"Teman Baru"
Hari ini Reva bangun pagi-pagi sekali, karena setelah tiga tahun akhirnya dia bisa beraktivitas sekolah seperti orang seumuran biasanya. Memakai seragam jas sekolahnya yang berwarna merah hitam yang selalu dia dambakan, mengkepang setengah bagian rambutnya kanan dan kiri dan diikat dengan pita merah sesuai warna seragamnya. Reva membawa tas sekolah yang selalu ingin dia bawa sejak tiga tahun dan langsung pergi menuju ruang makan untuk sarapan pagi. Suasana yang tidak seperti biasanya, mungkin karena Reva bisa bersekolah lagi jadi mungkin suasananya semakin hangat dan ceria dari biasanya. Walaupun biasanya juga seperti itu.
"Kamu kelihatan sangat girang dan ceria ya. Apa mungkin kamu bisa bersekolah seperti biasa jadi kamu menjadi orang yang tidak sabaran?" goda ibunya sambil tertawa kecil. Reva pun tertawa kecil karena ucapan ibunya itu benar.
"Hehehe," jawab Reva, dia memakan sarapan paginya dengan lahap sampai-sampai dia tidak menyadari kalau ada yang tertempel krim rotinya di pinggir mulutnya. Winka yang tidak sengaja melihatnya langsung mengambil sehelai tisu didekatnya dan memberikannya kepada Reva.
"Bersihkan mulutmu," suruh Winka, Winka memang terlihat galak dan dingin, tetapi dibalik sikapnya yang galak aslinya sangat baik dan penyayang. Reva berhenti mengunyah, kemudian menerima tisu yang diberi oleh Winka tadi, lalu mengelap mulutnya yang belepotan.
"Semoga kamu nyaman di sekolah yang kamu pilih," ucap ayahnya dengan lembut. Reva mengangguk dan tersenyum tidak sabar untuk pergi ke sekolah barunya.
Setelah menyelesaikan sarapannya, Reva langsung bergegas mengambil tas sekolahnya dan berangkat menuju ke sekolah. "Reva, kamu serius ingin pergi ke sekolah sendiri? Kamu kan bisa diantar oleh ayahmu atau sama Kak Tera," tanya Ibunya sambil memberikan sebuah kotak bekal ke Reva. Reva membalasnya dengan senyuman.
"Iya, untuk sekali ini aja, bu. Nanti selanjutnya aku akan pergi bareng ayah atau kak Tera. Jangan khawatir, aku bisa jaga diriku," jawab Reva dengan tersenyum gembira. Melihat senyuman manis anaknya, terpaksa memperbolehkan anaknya untuk pergi ke sekolah sendiri. Walaupun di hatinya merasa dia tidak mau anaknya melakukannya sendirian lagi.
"Aku pergi dulu," seru Reva sambil melambaikan tangannya, ibunya menjawab dengan melambaikan tangannya juga dan tersenyum. Ibu harap kamu baik-baik saja dan tidak terjadi apa-apa, pikir ibu Reva.
Jarak antara rumah dan Akademi Dandelions tidaklah jauh, tapi tidak terbilang dekat juga. Jaraknya hanya 25 km dari rumah, jadi Reva memutuskan untuk berjalan kaki naik busway menuju sekolahnya daripada di antar. Dan lagi Akademi Dandelions menurutnya tidak terlalu jauh. Bukankah sambil menghirup udah pagi itu bagus? Reva berjalan santai sambil menutup matanya menikmati udara pagi. Angin yang menghembuskan rambutnya dengan pelan, langit yang mataharinya baru terbit setengah begitu cerah. Sampai di Halte busway, pas sekali busway arah ke sekolahnya juga sudah datang, jadi dia langsung naik ke busway itu. Di busway itu, dia melihat banyak sekali yang memakai seragam sekolah yang berbeda dari seragamnya. Perasaan yang dia rasakan saat itu adalah perasaan gugup sekaligus senang, seperti "ahh...ternyata semenyenangkan ini". Reva duduk didekat jendela, memandang perjalanan, melewati setiap halte busway. Saking menikmati enaknya memandang- tidak tapi melewati pagi ini, tidak terasa sudah sampai di Akademi Dandelions.
Reva berdiri di tengah-tengah depan gerbang sekolah dan tersenyum bahagia, "akhirnya," batin Reva. Hati Reva sangat berdegup kencang, dia melangkah pelan-pelan, satu persatu kakinya memasuki gerbang sekolah. Hari baru, teman baru, lingkungan baru, dan kehidupan baru, "Reva, semangat!". Dia masuk ke dalam lobby sekolah untuk mengetahui kelas mana yang akan dia tempati nanti.
Di lobby, tepat dia berdiri di tengah-tengah mading yang sudah ditempelkan pembagian kelas. Tiba-tiba datang seorang perempuan yang berdiri disampingnya. Reva menoleh sesaat ke arah perempuan itu dan kembali memeriksa namanya. Namanya tertera di kelas X IPA 4. Setelah itu dia menoleh kearah perempuan disampingnya.
"Na-nama lo siapa?" tanya Reva yang sedikit gugup. Perempuan di sebelahnya sedikit terkejut dan menoleh ke arah Reva. Perempuan itu terlihat sangat cantik, rambut pirangnya yang indah, bibirnya yang terlihat sedikit merah, bulu mata yang lentik natural, mata hijaunya yang seperti berlian emerald dan tubuh yang bagus, membuat Reva berpikir, "wahh, seperti boneka hidup," dengan terpesona melihat perempuan itu.
Perempuan itu merasa tidak nyaman dengan tatapan Reva, "n-nama gue, Florence," jawab Florence dengan sedikit gagap.
Reva pun tersenyum, "lo terlihat seperti boneka yang hidup ya, cantik dan bule. Rasanya kayak gue ketemu orang bule," puji Reva.
"Terimakasih,"
"Lo masuk kelas berapa?" tanya lagi Reva.
"X IPA 4,"
Reva langsung terlanjur berpikir, "Ini takdir, aku dipertemukan dengan perempuan secantik dia. Ayo berteman dengannya" Reva langsung tersenyum dan membungkuk badannya ke arah Florence, "Sama dong, gue juga masuk kelas X IPA 4. Nanti duduk sebangku sama gue, yuk," ajak Reva dengan tersenyum lebar. Florence tersenyum kecil, "Boleh saja". Mereka mencari kelas barunya bersama.
"Kalau engga salah, kelas X kelasnya ada di lantai empat. Jadi lebih baik kita langsung ke lantai empat," Reva mengangguk saja, karena dia tidak tahu apa-apa, lebih baik dia ikuti Florence.
Mereka langsung naik tangga ke lantai empat dan hasilnya kelas mereka benar-benar ada di lantai empat. Reva terlihat kelelahan setelah naik ke lantai empat, tenaganya sudah habis di kuras buat naik tangga. Tapi dia senang dia bisa sampai di kelasnya. Mereka masuk ke dalam kelas barunya, karena masih baru, jadi tempat duduk bebas mau dimana saja. Florence menyarankan untuk duduk di paling depan dan ditengah, sayangnya tempatnya sudah di ambil duluan, jadi Florence memilih duduk didepan didekat jendela, tepat didepan meja guru.
"Engga apa-apa, kan, duduk disini?" tanya Florence, dia takut Reva tidak suka duduk di pilihannya dan ingin duduk ditempat lain, tapi bagi Reva, dia bebas mau duduk dimana saja, karena udah bisa sekolah seperti yang lain saja sudah bagaikan mimpi. Reva mengangguk setuju.
"Btw, gue belum tahu nama lo," ucap Florence dan Reva baru sadar kalau dia belum memberitahukan namanya.
Reva tertawa kecil, "nama gue Reva," Reva tersenyum lebar begitu juga dengan Florence.
"Florence, itu bule ya? Rambut lo pirang dan cantik," tanya Reva dengan pujian manisnya itu.
"Ahh, gue setengah orang Australia, ayah gue orang Australia dan ibu gue dari Indonesia. Ya sejenis blasteran," jawab Florence. Reva sangat kagum dengan Florence. Baru pertama kali Reva melihat orang setengah luar negeri.
"Wahh... keren ya, baik, cantik, bisa-bisa gue jadi fans lo, nih. Xixixi. Terus kalau aja gue laki-laki pasti gue udah jatuh cinta sama lo pada pandangan pertama," seru Reva dengan mata terbinar-binar. Florence tertawa dengan pengakuan Reva yang blak-blakan seperti itu.
"Lo lucu banget ya," tawa Florence sampai air matanya keluar. Reva yang melihat Florence tertawa seperti itu seketika langsung cemberut.
"Kan gue puji tahu," cemberut Reva, Florence pun berhenti tertawa dan tersenyum.
"Iya iya, terimakasih atas pujiannya," seru Florence. Mereka tertawa bersama, baru saja bertemu dan kenal sudah akrab saja. Lalu, disisi lain satu per satu mulai berdatangan ke kelas, sudah banyak orang yang mulai berinteraksi. Kelas ini pasti akan menyenangkan, pikir Reva.
"Mereka ini kebanyakan dari asal sekolah yang berbeda-beda kan, ya?" gumam Reva melihat sekelilingnya.
"Iya berbeda-beda, tapi ada juga yang sama asal sekolahnya," sahut seseorang dari belakang. Reva dan Florence langsung menoleh kebelakang, terdapat dua orang perempuan yang duduk dibelakangnya.
"Nama gue Diva, kalau dia Nessa," Nessa yang disebelah Diva mengangguk, Reva dan Florence membalas anggukan Nessa.
"Nama gue Reva, dia Florence," seru Reva. Diva melihat ke arah Florence dan terkagum.
"Wahh... Bule," gumam Diva dan Nessa secara bersamaan, Reva dan Florence tertawa, mereka sudah tahu pasti reaksi Diva dan Nessa akan seperti itu, terutama Florence. Melihat Reva yang pertama kali seperti itu, sudah tidak terkejut lagi dengan yang lain.
Tidak lama kemudian, guru pun masuk membawa sebuah buku absen. Reva langsung duduk dengan tegak dan menatap guru yang sudah didepan matanya dengan hati-hati.
"Ayo siapkan, kamu siapkan!" suruh gurunya ke salah satu laki-laki di sebelah barisan duduknya.
"Baik, Bu! Berdiri!" semua pun berdiri mengikuti laki-laki yang disuruh guru itu.
"Memberi salam!" Semua memberi salam ke gurunya. Setelah memberi salam gurunya memperbolehkan muridnya untuk duduk.
Guru itu berdiri dan berjalan ketengah sambil melepaskan kacamatanya, kemudian tanpa basa-basi, "Pertama, selamat karena bisa masuk ke Akademi ini, semoga kalian bisa bertanggung jawab karena sudah masuk ke Akademi ya. Oke, karena ini pertama kali kita bertemu, jadi kalian belum tahu nama ibu, nama ibu itu Gea Rertis, panggil saja Bu Gea atau Bu Restis juga boleh. Ibu mengajar pelajaran matematika. Jadi kemungkinan kalian pelajaran matematika akan ibu ajarkan. Lalu, untuk setahun ini juga ibu akan jadi wali kelas kalian. Ngomong-ngomong, ibu belum kenal kalian, jadi perkenalan saja dulu hari ini, dimulai dari...kamu...wah ada bule dikelas ini ya. Tolong perkenalkan dirimu, nama, asal sekolah, sama pelajaran yang disukai," Terakhir Diva dan Nessa, sekarang Bu Gea memiliki reaksi yang sama seperti mereka. Semua yang ada di kelas melihat ke arah Florence dan terkagum juga dengannya. Mengapa banyak yang terkagum dengan Florence? Karena orang bule sangat jarang masuk ke Akademi ini, malahan kebanyakan orang cina. Jadi jangan aneh jika banyak bertemu orang China dan kagum dengan orang bule.
Florence pun berdiri, "Perkenalkan nama saya Florence Zwetta, asal sekolah dari Sekolah Internasional Rownglass, pelajaran yang disukai matematika," jelas Florence dan kembali duduk, seketika diam sejenak, lalu ramai dalam seketika juga. Semua terkejut mendengar Florence berasal dari sekolah internasional Rownglass, karena sekolah itu sangat terkenal bagus dan elitnya juga. Lalu, mengapa Florence lebih memilih masuk ke Akademi ini dibanding lanjut di sekolah internasional-nya? Walaupun sekolahnya sama bagus, tetapi bukankah lebih baik melanjutkan disana?
"Kamu dari sekolah internasional Rownglass? Kenapa kamu tidak lanjut disana bukankah disana sekolahnya bagus juga? Walaupun akademi ini juga terkenal bagusnya, tapi bukannya lebih baik disana dibandingkan disini?" penuh pertanyaan Bu Gea, tentu itu pertanyaan yang sama bagi mereka penasaran.
"Karena saya ingin hal yang baru, tentu saya tahu sekolah saya yang sebelumnya itu juga bagus, tapi pilihan saya adalah ingin masuk ke sekolah ini. Bukankah menemukan hal yang baru itu bagus, Bu?" jawab Florence dengan tenang. Guru itu tersenyum dan berjalan menghampiri Florence.
"Tentu, bagus. Semoga kamu nyaman disini ya. Oke, selanjutnya kamu, perkenalkan dirimu," suruh guru itu ke Reva. Reva sangat gugup, baru kali ini dia mengalami seperti ini semenjak kecelakaan itu, apalagi dia tidak memiliki asal sekolah.
Reva pun berdiri dan menelan ludahnya, "N-nama saya Reva Alvina Termanto, saya tidak dari asal sekolah manapun, saya homeschooling, pelajaran yang disukai itu matematika," gagap Reva. Oke, sekarang Bu Gea terkejut kembali dengan pernyataan Reva. Reva yang homeschooling bisa masuk ke Akademi Dandelion ini. Tentu mereka semua penuh dengan pertanyaan, tidak terkecuali Florence. Semua menoleh ke arah Reva.
"Kamu homeschooling? Kalau ibu boleh tahu, kamu kenapa bisa homeschooling?" tanya Bu Gea.
"Tiga tahun yang lalu saya mengalami kecelakaan dan perlu satu tahun untuk sembuh total. Jadi kakak saya menyarankan untuk homeschooling, supaya saya bisa mengejar keterlambatan saya. Akhirnya saya belajar giat selama dua tahun untuk mengejar keterlambatan saya," jelas Reva. Semua tercengang dengar penjelasan Reva. Mereka tidak terbayang kalau alasan Reva homeschooling akan seperti itu, awalnya mereka berpikir Reva homeschooling karena Reva anak bermasalah. Ternyata tidak.
"Oh ternyata begitu, maaf,"
"Tidak apa-apa, Bu," jawab Reva dengan senyum manisnya.
Perkenalan pun berlanjut, banyak dari mereka yang asal sekolahnya bagus dan ada juga yang asal sekolahnya biasa. Tapi sekalipun itu dari sekolah biasa, jika dia sudah diterima di Akademi ini, maka dia adalah salah orang yang terpilih dan pintar. Walaupun tidak ada yang menyangka juga Reva yang seorang homeschooling bisa masuk ke Akademi Dandelions dan itu sudah cukup untuk terbilang pintar.
Selesai perkenalan, Bu Gea langsung mengusulkan untuk pemilihan ketua kelas. Padahal belum terlalu kenal dengan semuanya, tetapi sudah disuruh untuk pemilihan ketua kelas. Bagi Reva yang amnesia dan hanya belajar homeschooling, dia tidak terlalu tahu apa itu pemilihan ketua kelas. Dia melirik pelan ke arah Florence untuk bertanya, tetapi Reva takut dikira aneh oleh Florence. Reva terus melirik ke arah Florence, tanya tidak ya? pikirnya. Akhirnya Reva menarik pelan baju lengan Florence, Florence pun menoleh kearahnya.
"Gue mau nanya, tapi pertanyaannya mungkin sedikit aneh buat lo," bisik Reva.
"Tanya aja, Rev," jawab Florence dengan tenang. Dengan ragu, Reva akhirnya memilih untuk bertanya, karena ada pepatah berkata, 'malu bertanya sesat dijalan'.
Jadi dia memilih untuk bertanya, daripada tidak tau sama sekali.
"Pemilihan Ketua kelas itu apa ya? Boleh jelasin engga tentang pengurus kelas?" tanyanya dengan suara yang pelan, supaya tidak terdengar oleh siapapun. Florence diam sejenak, kemudian mengangguk untuk menjawab pertanyaan ke Reva.
Dia menjelaskan semua tentang pengurus kelas, tentang pengurus itu ada apa saja, tugas-tugasnya, dan lain-lain. Setelah mendengar penjelasan Florence, Reva tertarik untuk menjadi sekretaris kelas, karena menurutnya terlihat menarik. Selain itu, tugas sekretaris seperti menulis absensi kelas, agenda kelas, dan tugas lainnya, Reva sangat suka menulis. Jadi, dia ingin mencoba menjadi sekretaris dan memberitahu Florence kalau dia ingin mencoba menjadi Sekretaris kelas.
"Lo mau jadi apa, Florence?" tanya Reva.
"Gue? Gue engga mau jadi pengurus kelas," jawab Florence. Reva bertanya-tanya mengapa Florence tidak mau jadi pengurus kelas, padahal Florence mungkin saja cocok jika menjadi pengurus kelas, terutama ketua kelas.
"Kenapa?" tanya Reva lagi.
"Mungkin karena males? Gue lagi mau serius belajar, kalau gue jadi pengurus kelas, beban gue pasti akan bertambah dan gue engga mau beban gue bertambah. Melelahkan," jawab Florence, sekilas Reva paham menjadi pengurus kelas berarti akan sedikit menambah beban. Apalagi Reva diam-diam memiliki sesuatu yang ingin dia tuju. Tapi dia ingat dengan perkataan Tera, "nikmati masa mudamu, apalagi setelah tiga tahun kamu baru bisa sekolah seperti biasa. Lakukan apa yang kamu ingin," mendengar perkataan Tera, maka dia ingin melakukan hal yang dia suka, karena Reva hanya memiliki tiga tahun. Jadi dia harus memanfaatkan waktu itu dengan benar.
Reva pun tersenyum. "Oh, baiklah," pemilihan ketua kelas pun dimulai. Ketua kelas yang terpilih adalah Farel Mallory, laki-laki yang mempersiapkan salam tadi, karena dia terpilih mendapatkan dukungan dari teman sebangkunya. Tempat duduknya tidak jauh dari Reva, hanya satu baris disampingnya. Lalu, Wakil ketua kelasnya adalah Vivian Chalondra, dia mencalonkan dirinya sendiri, tempat duduknya beda dua baris dengan Reva dan sama duduk di paling depan seperti Reva. Kemudian sekretaris, bendahara, dan seksi lainnya pun sudah ditentukan.