*~*~*~*~*~*~*~*
Mereka berjalan menyusuri museum itu, berhenti di sana-sini agar Pak Pelatih Hedge berkesempatan menguliahi mereka dengan megafonnya. Megafon tersebt silih berganti membuat sang pelatih terdengar seperti Sith Lord atau mengumandangkan komentar-komentar aneh seperti: "Babi bilang nguik."
Leo terus mengeluarkan mur, baut, dan tali kapas dari saku jaket tentaranya serta merakit benda-benda itu jadi satu, seolah dia harus menyibukkan tangannya sepanjang waktu.
Jason terlalu resah sehingga tidak terlalu memperhatikan benda-benda yang dipamerkan, namun temanya tentang Grand Canyon dan suku Hualapai, pemilik museum itu.
Sebagian cewek terus saja memandangi Piper serta Dylan dan mencemooh. Jason menduga cewekcewek ini adalah geng populer. Mereka memakai jins yang serasi dan atasan merah muda serta rias wajah tebal yang cocok untuk pesta Halloween.
Salah seorang dari mereka berkata, "Hei, Piper, apa sukumu yang mengelola tempat ini? Apa kau boleh masuk secara gratis kalau kau melakukan tarian hujan?"
Cewek-cewek lain tertawa. Bahkan Dylan yang katanya "pasangan" Piper juga menahan senyum. Jaket snowboarding Piper yang berbulu-bulu menyembunyikan tangannya, tapi Jason punya firasat bahwa
cewek itu sedang mengepalkan tinjunya.
"Ayahku orang cherokee," kata Piper. "Bukan Hualapai. Tentu saja, kau butuh sedikit sel otak supaya memahami bedanya, Isabel."
Isabel membelalakan mata, pura-pura kaget. Tetapi dia justru kelihatan seperti burung hantu yang kecanduan make-up. "Aduh, maaf! Apa ibu-mu yang anggota suku ini? Oh, iya ya. Kau tak pernah kenal ibumu."
Piper menerjang Isabel, tapi sebelum perkelahian sempat dimulai, Pak Pelatih Hedge membentak, "Yang di belakang sana, cukup! Tunjukan teladan yang baik atau kukeluarkan tongkat bisbolku!"
Kelompok tersebut beranjak ke ruang pajang berikutnya, namun para cewek terus saja menyerukan komentar-komentar pedas pada Piper.
"Pasti senang ya, balik ke penampungan?" tanya salah seorang dengan suara manis.
"Ayahnya mungkin terlalu mabuk, jadi tidak bisa kerja," kata yang lain dengan simpati palsu. "Itu sebabnya dia jadi klepto."
Piper mengabaikan mereka, tapi Jason sendiri sudah siap meninju mereka. Dia mungkin tidak ingat siapa Piper, atau bahkan dirinya sendiri, namun Jason tau dia benci anak - anak yang jahat.
Leo menangkap lengan Jason. "Tenang. Piper tidak suka kita ikut campur dalam pertengkarannya. Lagi pula, kalau cewek-cewek itu tahu siapa ayah Piper yang sebenarnya, mereka semua bakal menyembahnyembahnya dan berteriak, 'kami tak pantas!'"
"Kenapa? Memang ada apa dengan ayahnya?"
Leo tertawa tak percaya. "Kau tidak bercanda? Kau tidak ingat bahwa ayah pacarmu—"
"Dengar, aku harap aku ingat, tapi aku bahkan tidak ingat siapa Piper, apalagi ayahnya."
Leo bersiul. "Terserah deh. Kita harus bicara ketika kita kembali ke asrama."
Mereka sampai di ujung ruang pajang. Di sana terdapat sebuah pintu kaca besar yang mengarah ke teras
di luar.
"Baiklah, Bocah-Bocah Lembek," Pak Pelatih Hedge mengumumkan. "Kalian akan menyaksikan Grand Canyon. Cobalah untuk tidak berulah. Titian itu bisa menahan bobot tujuh puluh pesawat jet jumbo, jadi
manusia kelas bulu macam kalian semestinya aman di atasnya. Jika mungkin, cobalah jangan saling dorong hingga jatuh dari tepi, sebab itu akan membuatku tambah repot saja."
Sang pelatih membuka pintu, dan mereka semua melangkah ke luar. Grand Canyon terbentang di hadapan mereka, secara langsung. Di tubirnya, terjulurlah sebuah titian berbentuk tapal kuda yang terbuat dari kaca, jadi kita bisa melihat ke bawah.
"Wow," ujar Leo. "Keren juga."
Jason harus sepakat. Walaupun dia lupa ingatan dan merasa tidak seharusnya berada di sana, Jason mau tak mau terkesan.
Ngarai tersebut lebih besar dan lebih lebar daripada yang dapat kita apresiasi melalui foto. Posisi mereka tinggi sekali sampai-sampai di bawah kaki mereka ada burung yang berputar-putar. Seratus lima
puluh meter di bawah, sebuah sungai mengular di dasar ngarai. Kumpulan awan badai telah bergerak ke atas mereka selagi mereka berada di dalam, memancarkan bayang-bayang yang bagaikan wajah-wajah marah ke tebing. Sejauh yang bisa dilihat Jason, tersebar di seluruh padang, terdapat jurang merah serta kelabu, seolah dipahat dengan pisau oleh dewa-dewa sinting.
Jason merasakan nyeri yang menusuk di belakang matanya. Dewa sinting .... Dari mana dia memperoleh gambaran seperti itu? Jason merasa seakan dia telah mendekati sesuatu yang penting—sesuatu yang seharusnya dia ketahui. Jason juga merasakan firasat tak terbantahkan bahwa dia tengah berada dalam bahaya.
"Kau baik-baik saja?" tanya Leo. "Kau tidak akan muntah di pinggir, kan? Soalnya aku seharusnya bawa kameraku."
Jason mencengkeram pagar. Dia gemetaran dan berkeringat, namun itu tak ada hubungannya dengan ketinggian. Jason berkedip, dan rasa nyeri di balik matanya pun mereda.
"Aku tak apa-apa," Jason berhasil menjawab. "Cuma sakit kepala."
Guntur menggelegar di langit. Angin dingin hampir menggulingkan Jason ke samping.
"Ini tak mungkin aman." Leo menyipitkan mata ke arah awan. "Ada awan badai tepat di atas kita, tapi di sekeliling kita cuacanya cerah. Aneh, ya?"
Jason mendongkak dan melihat bahwa Leo benar. Lingkaran awan gelap telah parkir di atas titian, tapi langit di segala arah tampak luar biasa jernih. Jason punya firasat yang tidak enak soal ini.
"Baiklah, Anak-Anak Lembek!" teriak Pak Pelatih Hedge. Dia mengerutkan kening ke arah awan badai, seakan awan-awan itu mengganggunya juga. "Kita mungkin harus mempersingkat karyawisata kita ini, jadi mulailah bekerja! Ingat, kalimat lengkap!"
Badai menggemuruh, dan kepala Jason mulai sakit lagi. Tidak tahu apa sebabnya dia berbuat begitu, Jason merogoh saku jinsnya dan mengeluarkan sekeping koin—lingkaran emas seukuran uang setengah dolar, tapi lebih tebal dan lebih tak rata. Pada satu sisi tercetaklah gambar kapak tempur. Pada sisi lainnya ada wajah laki-laki bermahkota daun dafnah. Tulisan pada koin itu seperti berbunyi IVLIVS.
"Walah, apa itu emas?" tanya Leo. "Kau ternyata merahasiakan sesuatu dariku."
Jason menyimpan koin itu lagi, bertanya-tanya bagaimana bisa dia memiliki koin tersebut, dan apa
sebabnya dia merasa akan segera membutuhkan koin itu.
"Bukan apa-apa kok," kata Jason. "Cuma koin biasa."
Leo mengangkat bahu. Mungkin pikirannya harus bergerak secepat tangannya. "Ayo," katanya. "Kutantang kau meludah ke tepi."
*~*~*~*~*~*~*~*
Mereka tidak berusaha terlalu keras untuk mengisi lembar kerja. Salah satu sebabnya, perhatian Jason terlalu tertuju ke badai dan perasaannya sendiri yang campur aduk. Sebab lainnya, dia sama sekali tak punya gambaran bagaimana cara mengisi soal seperti "sebutkan tiga lapisan sedimen yang kau amati" atau "jelaskan dulu contoh erosi."
Leo tidak membantu. Dia terlalu sibuk merakit helikopternya dari tali-tali kapas.
"Lihat nih." Leo meluncurkan helikopter tersebut. Jason menduga Helikopter itu akan jatuh, namun baling-baling dan tali kapas itu betul-betul bisa berputar. Helikopter kecil tersebut berhasil menyeberang sampai ke tengah-tengah ngarai sebelum kehilangan momentum dan terpuntir ke jurang.
"Bagaiamana caramu melakukan itu?" tanya Jason.
Leo mengangkat bahu. "Bakalan lebih keren kalau aku punya karet gelang."
"Serius nih," kata Jason, "apa kita benar-benar berteman?"
"Terakhir kali yang kuingat sih begitu."
"Kau yakin? Kapan hari pertama kita bertemu? Apa yang biasanya kita obrolkan?"
"Kejadiannya ..." Leo mengerutkan kening. "Aku tak ingat persisnya. Aku ini penderita GPPH, Bung. Gangguan Pemusatan Perhatian dan Hiperaktivitas. Mana bisa aku ingat semua detail?"
"Tapi aku tak bisa mengingatmu sama sekali. Aku tak ingat siapa pun yang ada di sini. Bagaimana kalau—"
"Kau benar dan yang lain salah semua?" tanya Leo. "Kaukira kau baru muncul di sini pagi ini, dan kami semua punya ingatan palsu tentangmu?"
Suara kecil dalam kepala Jason berujar, Memang itu yang sedang kupikirkan.
Tapi asumsi itu kedengarannya gila. Semua orang di sini cuek saja padanya. Semua orang bersikap seolah Jason merupakan bagian normal dari kelas itu—kecuali Pak Pelatih Hedge.
"Bawakan lembar kerja ini." Jason menyerahkan lembar kerja itu kepada Leo. "Aku akan segera kembali."
Sebelum Leo sempat protes, Jason berjalan menyeberangi tititian.
Hanya ada kelompok sekolah mereka di tempat itu. Mungkin masih terlalu pagi untuk kedatangan turis, atau mungkin cuaca ganjil ini telah menakut-nakuti para wisatawan. Anak-anak Sekolah Alam Liar telah menyebar berpasang-pasangan di titian. Sebagian besar sedang berkelakar atau mengobrol. Sebagian cowok menjatuhkan koin satu sen dari tepi pagar. Kira-kira lima belas meter dari posisi Jason, Piper sedang berusaha mengisi lembar kerjanya, namun Dylan, pasangannya yang bodoh, malah merayunya, merangkulkan lengan ke bahu Piper dan memberinya senyuman putih menyilaukan itu. piper terus saja mendorong Dylan agar menjauh, dan ketika cewek itu melihat Jason diberinya cowok itu tatapan yang
seolah menyiratkan, Cekik cowok ini demi aku.
Jason memberi isyarat agar Piper menunggu. Dia mengampiri Pak Pelatih Hedge, yang sedang menumpukan badai ke tongkat bisbol sambil mengamati awan badai.
"Apa kau yang melakukan ini?" sang Pelatih menanyai Jason.
Jason melangkah mundur. "Melakukan apa?" kedengarannya sang pelatih baru saja bertanya apakah Jason telah menciptakan badai guntur.
Pak Pelatih Hedge memelototi Jason, matanya yang bagai manik-manik berkilat di bawah pinggiran topinya. "Jangan main-main denganku, Bocah. Apa yang kaulakukan di sini, dan kenapa kau mengacaukan pekerjaanku?"
"Maksud Bapak ... Bapak tidak mengenal saya?" ujar Jason. "Saya bukan salah satu murid Bapak?"
Hedge mendengus. "Tak pernah melihatmu sebelum hari ini."
Jason lega sekali sampai-sampai dia ingin menangis. setidaknya dia tidak gila. Dia memang berada di tempat yang salah. "Begini, Pak, saya tidak tahu bagaimana ceritanya sampai saya berada di sini. Ketika saya terbangun, saya sudah berada di bus sekolah ini. Saya cuma tahu saya tak seharusnya berada di
sini."
"Memang benar." Suara galak Hedge memelan hingga menjadi gumaman, seakan dia tengah berbagi rahasia. "Kau punya kekutan yang hebat untuk mempengaruhi Kabut, Bocah, jika kau bisa membuat semua orang ini mengira mereka mengenalmu; tapi kau tak bisa mengelabuiku. Sudah berhari-hari aku
mencium bau monster. Aku tahu kami kedatangan penyusup, tapi baumu tak seperti monster. Baumu seperti blasteran. Jadi—kau ini siapa, dan dari mana kau berasal?"
Sebagian besar perkataan sang pelatih tidak masuk akal, namun Jason memutuskan untuk menjawab dengan jujur. "Saya tidak tahu siapa saya. Saya tidak ingat apa-apa. Bapak harus membantu saya."
Pak Pelatih Hedge mengamati wajah Jason seakan sedang berusaha membaca pikirannya.
"Hebat," gerutu Hedge. "Kau jujur."
"Tentu saja saya jujur! Dan apa maksudnya dengan monster dan blasteran? Apa itu kata-kata bersandi atau semacamnya?"
Hedge menyipitkan mata. Sebagian diri Jason bertanya-tanya apakah laki-laki itu sinting. Tapi sebagian lainnya tahu laki-laki itu tidak sinting.
"Dengar, Bocah," kata Hedge, "aku tak tahu siapa kau. Aku Cuma tahu kau ini apa, dan itu artinya masalah. Sekarang aku harus melindungi kalian bertiga alih-alih hanya dua. Kaulah paket khusus itu?
Begitukah?"
"Apa yang Bapak bicarakan?"
Hedge memandangi awan badai. Awan-awan tersebut menjadi kian tebal dan kian gelap, melayanglayang tepat di atas titian.
"Pagi ini," kata Hedge, "aku mendapat pesan dari perkemahan. Mereka bilang tim penjemput sedang dalam perjalanan. Mereka akan datang untuk mengambil paket khusus, tapi mereka tidak mau memberiku rinciannya. Kukatakan kepada diriku sendiri, Ya Sudah. Dua orang yang sedang kuawasi lumayan kuat, lebih tua daripada sebagian anak yang pernah kulindungi. Aku tahu mereka sedang dibuntuti. Aku bisa membaui monster dalam kelompok ini. Kukira itulah sebabnya perkemahan tiba-tiba panik, ingin segera menjemput mereka. Tapi kemudian kau muncul entah dari mana. Jadi, kaukah paket khusus itu?"
Rasa nyeri di belakang kepala Jason jadi lebih parah daripada sebelumnya. Blasteran. Perkemahan. Monster. Dia masih tak paham apa yang dibicarakan Hedge, namun kata-kata itu serasa membekukan otaknya—seakan benaknya tengah mencoba mengakses informasi yang seharusnya ada di sana namun tak ada.
Jason terhuyung-huyung, dan Pak Pelatih Hedge menangkapnya. Untuk ukuran laki-laki pendek, sang pelatih memiliki cengkraman sekuat baja. "Waduh, hati-hati, Bocah Lembek. Kaubilang kau tak ingat apa-apa, ya? Ya sudah. Sepertinya aku harus mengawasimu juga, sampai tim penjemput tiba di sini. Kita biarkan saja sang direktur yang mencari tahu ada apa sebenarnya."
"Direktur apa?" ujar Jason. "Perkemahan apa?"
"Diam saja di sini. Bala bantuan seharusnya tiba di sini sebentar lagi. Mudah-mudahan tak ada yang terjadi sebelum—"
Petir meretih di angkasa. Angin kencang kian menjadi. Lembar kerja beterbangan ke Grand Canyon, dan seluruh jembatan berguncang-guncang. Anak-anak menjerit, terjerembap, dan mencengkeram pagar.
"Aku harus mengatakan sesuatu," gerutu Hedge. Dia meraung ke megafonnya: "Semuanya masuk! Sapi bilang moo! Menyingkir dari titian!"
"Kata Bapak benda ini stabil!" teriak Jason melampaui angin.
"Pada kondisi normal," Hedge sepakat, "sedangkan ini bukan kondisi normal. Ayo!"