Chapter 6 - Bab 4 Piper (2)

Di halaman tengah, sekelompok pekemah sedang bermain basket. Mereka jago sekali menembak. Tak ada yang terpantul dari tepi keranjang. Tembakan tiga angka langsung masuk.

"Pondok Apollo," Annabeth menjelaskan. "Sekumpulan tukang pamer yang memakai apa pun yang bisa ditembakkan sebagai senjata—panah, bola basket."

Mereka berjalan melewati perapian sentral. Di sanadua cowok saling menebas dengan pedang.

"Senjata tajam sungguhan?" komentar Piper. "Bukankah itu berbahaya?"

"Memang begitulah intinya," ujar Annabeth. "Uh, sori. Tidak lucu, ya?! Di sana pondokku. Nomor enam." Dia mengangguk ke arah bangunan abu-abu dengan ukiran burung hantu di atas pintu. Lewat ambang

pintu yang terbuka, Piper dapat melihat rak-rak buku, senjata-senjata yang dipajang, dan papan tulis interaktif yang biasanya terdapat di ruang kelas. Dua cewek sedang menggambar peta yang

kelihatannya merupakan diagram pertempuran.

"Omong-omong soal senjata tajam," kata Annabeth, "sini."

Dia menuntun Piper mengitari pondok hingga ke samping, ke sebuah gudang logam besar yang kelihatannya digunakan untuk menyimpan peralatan berkebun. Annabeth membuka kunci gudang

tersebut, dan yang berada di dalamnya ternyata bukan peralatan berkebun, kecuali kita ingin berperang melawan tanaman tomat. Di dalam gudang itu, berjajar segala jenis senjata—mulai dari pedang hingga tombak sampai pentungan seperti yang dipakai Pak Pelatih Hedge.

"Tiap demigod butuh senjata," kata Annabeth. "Hephaestus membuat senjata terbaik, tapi kami punya koleksi yang lumayan bagus juga. Yang paling penting bagi Athena adalah strategi—mencocokkan senjata dengan penggunanya. Mari kita lihat ..."

Piper sedang tidak bersemangat untuk melihat benda-benada mematikan itu, tapi dia tahu Annabeth sedang berusaha bersikap ramah padanya.

Annabeth menyerahkan sebilah pedang besar, yang nyaris tak sanggup diangkat Piper.

"Bukan," kata mereka berdua serempak.

Annabeth mencari-cari lebih jauh lagi ke dalam gudang dan mengeluarkan senjata lain.

"Senapan?" tanya Piper.

"Mossberg 500." Annabeth memeriksa kokangnya seolah itu bukan masalah besar. "Jangan cemas. Senjata ini tidak melukai manusia. Senapan ini sudah dimodifikasi untuk menembakkan perunggu langit, jadi hanya monster yang bisa dibunuhnya."

"Anu, menurutku itu tak sesuai dengan gayaku," ujar Piper.

"Mmm, iya ya," Annabeth setuju. "Terlalu mencolok."

Annabeth mengembalikan senapan tersebut dan mulai mengacak-acak rak berisi busur pendek ketika mata Piper menangkap sesuatu di pojok gudang.

"Apa itu?" katanya. "Pisau?"

Anabeth mengambilnya dan meniup debu dari sarung pisau tersebut. Kelihatannya pisau tersebut sudah berabad-abad tidak terkena sinar matahari.

"Entahlah, Piper." Annabeth terdengar resah. "Menurutku kau takkan menginginkan yang satu ini, pedang biasanya lebih baik."

"Kau sendiri memakai pisau." Piper menunjuk pisau yang diikat ke sabuk Annabeth.

"Iya, tapi ..." Annabeth mengangkat bahu. "Yah, periksalah kalau kau mau."

Sarung pisau terbuat dari kulit yang sudah usang, dianyam dengan perunggu. Tidak keren, tidak mewah. Gagangnya, yang terbuat dari kayu yang diampelas halus, pas sekali di tangan Piper. Ketika Piper mencabut senjata tersebut, dia mendapati bilah segitiga panjang delapan belas inci—terbuat dari perunggu mengilap seolah baru dipoles kemarin. Ujungnya amat tajam. Pantulan dirinya di bilah belati tersebut membuat Piper kaget. Dia terlihat lebih tua, lebih serius, tidak setakut yang dia rasakan.

"Cocok untukmu," Annabeth mengakui. "Senjata tajam seperti itu disebut parazonium. Biasanya digunakan dalam upacara resmi, disandang oleh perwira berpangkat tinggi di ketentaraan Yunani. Senjata tersebut menunjukkan bahwa kita adalah orang kaya dan berkuasa, tapi dalam pertarungan, senjata tersebut dapat dipakai untuk melindungi diri kita."

"Aku menyukainya," kata Piper. "Kenapa tadi menurutmu tidak bagus."

Annabeth menghembuskan napas. "Senjata itu punya sejarah panjang, sebagian besar orang takut untuk memilikinya. Pemilik pertamanya ... yah, keadaan tak berjalan lancar baginya. Namanya Helen."

Piper membiarkan informasi tersebut terserap oleh otaknya. "Tunggu, maksudmu Helen yang itu? Helen dari Troya?"

Annabeth mengangguk.

Mendadak Piper merasa dia semestinya memegang belati tersebut dengan sarung tangan operasi. "Dan senjata ini cuma kebetulan saja nagkring di gudang perkakas kalian?"

"Banyak barang peninggalan Yunani Kuno di sini," kata Annabeth. "Ini bukan museum. Senjata seperti itu—dibuat untuk dipergunakan. Itulah warisan kita sebagai demigod. Itu adalah hadiah pernikahan dari Menelaus, suami pertama Helen. Helen menamai belati itu Katoptris."

"Artinya?"

"Kaca," ujar Annabeth. "Cermin. Barangkali karena Helen hanya bisa menggunakan senjata itu sebagai cermin. Kurasa senjata tersebut bahkan tak pernah dibawa ke pertempuran."

Piper melihat belati itu lagi. Selama sesaat, bayangannya sendiri menatapnya, namun kemudian pantulan tersebut berubah. Dia menyaksikan nyala api, dan wajah mengerikan yang terukir di dinding

tebing. Dia mendengar tawa yang sama seperti di mimpinya. Dia melihat ayahnya dirantai, diikat ke sebuah pasak di depan api unggun yang menjilat-jilat.

Piper menjatuhkan senjata tersebut.

"Piper?" Annabeth berteriak kepada anak-anak Apollo di lapangan, "P3K! Aku butuh pertolongan!"

"Tidak, aku—aku tak apa-apa," Piper berhasil mengeluarkan suara.

"Kau yakin?"

"Iya. Aku cuma ..." Dia harus mengendalikan diri. Dengan jemari gemetaran, Piper memungut belati tersebut. "Mungkin aku kelewat lelah. Begitu banyak yang terjadi hari ini. Tapi ... aku ingin menyimpan belati ini, kalau boleh."

Annabeth ragu-ragu. Lalu dia melambai kepada anak-anak Apollo. "Oke, kalau kau yakin. Wajahmu pucat sekali tadi. Kukira kau akan kejang-kejang atau semacamnya.

"Aku baik-baik saja." Piper bersumpah, meskipun jantungnya masih berdebar-debar. "Apa ada ... mmm, telepon di perkemahan? Bolehkah kutelepon ayahku?"

Mata kelabu Annabeth berkilat hampir sama tajamnya dengan bilah belati Piper. Dia sepertinya sedang memperhitungkan jutaan kemungkinan, berusaha membaca pikiran Piper.

"Kita tak diperbolehkan menggunakan telepon," kata Annabeth. "Sebagian besar demigod, jika mereka menggunakan ponsel, itu sama artinya dengan mengirim sinyal, memberi tahu monster di mana kita berada. Tapi ... aku punya ponsel." Dia mengeluarkan telepon dari sakunya. "Sebenarnya sih melanggar aturan, tapi kalau kita bisa merahasiakannya ... "

Piper menerima ponsel itu dengan penuh rasa syukur, berusaha tak membiarkan tangannya gemetaran. Dia melangkah menjauhi Annabeth dan berbalik untuk menghadap ke halaman utama.

Dia menelepon nomor pribadi ayahnya, walaupun dia tahu apa yang akan terjadi. Pesan suara. Piper sudah mencoba menelepon ayahnya selama tiga hari, sejak dia mendapat mimpi itu. Sekolah Alam Liar hanya mengizinkan murid-murid menelepon sekali sehari, tapi Piper menelepon setiap malam, dan tidak tersambung.

Dengan enggan dia menghubungi nomor yang satu lagi. Asisten pribadi ayahnya seketika menjawab. "Kantor Mr. McLean."

"Jane," kata Piper sambil mengertakkan gigi. "Mana ayahku?"

Jane membisu selama sesaat, barangkali bertanya-tanya apakah dia takkan diomeli meskipun menutup telepon. "Piper, kukira kau tidah boleh menelepon dari sekolah."

"Mungkin aku sedang tidak di sekolah," kata Piper. "Mungkin aku kabur untuk hidup bersama mahkluk￾mahkluk hutan."

"Mmm." Jane tidak terdengar khawatir. "Yah, akan kuberi tahu beliau kau menelepon."

"Di mana dia?"

"Sedang keluar."

"Kau tidak tahu, kan?" Piper merendahkan suaranya, berharap semoga Annabeth bersikap sopan dan tidak menguping. "Kapan kau akan menelepon polisi, Jane? Siapa tahu ayahku sedang berada dalam kesulitan."

"Piper, kita takkan menjadikan ini sebagai buah bibir media. Aku yakin beliau baik-baik saja. Beliau kadang-kadang memang suka menghilang. Tapi beliau selalu kembali."

"Jadi benar. Kau tidak tahu—"

"Aku harus pergi, Piper," sergah Jane. "Nikmati sekolahmu."

Sambungan teleponnya putus. Piper mengumpat. Dia berjalan kembali ke Annabeth dan menyerahkan ponselnya.

"Belum beruntung?" tanya Annabeth.

Piper tak menjawab. Dia tidak yakin dirinya takkan mulai menangis lagi.

Annabeth melirik layar telepon dan ragu-ragu. "Nama belakangmu McLean? Sori, bukan urusanku. Tapi nama itu kedengarannya tak asing."

"Banyak yang punya nama itu."

"Iya, kurasa begitu. Apa pekerjaan ayahmu?"

"Dia punya gelar di bidang seni," kata Piper otomatis. "Dia seorang seniman Cherokee."

Jawaban standarnya. Bukan dusta, juga bukan kebenaran seutuhnya. Sebagian besar orang, ketika mereka mendengar itu, menduga bahwa ayah Piper menjual cendera mata Indian di kios kaki lima penampungan. Boneka Sitting Berpegas, kalung manik-manik, sabak Kepala Suku—benda semacam itu.

"Oh." Annabeth tidak terlihat yakin, tapi dia menyimpan teleponnya. "Kau baik-baik saja? Mau meneruskan?"

Piper mengikat belati barunya ke sabuk dan berjanji kepada dirinya sendiri bahwa nanti, ketika dia sendirian, dia akan mencari tahu cara kerja belati tersebut. "Tentu saja," katanya. "Aku ingin melihat

semuanya."