan gas mobil dan mereka berdua pergi. Jarak antara sekolah dan rumah memang terbilang jauh, karna berjarak 43 km jauhnya. Bahkan jika naik kereta harus melewati lebih dari delapan stasiun kereta.

"Hari ini hari pertamamu masuk sekolah. Kakak akan kasih saran untuk kamu. Kamu harus pintar dalam memilih teman, carilah teman yang benar-benar baik kepadamu. Baik dalam hal senang dan duka. Karena mempunyai teman yang baik, mungkin saja saat kamu sedang kesulitan, temanmu bisa menjadi penolongmu dan kamu tidak harus juga mempunyai banyak teman. Walaupun hanya satu yang baik dan setia, tapi satu itu lebih baik daripada banyak. Dan kalau kamu menemukan teman yang seperti itu, jangan kamu mencoba untuk mengkhianatinya. Lalu, buat kesan pertama sekolah yang baik, ya. Kamu, sih, tiba-tiba saja ingin masuk ke boarding school, jadi, mungkin bentar lagi kita enggak ketemu," nasihat panjang lebar Minna untuk adiknya sambil menyetir mobilnya, dia ingin Vania tidak mengalami hal buruk lagi dan hanya menikmati yang bagus-bagus saja.

"Baiklah, kak, aku akan mengingat nasihat kakak," jawab Vania. Perempuan itu tahu bahwa Minna selalu khawatir jika terjadi sesuatu lagi kepadanya, dan itu tidak Minna saja, tapi ayah, ibu, dan juga Rhea selalu khawatir dan men-supportnya.

"Bagus, anak yang baik," seru Minna yang tersenyum lebar.

Sampai di depan sekolah, Vania berdiam sebentar di mobil. Dia melihat banyak murid yang masuk ke dalam sekolah satu per satu. Pada akhirnya, dia gugup, baru kali ini dia akan melihat begitu banyak yang seumuran dengannya.

Minna menepuk punggung Vania, "Udah keluar, kamu harus masuk ke sekolah. Hari ini, hari pertama jadi mungkin bagi-bagi kelas. Beranikan dirimu," dukung Minna.

Vania menganggukkan kepalanya dan mulai membuka pintu mobil. Satu per satu kakinya yang keluar hingga dia benar-benar sudah keluar dari mobil.

"Semangat, Kei!" teriak kecil Minna dari dalam mobil.

Vania tersenyum, kemudian menutup pintu mobil. Vania pasti bisa, dia mulai berjalan masuk ke sekolah. Saat menginjakkan kakinya di sekolah barunya, dia terkejut banyak sekali yang sudah berada di lapangan sekolah.

Vania menoleh ke belakang, melihat apakah masih ada Minna atau tidak? Dan ternyata Minna sudah pergi, dia sudah sendiri. Perempuan itu mulai berjalan ikut ke arah kerumunan orang di lapangan sekolah.

Sekolah yang Vania masuki, yaitu SMA Wijaya Kusuma, sekolah swasta yang terkenal fasilitas yang bagus, salah satu sekolah boarding school di Jakarta.

"Bagi murid baru, ayo berbaris, di situ ada delapan papan, terserah kalian mau berbaris dimana. Nanti kalian akan di panggil satu per satu memberitahu kalian dimana tempat kalian nanti," perintah seorang perempuan lewat mic yang di pegangnya.

Semua murid baru, termasuk Vania berbaris dimana saja. Vania bingung ingin berbaris dimana, dia melihat satu per satu delapan papan, dari ujung kirinya Abraham Lincoln, Thomas Alva Edison, Wernher Von Braun, Khoirul Anwar, Napoleon Bonaparte, Ir. Soekarno, Moh. Hatta, dan Franklin Delano Roosevelt. Setelah melihat delapan papan, Vania memilih berbaris di barisan Abraham Lincoln, karena menurutnya nama Abraham Lincoln lebih bagus dibandingkan nama yang lain.

Setelah semua selesai berbaris, terlihat jelas tepat terdapat orang berjas biru berbaris horizontal di depan murid baru. Perempuan yang menyuruh berbaris, berdiri di podium.

"Semua udah selesai baris?" tanya perempuan itu menggunakan micnya.

"Sudah, kak!" jawab murid baru.

"Oke, bagus. Pertama, kakak akan memperkenalkan diri dulu, nama Kakak Umi Nurrohmah, panggil aja Kak Umi. Di depan kalian, yaitu kakak-kakak OSIS yang akan membimbing kalian nanti. Jadi, kakak akan memberitahu siapa aja di Abraham Lincoln, Napoleon, dan yang lainnya. Nanti kalau di panggil tunjuk tangan dan langsung ke tempatnya, ya. Pertama dari Abraham Lincoln ...," Umi melihat sebuah kertas yang tertempel di papan jalan, "dari Abraham Lincoln, yaitu Vania Keisya. Untuk Vania Keisya silahkan pergi ke Abraham Lincoln," perintahnya, Vania menunjuk tangannya untuk memberi tahu kalau dia sudah ada di barisan Abraham Lincoln.

"Lalu, Adelia Shaletta dan Fariza Thalia silahkan ke Abraham Lincoln. Farel Mallory, Florence Heleina, Hedy Klaus, Nathan Febastiano, Gavin Helbert, Rainer Pramuda, Fazaira Mahanta. Kemudian, ...," Umi terus menyebutkan siapa saja yang berada di Abraham Lincoln hingga sampai barisan Franklin Delano Roosevelt.

Setelah selesai dibagi, Kak Umi menyuruh para murid baru untuk saling berkenalan dengan teman barisannya, Vania baru kali ini berbicara dengan seumuran, membuatnya sangat gugup. Dia yang berada barisan paling depan, tidak berani untuk menoleh ke belakang, bahkan di sampingnya.

Tiba-tiba seseorang mengetuk pundaknya dari belakang, "Hei," panggil orang itu. Vania menoleh ke belakangnya.

"Nama lo siapa?" tanya orang itu.

"Namaku Vania Keisya," jawabnya dengan malu.

"Nama gue Adelia, Adelia Shaletta, panggil aja Adel. Nah, kalo dia Fariza Thalia, panggil aja Thalia, gue sama dia satu SMP," seru Adel. Thalia yang berada di belakang Adel, mengsampingkan badannya dan melihat Vania.

"Nama gue Farel Mallory," ucap Farel yang berada di samping Vania.

"Nama gue Hedy,"

"Gue Gavin,"

"Rainer,"

"Nathan,"

"Gue Faza,"

Satu per satu memperkenalkan dirinya kepada Vania, sampai di samping Faza, seorang perempuan cantik seperti bule, rambutnya yang pirang sedada dan matanya yang berwarna silver memikat diri Vania.

Selesai memperkenalkan diri, orang yang berjas biru langsung ke delapan barisan. Dua perempuan dan satu laki-laki berdiri di depan barisan Abraham Lincoln.

"Ohh, kalian penerus Abraham Lincoln," canda laki-laki yang berjas biru.

"Woi, jangan bercandain adek kelas!" marah seorang perempuan yang sama berjas biru dan tingginya berbeda jauh dengan laki-laki itu.

"Iya iya, perkenalkan nama kakak, kak Taqdir," seru laki-laki memakai qalqalah saat menyebutkan namanya, membuat para barisan Abraham Lincoln tertawa lepas, termasuk dirinya.

"Kalau kakak yang pendek ini namanya Kak Meisya dan kakak yang tinggi ini namanya Kak Kirana," seru lagi Takdir. Meisya yang mendengar dia di sebut pendek langsung memukul punggung Takdir dengan keras.

"Lo bilang apa?? Gue pendek? Lo yang ketinggian!"

"Kalau begitu, maap kalo gue ketinggian," canda Takdir dengan tertawa.

Takdir, Meisya, dan Kirana mulai membimbing barisan Abraham Lincoln, mereka bertiga mengajak mereka ke kelas mereka.

Kelas sepuluh mendapati kelas di lantai empat, ketika Vania sampai di lantai empat, dia terlihat kelelahan dan sempoyongan. Dia membayangkan kalau nanti selama setahun akan naik tangga setiap harinya dan berpikir kalau berat badan dia akan turun kalau setiap harinya naik turun ke lantai empat.

Kelasnya berada di samping tangga, Takdir membuka kelas barunya. Vania langsung tertegun dan rasanya ingin menangis. Impiannya benar menjadi kenyataan, dia akan belajar di kelas ini. Vania mencoba menahan air matanya dan langsung berjalan masuk ke dalam kelas.

"Tempat duduknya bebas mau dimana," ucap Takdir.

Vania dengan cepat memilih bangku tepat di depan meja guru dan duduk di pinggir dekat jendela. Masing-masing sudah duduk berpasangan di tempat duduk pilihan mereka, kecuali Vania. Dia belum mendapatkan pasangan tempat duduknya sampai datang seorang perempuan bule cantik yang memikat dirinya. Perempuan itu terlihat terlambat masuk ke dalam kelas.

Dia celingak-celinguk melihat apakah ada bangku yang masih kosong dan matanya berhenti setelah melihat Vania yang masih sendiri. Perempuan itu berjalan ke arah Vania.

"Boleh enggak gue duduk disini?" tanyanya.

"Boleh, kok. Duduk aja," jawab Vania.

Vania sangat senang dia bisa duduk dengan perempuan cantik. Vania mencoba untuk berbicara dengan perempuan bule itu.

"Nama kamu siapa?" tanya Vania.

"Namaku Florence Heleina," jawab perempuan itu.

Nama yang cantik seperti dirinya,

Seketika terlintas seperti itu dipikiran Vania, dia menggeserkan badannya ke hadapan perempuan itu.

"Namaku Vania Keisya, kamu bisa panggil aku Kei. Salam kenal, Helen," serunya.

"Helen? Salken juga, Kei," jawab Helen dengan senyuman kecil.

"Helen, itu bule ya? Rambutmu pirang dan cantik," tanya Vania dengan pujian manisnya itu.

"Ahh, gue setengah orang Australia, ayah gue orang Australia dan ibu gue dari Indonesia. Ya sejenis blasteran," jawab Helen.

Vania sangat kagum dengan Helen. Baru pertama kali dia melihat orang setengah luar negeri atau blasteran seperti Helen.

"Baru kali ini aku bertemu dengan orang blasteran," ujar Vania.

"Oh, ya?"

"Ya,"

Takdir, Meisya, Kirana berdiri di depan kelas memberitahu bahwa akan ada guru yang masuk di kelas ini dan menyuruh kelas Abraham Lincoln untuk tidak perlu tegang atau gugup. Selama guru di dalam, mereka bertiga akan pergi karena di suruh berkumpul oleh ketua OSIS.

Setelah mereka bertiga memberitahu kelas Abraham, mereka langsung pergi dan meninggalkan kelas Abraham sendiri.

"Kamu dari sekolah mana?" tanya Vania ke Helen.

"Hm? gue dari sekolah Rownglass," jawab Helen. Walaupun begitu, Vania tidak tahu sekolah Rownglass, dia hanya menjawab dengan senyuman.

"Mereka ini kebanyakan dari asal sekolah yang berbeda-beda kan, ya?" gumam Vania melihat sekelilingnya.

"Iya berbeda-beda, tapi ada juga yang sama asal sekolahnya," sahut seseorang dari belakang. Vania dan Helen langsung menoleh ke belakang, terdapat dua orang perempuan yang duduk dibelakangnya.

"Nama gue Diva, kalau dia Nessa," Nessa yang disebelah Diva mengangguk, Vania dan Helen membalas anggukan Nessa.

"Namaku Vania, dia Helen," seru Reva. Diva melihat ke arah Helen dan terkagum.

"Wahh... Bule," gumam Diva dan Nessa secara bersamaan, Vania dan Helen tertawa, mereka sudah tahu pasti reaksi Diva dan Nessa akan seperti itu, terutama Helen. Melihat Vania yang pertama kali seperti itu, sudah tidak terkejut lagi dengan yang lain.

Tidak lama kemudian, guru pun masuk membawa sebuah buku absen kelas. Vania langsung duduk dengan tegak dan menatap guru yang sudah didepan matanya dengan hati-hati.

"Ayo siapkan, kamu siapkan!" tunjuk guru itu ke salah satu laki-laki di sebelah barisan duduknya.

"Baik, Bu! Berdiri!" semua pun berdiri mengikuti laki-laki yang disuruh guru itu.

"Memberi salam!" Semua memberi salam ke gurunya. Setelah memberi salam gurunya memperbolehkan muridnya untuk duduk.

Guru itu berdiri dan berjalan ketengah sambil melepaskan kacamatanya, kemudian tanpa basa-basi, "Ini kelas Abraham Lincoln, kan, ya? Pertama, selamat karena bisa masuk ke sekolah ini, semoga kalian bisa bertanggung jawab atas pilihan kalian memilih sekolah ini. Oke, karena ini pertama kali kita bertemu, jadi kalian belum tahu nama ibu, nama ibu itu Gea Rertis, panggil saja Bu Gea atau Bu Restis juga boleh. Ibu mengajar dipelajaran matematika. Jadi, kemungkinan kalian pelajaran matematika akan ibu ajarkan. Lalu, sekedar informasi pemilihan kelas kalian ini yang tadi pagi di umumkan oleh kakak-kakak OSIS akan menjadi kelas kalian selama satu tahun dan ibu datang ke sini sebagai wali kelas kalian selama satu tahun ini. Ngomong-ngomong, ibu belum kenal kalian, jadi perkenalan aja dulu hari ini, dimulai dari ... kamu ... wah, ada bule dikelas ini ya. Tolong perkenalkan dirimu, nama, asal sekolah, sama pelajaran yang disukai. Silahkan," terakhir Diva dan Nessa, sekarang Bu Gea memiliki reaksi yang sama seperti mereka.

Semua yang ada di kelas melihat ke arah Helen dan terkagum juga dengannya. Mengapa banyak yang terkagum dengan Helen? Karena orang blasteran seperti Helen sangat jarang masuk ke sekolah ini, malahan kebanyakan orang cina dan orang biasa. Jadi, tidak aneh jika banyak bertemu orang China dan kagum dengan orang blasteran.

Helen pun berdiri, "Perkenalkan nama saya Florence Heleina, asal sekolah dari Sekolah Internasional Rownglass, pelajaran yang disukai matematika," jelas Helen dan kembali duduk, seketika diam sejenak, lalu langsung menjadi ramai.

Semua terkejut mendengar Helen berasal dari Sekolah Internasional Rownglass, karena sekolah itu sangat terkenal bagus dan elitnya juga. Lalu, mengapa Helen lebih memilih masuk ke sekolah ini dibandingkan lanjut di sekolah internasional-nya?

"Kamu dari sekolah internasional Rownglass? Kenapa kamu tidak lanjut disana? Bukannya disana sekolahnya bagus banget? Bahkan lebih baik disana dibandingkan disini?" Helen di penuhi banyak pertanyaan, tentu itu juga pertanyaan yang sama bagi mereka penasaran.

"Karena saya ingin hal yang baru, tentu saya tahu kalau sekolah saya yang sebelumnya itu lebih bagus, tapi pilihan saya adalah ingin masuk ke sekolah ini. Bukankah menemukan hal yang baru itu bagus, Bu?" jawab Helen dengan santai. Guru itu tersenyum dan berjalan menghampiri Helen, kali ini Vania di kejutkan lagi oleh Helen.

"Tentu, bagus. Semoga kamu nyaman disini ya. Oke, selanjutnya kamu, silahkan perkenalkan dirimu," suruh guru itu kepada Vania. Vania kembali gugup, baru kali ini dia mengalami seperti ini, apalagi dengan kenyataan dia tidak memiliki asal sekolah.

Vania pun berdiri sambil menelan ludahnya, "N-nama saya Vania Keisya, s-saya tidak dari asal sekolah manapun, saya homeschooling selama tiga tahun dan pelajaran yang disukai itu matematika," gagap Vania. Oke, sekarang Bu Gea terkejut kembali dengan pernyataan Vania. Vani yang homeschooling bisa masuk ke SMA Wijaya Kusuma ini. Tentu mereka semua penuh dengan pertanyaan, tidak terkecuali Helen. Semua menoleh ke arah Vania, dia semakin gugup.

"Kamu homeschooling? Kalau ibu boleh tahu, kamu kenapa bisa homeschooling?" tanya Bu Gea yang ragu, tapi penuh penasaran.

"Saya tidak ingat, tetapi saya di beritahu oleh kakak saya, tiga tahun yang lalu, saya mengalami kecelakaan yang membuat saya tidak terbangun selama enam bulan dan harus menjalani rehabilitasi selama setahun. Jadi, setelah saya sembuh, kakak saya langsung menyarankan untuk homeschooling sampai lulus smp, supaya saya bisa mengejar keterlambatan saya. Akhirnya saya belajar giat selama dua tahun untuk mengejar keterlambatan saya," jelas Vania, tiba-tiba saja perasaan takut muncul di dirinya. Semua tercengang setelah dengar penjelasan Vania. Mereka tidak terbayang kalau alasannya homeschooling akan seperti itu. Awalnya mereka berpikir kalau Vania homeschooling karena dia anak bermasalah. Ternyata tidak.

"Oh ternyata begitu, maaf,"

"Tidak apa-apa, Bu," jawab Vania dengan senyum manisnya.

Perkenalan pun berlanjut, banyak dari mereka yang asal sekolahnya bagus dan ada juga yang asal sekolahnya biasa. Tapi sekalipun itu dari sekolah biasa, jika dia sudah diterima di sekolah ini, maka dia adalah salah orang yang terpilih. Walaupun tidak ada yang menyangka juga Vania yang seorang homeschooling bisa masuk ke SMA Wijaya Kusuma dan itu sudah cukup untuk terbilang pintar.

Selesai perkenalan, Bu Gea langsung mengusulkan untuk pemilihan ketua kelas. Padahal belum terlalu kenal dengan semuanya, tetapi sudah disuruh untuk pemilihan ketua kelas. Bagi Vania yang amnesia dan hanya belajar homeschooling, dia tidak terlalu tahu apa itu pemilihan ketua kelas dan dia tidak pernah bertanya atau diberitahu oleh kakaknya. Dia melirik pelan ke arah Helen untuk bertanya, tapi dia takut dikira aneh olehnya. Vania terus melirik ke arah Helen, tanya tidak ya? pikirnya. Dia menarik pelan baju lengan Helen dan Helen pun menoleh ke arahnya.

"Aku mau nanya, tapi pertanyaannya mungkin sedikit aneh buatmu," bisik Vania.

"Tanya aja, Kei," jawab Helen dengan tenang. Dengan ragu, Vania akhirnya Vania memilih bertanya, seperti kata pepatah "Malu bertanya sesat di jalan". Jadi dia memilih untuk bertanya, daripada tidak tau sama sekali. Kita akan rugi sendiri karena persoalan yang dihadapi tidak ditemukan jalan keluarnya.

"Pemilihan Ketua kelas itu apa ya? Boleh enggak tentang pengurus kelas?" tanyanya dengan suara yang pelan, supaya tidak terdengar oleh siapapun. Helen diam sejenak, kemudian mengangguk untuk menjawab pertanyaan ke Reva.

Dia menjelaskan semua tentang pengurus kelas, tentang pengurus itu ada apa saja, tugas-tugasnya, dan lain-lain. Setelah tahu tentang pengurus kelas, Vania tertarik untuk menjadi sekretaris kelas, karena menurutnya terlihat menarik. Selain itu, tugas sekretaris seperti menulis absensi kelas, agenda kelas, dan tugas lainnya, dia sangat suka menulis. Jadi, dia ingin mencoba menjadi sekretaris dan memberitahu Vania kalau dia ingin mencoba menjadi Sekretaris kelas.

"Kamu mau jadi apa, Helen?" tanya Vania.

"Gue? Gue engga mau jadi pengurus kelas," jawab Helen dengan asal. Vania bertanya-tanya mengapa Helen tidak mau jadi pengurus kelas, padahal Florence mungkin saja cocok jika menjadi pengurus kelas, terutama ketua kelas.

"Kenapa?" tanya Vania lagi.

"Mungkin karena males? Gue lagi mau serius belajar, kalau gue jadi pengurus kelas, beban gue pasti akan bertambah dan gue engga mau beban gue bertambah. Capek," jawab Helen dengan semakin jelas.

Sekilas Vania paham menjadi pengurus kelas berarti akan sedikit menambah beban. Apalagi Vania diam-diam memiliki sesuatu yang ingin dia tuju. Dia ingat dengan perkataan Minna, "nikmati masa mudamu, apalagi setelah tiga tahun kamu baru bisa sekolah, seperti biasa. Lakukan apa yang kamu ingin," mendengar perkataan Minna, maka dia ingin melakukan hal yang dia suka, karena Vania hanya memiliki tiga tahun. Jadi, dia harus memanfaatkan waktu itu dengan benar.

Vania pun tersenyum. "Oh, baiklah," pemilihan ketua kelas pun dimulai. Ketua kelas yang terpilih adalah Farel Mallory, laki-laki yang mempersiapkan salam tadi, karena dia mendapatkan dukungan dari teman sebangkunya. Tempat duduknya tidak jauh darinya, hanya berbeda satu baris disampingnya. Lalu, Wakil ketua kelasnya adalah Vivian Chalondra, dia mencalonkan dirinya sendiri, tempat duduknya paling depan beda dua baris dengan Vania. Kemudian sekretaris, bendahara, dan seksi lainnya pun sudah ditentukan.