Chapter 5 - Bab 4 Piper

PIPER LANGSUNG MENYADARI BAHWA HATI Annabeth tak dicurahkan sepenuhnya ke acara tur itu.

Annabeth menceritakan segala macam hal menakjubkan yang ada di perkemahan itu—panahan magis, menunggang pegasus, tembok lava, pertarungan melawan monster—tapi dia tidak menunjukkan antusiasme, seolah pikirannya sedang tertuju ke tempat lain. Dia menunjukan paviliun terbuka yang berfungsi sebagai aula makan, menghadap ke Selat Long Island. (Benar, Long Island, New York; mereka berpergian sejauh itu) Annabeth menjelaskan bahwa Perkemahan Blasteran hampir sama dengan perkemahan musim panas lain, namun sebagian anak di sini tinggal setahun penuh, dan pekemah sudah bertambah sedemikian banyak sehingga tempat tersebut kini selalu penuh pada musim dingin sekalipun.

Piper bertanya-tanya siapa yang mengelola perkemahan itu, dan bagaimana mereka tahu bahwa Piper dan kawan -kawannya sudah seharusnya berada di sini. Dia bertanya-tanya apakah dia harus tinggal di sana purnawaktu, atau akankah dirinya mahir menjalani berbagai aktivitas tersebut. Adakah monster yang namanya "tidak lulus" dalam pertarungan melawan monster? Jutaan pertanyaan menggelegak

dalam kepalanya, namun mengingat suasa hati Annabeth, Piper memutuskan untuk diam saja. Saat mereka naik ke bukit di tepi perkemahan, Piper menoleh dan menyaksikan pemandangan lembah

yang mengagumkan—bentangan besar hutan di barat laut, pantai indah, sungai kecil, danau kano, ladang hijau subur, serta kompleks yang tediri dari pondok-pondok—kumpulan bangunan ganjil yang ditata membentuk huruf omega Yunani, Ω; terdapat pondok-pondok yang meliuk di sekeliling halaman sentral serta dua sayap bangunan yang mencuat di ujung kiri serta kanan halaman tersebut. Piper menghitung totalnya ada dua puluh pondok. Satu berkilau keemasan, satu lagi perak. Satu berumput di atas atap. Ada yang berwarna merah terang dengan parit yang dikelilingi kawat berduri. Satu pondok berwarna hitam dengan obor-obor berapi hijau di depannya.

Semua itu berbeda sekali dengan perbukitan dan ladang bersalju di luar, seolah perkemahan itu terletak di dunia lain.

"Lembah ini terlindung dari mata manusia fana," kata Annabeth. "Seperti yang bisa kaulihat, cuacanya dikendalikan juga. Tiap pondok mewakili satu dewa Yunani—tempat untuk ditinggali anak-anak dewa itu."

Annabeth memandang Piper seakan sedang berusaha menilai bagaimana Piper menyikapai berita tersebut.

"Maksudmu ibuku dewi."

Annabeth mengangguk. "Kau menanggapi ini dengan sangat tenang."

Piper tidak bisa memberitahu Annabeth apa sebabnya. Dia tak bisa mengakui bahwa ini semata-mata mengonfirmasi firasat aneh yang telah dirasakannya selama bertahun-tahun, pertengkarannya dengan

ayahnya mengenai apa sebabnya tak ada foto ibu di rumah, dan apa sebabnya Ayah tak pernah memberitahu Piper mengapa ibunya meninggalkan mereka. Tapi terutama, mimpi tersebut telah mengingatkan Piper akan kejadian ini. "Mereka akan segera menemukanmu, Demigod", begitulah gemuruh suara itu. "Ketika mereka sudah menemukanmu, ikuti petunjuk kami. Bekerjasamalah dan ayahmu mungkin akan hidup".

Piper menarik napas lemah. "Kurasa setelah peristiwa pagi ini, agak lebih mudah untuk mempercayai semua ini. Jadi, siapa ibuku?"

"Kita seharusnya akan segera tahu," kata Annabeth. "Umurmu berapa—lima belas? Dewa-dewi seharusnya sudah mengakui kita ketika umur kita menginjak tiga belas tahun. Begitu kesepakatannya."

"Kesepakatan?"

"Mereka berjanji musim panas lalu ... yah, ceritanya panjang ... tapi mereka berjanji takkan mengabaikan anak demigod mereka lagi, akan mengakui anak-anak itu ketika mereka menginjak tiga belas. Kadang -kadang butuh waktu agak lama, tapi kau lihat betapa cepatnya Leo diklaim begitu dia tiba di sini. Semestinya itu segera terjadi juga padamu. Malam ini waktu acara api unggun, aku bertaruh kita

bakal memperoleh pertanda."

Piper bertanya-tanya apakah bakal ada palu besar membara di atas kepalanya ataukah, mengingat nasibnya yang sial, sesuatu yang bahkan lebih memalukan. Wombat membara, barangkali. Siapa pun

ibunya, Piper tak punya alasan untuk berpikir bahwa ibunya akan bangga mengakui anak perempuan kleptomaniac yang punya masalah besar. "Kenapa tiga belas tahun?"

"Semakin kita besar," kata Annabeth, "semakin banyak monster yang menyadari keberadaan kita dan berusaha untuk membunuh kita. Upaya pembunuhan tersebut biasanya bermula saat usia kita kira-kira tiga belas. Itulah sebabnya kami mengutus pelindung ke sekolah-sekolah untuk menemukan kalian, untuk memasukkan kalian ke perkemahan sebelum terlambat."

"Seperti Pak Pelatih Hedge?"

Annabeth mengangguk. "Dia—dia seorang satir: setengah manusia setangah kambing. Satir bekerja untuk perkemahan, mencari para demigod, melindungi mereka, membawa mereka ke sini ketika waktunya tepat."

Piper tidak kesullitan memercayai bahwa Pak Pelatih Hedge ternyata separuh kambing. Dia pernah melihat laki-laki itu makan. Piper tak pernah terlalu menyukai sang pelatih, namun dia tak percaya satir

tersebut telah mengorbankan diri demi menyelamatkan mereka.

"Apa yang terjadi padanya?" tanya Piper. "Waktu kita naik ke awan-awan, apakah dia ... apakah dia benar-benar sudah tiada?"

"Entahlah." Ekspresi Annabeth tampak pedih. "Roh-roh badai ... sulit dilawan. Senjata terbaik kami sekali pun, Perunggu Langit, akan menembus tubuh mereka kecuali kita bisa mengejutkan mereka."

"Pedang Jason bisa mengubah mereka jadi debu," Piper mengingat.

"Dia beruntung, kalau begitu. Jika kita berhasil menebas monster, kita bisa membuyarkan jasad mereka, mengirim intisari mereka kembali ke Tartarus."

"Tartarus?"

"Palung besar di Dunia Bawah, tempat asal monster. Seperti lubang kejahatan tak berdasar. Pokoknya, begitu para monster terbuyarkan, biasanya perlu waktu berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun

sebelum mereka dapat mewujud lagi. Tapi karena Dylan si roh badai ini lolos—yah, aku tak tahu apa dia punya alasan untuk menculik Hedge hidup-hidup. Tapi, Hedge seorang pelindung. Dia tahu resikonya.

Satir tidak memilik jiwa yang fana. Dia akan bereinkarnasi sebagai pohon atau bunga atau semacamnya".

Piper mencoba membayangkan Pak Pelatih Hedge sebagai setangkai bunga pansy yang sangat pemarah. Itu membuat perasaannya semakin buruk.

Piper menatap pondok-pomdok di bawah, dan hatinya mencelus. Hedge telah meninggal supaya Piper bisa tiba di sini dengan selamat. Pondok ibunya ada di bawah sana, yang berarti Piper punya saudara￾saudara lelaki dan perempuan, semakin banyak lagi yang harus dikhianatinya. "Lakukankah yang kami

perintahku kepadamu", kata suara itu. "Jika tidak, konsekuensinya akan menyakitkan". Piper bersedekap, supaya tangannya tidak gemetaran.

"Semuanya akan baik-baik saja," Annabeth berjanji. "Kau punya teman di sini. Kami semua sudah melewati banyak kejadian aneh. Kami tahu apa yang kaualami."

Aku meragukannya, pikir Piper.

"Aku sudah dikeluarkan dari lima sekolah berbeda selama lima tahun terakhir," kata Piper. "Ayahku sudah kehabisan tenaga untuk menyekolahkanku."

"Cuma lima?" Annabeth kedengarannya tidak bemaksud berolok-olok. "Piper, kami semua pernah dilabeli sebagai tukang bikin onar. Aku kabur dari rumah waktu umurku tujuh."

"Serius?"

"Oh, iya. Sebagian besar dari kita didiagnosis menderita gangguan pemusat perhatian atau disleksia, atau dua-duanya."

"Leo menderita GPPH," ujar Piper.

"Benar. Itu karena kita diprogram untuk bertarung. Tidak bisa diam, impulsif—kita tidak cocok dengan anak-anak biasa. Kau seharusnya mendengar betapa seringnya Percy terjerumus—" wajah Annabeth

jadi muram. "Intinya, demigod punya reputas jelek. Kau kena masalah karena apa?"

Biasanya, ketika seseorang mengajukan pertanyaan tersebut, Piper mengajak orang itu berkelahi, atau mengubah topik, atau memunculkan semacam pengalih perhatian. Tapi entah karena alasan apa, Piper mendapati dirinya menceritakan yang sesunguhnya.

"Aku mencuri," kata Piper. "Yah, sebenarnya sih bukan mencuri ..."

"Apa keluargamu miskin?"

Piper tertawa getir. "Sama sekali tidak. Aku melakukannya ... aku tak tahu sebabnya. Untuk cari perhatian, kurasa. Ayahku tak pernah punya waktu untukku kecuali jika aku terlibat masalah."

Annabeth mengangguk. "Aku bisa mengerti. Tapi kaubilang kau sebenarnya tidak mencuri? Apa maksudmu?"

"Yah ... tak pernah ada yang percaya padaku. Polisi, guru—bahkan orang-orang yang barangnya kuambil: mereka malu sekali, karenanya mereka menyangkal apa yang terjadi. Tapi sebenarnya, aku tidak

mencuri apa-apa. Aku Cuma meminta barang-barang tersebut dari mereka. Dan mereka memberiku barang-barang yang kuminta. BMW konvertibel sekali pun. Aku minta saja. Dan si dealer bilang, 'Tentu.

Bawa saja.' Belakangan, mungkin dia baru menyadari perbuatannya. Kemudian polisi datang mengejarku."

Piper menunggu. Dia terbisa dipanggil pembohong, tapi ketika mendongak, Annabeth hanya mengangguk.

"Menarik. Seandainya ayahmulah yang dewa, akan kutebak bahwa kau adalah anak Hermes, Dewa Pencuri. Hermes bisa bersikap cukup meyakinkan. Tapi ayahmu manusia fana ..."

"Seratus persen," Piper sepakat.

Annabeth menggeleng-gelengkan kepala, tampaknya kebingungan. "Kalau begitu, aku tak tahu. Mudah￾mudahan ibumu mengakuimu malam ini."

Piper hampir berharap itu takkan terjadi. Jika ibu Piper memang dewi, akankah dia tahu mimpi itu? Akankah dia tahu Piper disuruh melakukan apa? Piper bertanya -tanya apakah dewa-dewi Olympia pernah menyambar anak-anak mereka dengan petir karena bertindak jahat, atau menghukum mereka di Dunia Bawah.

Annabeth memperhatikannya. Piper memutuskan dia harus berhati-hati dengan perkataannya mulai saat ini. Annabeth jelas-jelas pintar. Kalau sampai ada yang mengetahui rahasia Piper ...

"Ayo," Annabeth akhirnya berkata. "Ada hal lain yang harus kuperiksa."

Mereka mendaki lebih jauh lahi hingga mereka sampai di sebuah gua dekat puncak bukit. Tulang dan pedang tua bertebaran di tanah. Obor mengapit jalan masuknya, yang ditutupi beledu ungu dengan bordiran ular di tengahnya. Gua tersebut menyerupai set panggung untuk pertunjukan boneka sinting.

"Ada apa di dalam sana?" tanya Piper.

Annabeth menyembulkan kepalanya ke dalam, lalu mendesak dan menutup tirai. "Saat ini, tidak ada apa-apa. Tempat tinggal seorang teman. Aku sudah beberapa hari menunggu-nunggu dia, tapi sejauh ini, belum ada kabar."

"Temanmu tinggal di dalam gua?"

Annabeth hampir tersenyum. "Sebenarnya, keluarganya punnya kondominium mewah di Queens, dan dia belajar di sekolah berasrama khusus perempuan di Connecticut. Tapi waktu dia ada di perkemahan sini, iya, dia tinggal dalam gua. Dia Oracle kami, menerawang masa depan. Kuharap dia bisa membantuku—"

"Menemukan Percy," tebak Piper.

Semua energi terkuras habis dari diri Annabeth, seolah selama ini dia telah menahannya selama yang dia sanggup. Annabeth duduk di batu, dan ekspresinya begitu pedih sampai-sampai Piper merasa bagaikan tukang intip.

Piper memaksa dirinya berpaling. Matanya melayang ke punggung bukit, di mana sebatang pohon pinus mendominasi pemandangan di sana. Sesuatu berkilau di dahannya yang paling rendah—seperti keset kamar mandi keemasan yang berbulu.

Tidak ... bukan keset kamar mandi. Itu bulu domba.

Oke, pikir Piper. Perkemahan Yunani.

Mereka punya replika Bulu Domba Emas.

Lalu Piper memperhatikan pangkal pohon. Pada mulanya dia mengira pangkal pohon tersebut dibalut kumparan kabel ungu besar. Namun kabel itu memiliki sisik seperti reptil, kaki-kaki bercakar, dan kepala mirip ular dengan mata kuning serta lubang hidung berasap.

"Itu—naga," Piper terbata. "Itu Bulu Domba Emas asli?"

Annabeth mengangguk, namun jelas bahwa dia tak sungguh-sungguh mendengarkan. Bahunya merosot. Dia menggosok wajah dan menarik napas lemah. "Sori. Aku agak capek."

"Kau kelihatannya hampir teler," kata Piper. "Sudah berapa lama kau mencari pacarmu?"

"Tiga hari, enam jam, dan kira-kira dua belas menit."

"Dan kau sama sekali tidak punya dugaan apa yang terjadi padanya?"

Annabeth menggelengkan kepala dengan merana. "Kami begitu antusias karena liburan musim musim dingin kami berdua dimulai lebih awal. Kami bertemu di perkemahan hari Selasa, mengira bahwa kami punya tiga minggu untuk bersama -sama. Liburan ini bakalan luar biasa. Lalu sesudah api unggun, dia—dia menciumku untuk mengucapkan selamat malam, kembali ke pondoknya, dan keesokan paginya dia lenyap. Kami mencari-cari ke seluruh perkemahan. Kami mengontak ibunya. Kami mencoba menghubunginya dengan segala macam cara yang kami tahu. Hasilnya nihil. Dia menghilang begitu saja."

Piper berpikir: Tiga hari yang lalu. Malam yang sama ketika dia bermimpi. "Sudah berapa lama kalian jadian?"

"Sejak Agustus," kata Annabeth. "Delapan belas Agustus."

"Hampir bersamaan dengan pertama kalinya aku bertemu Jason," kata Piper. "Tapi kami baru jadian beberapa bulan."

Annabeth berjengit. "Piper ... soal itu. mungkin kau sebaiknya duduk."

Piper tahu percakapan ini akan mengarah ke mana. Rasa panik mulai membuncah di dalam dirinya, seakan paru-parunya dipenuhi air. "Dengar, aku tahu Jason mengira—dia mengira dia baru saja muncul di sekolah kami hari ini. Tapi itu tidak benar. Aku sudah mengenalnya berbulan-bulan."

"Piper," kata Annabeth. "Itu karena kabut."

"Kabut ... apa?"

"K-a-b-u-t. Itu semacam tabir yang memisahkan dunia manusia fana dengan dunia magis. Pikiran manusia fana tidak bisa memproses hal-hal aneh seperti dewa-dewi dan monster, jadi Kabut membengkokkan realitas. Kabut membuat manusia fana melihat semua itu dengan cara yang bisa mereka pahami misalnya mata mereka mungkin luput melihat keseluruhan lembah ini, atau mereka

mungkin saja memandang naga itu dan justru melihat gulungan kabel."

Piper menelan ludah. "Tidak. Kaubilang sendiri aku bukan manusia fana. Aku demigod."

"Demigod sekalipun bisa terpengaruh. Aku sudah menyaksikannya berkali-kali. Monster menginfiltrasi tempat-tempat seperti sekolah, menyamar sebagai manusia, dan semua orang mengira mereka ingat orang itu. Mereka percaya dia sudah berada di sana sejak awal. Kabut bisa mengubah ingatan, bahkan menciptakan ingatan mengenai hal-hal yang tak pernah terjadi—"

"Tapi Jason bukan monster!" Piper berkeras. "Dia manusia, atau demigod, atau terserah kau mau menyebutnya apa. Ingatanku tidak palsu. Ingatanku benar -benar nyata. Kejadian waktu kami

menyulutkan api ke celana Pak Pelati Hedge. Kejadian waktu Jason dan aku menonton hujan meteor di atap asrama dan aku akhirnya berhasil membuat cowok bodoh itu menciumku ..."

Piper mendapati dirinya mengoceh, menceritakan pengalamannya satu semester penuh di Sekolah Alam Liar kepada Annabeth, Piper menyukai Jason sejak pekan pertama mereka berjumpa. Jason begitu baik pada Piper, dan begitu sabar, sampai-sampai dia sanggup menghadapi Leo yang hiperaktif dan semua lelucon-leluconnya yang bodoh. Jason menerima Piper apa adanya dan tidak menghakiminya karena perbuatan -perbuatan bodoh yang pernah dilakukannya. Mereka menghabiskan berjam-jam untuk mengobrol, memandangi bintang, dan belakangan—akhirnya bergandengan tangan. Tak mungkin semua itu palsu.

Annabeth merapatkan bibir. "Piper, ingatanmu lebih tajam daripada sebagian besar orang. Akan kuakui itu, dan aku tak tahu apa sebabnya. Tapi jika kau mengenal Jason sebaik itu—"

"Memang!"

"Kalau begitu, dari mana asalnya?"

Piper merasa seperti ditinju. "Dia pasti pernah memberitahuku, tapi—"

"Apakah kau pernah menyadari bahwa dia punya tato sebelum hari ini? Apa dia pernah bercerita padamu tentang orangtuanya, atau temannya, atau sekolahnya yang terakhir?"

"Aku—aku tidak tahu, tapi—"

"Piper, apa nama belakang Jason?"

Pikiran Piper kosong melompong. Dia tidak tahu nama belakang Jason. Bagaimana mungkin?

Piper mulai menangis. Dia merasa seperti orang bodoh, tapi dia duduk saja di batu di sebelah Annabeth dan tersedu sejadi-jadinya. Ini keterlaluan. Apakah semua yang indah dalam kehidupannya yang payah dan menyedihkan harus direnggut?

Ya, kata mimpi itu padanya. Ya, kecuali kau menuruti perintah kami.

"Hei," kata Annabeth. "Semuanya pasti akan baik-baik saja. Jason di sini sekarang. Siapa tahu? Mungkin kalian berdua bakal pacaran betulan."

Kemungkinan besar tidak, pikir Piper. Tidak jika mimpi itu menyampaikan yang sesungguhnya kepada Piper. Tapi dia tidak bisa mengatakan itu.

Piper menghapus air mata dari pipinya. "Kau membawaku ke atas sini supaya tak seorang pun bakal melihatku mewek, ya?"

Annabeth mengangkat bahu. "Kurasa pasti bakal sulit buatmu. Aku tahu bagaimana rasanya kehilangan pacar."

"Tapi aku masih tak percaya ... aku tahu kami punya hubungan. Dan kini hubungan tersebut lenyap begitu saja. Jason bahkan tak mengenalku. Jika dia benar-benar baru muncul hari ini, kok bisa? Apa sebabnya? Kenapa dia tak ingat apa-apa?"

"Pertanyaan bagus," kata Annabeth. "Mudah-mudahan Pak Chiron dapat menemukan jawabannya. Tapi untuk saai itu, kau harus istirahat. Kau sudah siap turun?"

Piper menatap kumpulan pondok janggal di dasar lembah. Rumah barunya, keluarga yang semestinya memahami dirinya—tapi sebentar lagi mereka hanya akan jadi sekelompok orang yang Piper kecewakan,

satu tempat lagi yang akan mengusir Piper. "Kau akan mengkhianati mereka untuk kami", suara tersebut telah memperingatkan. "Jika tidak, kau akan kehilangan segalanya". Piper tidak punya pilihan.

"Ya," dia berbohong. "Aku sudah siap."