AWAN BADAI TERPUNTIR MENJADI ANGIN topan mini. Angin puting beliung mengular ke arah titian bagaikan tentakel monster ubur-ubur.
Anak-anak menjerit dan lari ke dalam museum. Angin merampas buku catatan, jaket, topi, dan ransel mereka. Jason meluncur menyeberangi lantai titian yang licin.
Leo kehilangan keseimbangan dan hampir terjungkal dari pagar, namun Jason menyambar jaketnya dan menariknya ke belakang.
"Makasih, Bung!" teriak Leo.
"Ayo, ayo, ayo!" kata Pak Pelatih Hedge.
Piper dan Dylan memegangi pintu agar tetap terbuka, menggiring anak-anak lain ke dalam. Jaket snowboarding Piper mengepak-ngepak liar, rambut gelapnya berantakan menutupi wajahnya. Jason menduga Piper kedinginan, namun gads itu terlihat tenang dan percaya diri—memberi tahu yang lain bahwa semuanya akan baik-baik saja, menyemangati mereka agar terus bergerak.
Jason, Leo, dan Pak Pelatih Hedge lari ke arah mereka, tapi rasanya seperti berlari di pasir asap. Angin seolah menghadang mereka, mendorong mereka ke belakang.
Dylan dan Piper mendorong seorang anak lagi ke dalam, lalu kehilangan pegangan mereka pada pintu. Pintu terbanting hingga tertutup, menjebak mereka ke titian.
Piper menarik-narik gagang pintu. Di dalam, anak-anak menggedor-gedor kaca, tapi pintu sepertinya tersangkut.
"Dylan, tolong!" teriak Piper.
Dylan cuma berdiri di sana sambil nyengir bodoh, seragam Cowboy-nya bergelombang ditiup angin, seakan dia mendadak menikmati badai tersebut.
"Maaf, Piper," kata Dylan. "Sampai di sini saja aku menolong."
Dylan menyentakkan pergelangan tangan, dan Piper pun terbang ke belakang, menghantam pintu dan meluncur di titian.
"Piper!" Jason berusaha menerjang maju, tapi angin menghalanginya. Pak Pelatih Hedge mendorong Jason ke belakang.
"Pak Pelatih," kata Jason. "Lepaskan saya!"
"Jason, Leo, tetaplah di belakangku," perintah sang Pelatih. "Ini pertarungan. Aku seharusnya tahu itulah monster kita."
"Apa?" tuntut Leo. Lembar kerja yang nyasar menampar wajahnya, namun Leo menarik kertas itu dengan telapak tangannya. "Monster apa?"
Topi sang pelatih tertiup, dan di atas rambut keritingnya mencuatlah dua benjolan—seperti tonjolan yang didapat tokoh kartun ketika kepala mereka terbentur. Pak Pelatih Hedge mengangkat tongkat bisbolnya—tapi benda itu bukan lagi tongkat biasa. Entah bagaimana tongkat tersebut telah berubah menjadi pentungan kasar dari dahan pohon yang masih ada ranting serta daunnya.
Dylan memberi senyum psikopat girang. "Oh, ayolah, Pak Pelatih. Biarkan bocah itu menyerangku! Bagaimanapun, kau sudah terlalu tua untuk ini. Bukankah itu sebabnya mereka memensiunkanmu ke sekolah tolol ini? Aku sudah berada dalam timmu sepanjang musim ini, dan kau bahkan tidak tahu. Kau sudah kehilangan kecermatanmu, Kakek."
Sang pelatih mengeluarkan suara marah yang menyerupai embikan hewan. "Sudah cukup, Bocah Lembek. Kau bakalan takluk."
"Menurutmu kau bisa melindungi tiga blasteran sekaligus, Pria Tua?" tawa Dylan. "Semoga beruntung."
Dylan menunjuk Leo, dan angin puting beliung pun mewujud di sekelilingnya. Leo terbang ke titian seperti dilempar. Entah bagaimana, Leo berhasil meliukkan tubuh di udara, dan menghantam dinding ngarai secara menyamping. Dia meluncur, mencakar habis-habisan untuk mencari pegangan. Akhirnya dia mencengkeram tubir sempit yang terletak kira-kira lima belas meter di bawah titian dan bergantung di sana dengan ujung-ujung jarinya.
"Tolong!" Leo berteriak kepada Jason dan Pak Pelatih Hedge. "Tolong lemparkan tali tambang! Tali bungee! Apa saja!"
Pak Pelatih Hedge mengumpat dan melemparkan pentungnya kepada Jason. "Aku tidak tahu siapa kau, Bocah, tapi kuharap kau jago. Sibukkan mahluk itu"—dia menghunjamkan jempol ke arah Dylan—"selagi aku menyelamatkan Leo."
"Menyelamatkan dia bagaimana?" tuntut Jason. "Bapak mau terbang?"
"Bukan terbang. Panjat." Hedgen menendang sepatunya hingga lepas, dan Jason hampir saja kena serangan jantung koroner. Sang pelatih tak memiliki telapak kaki manusia. Dia memiliki kuku belah— kuku belah layaknya kambing. Artinya, yang di kepalanya itu, Jason menyadari, bukanlah benjolan. Itu tanduk.
"Bapak seorang faun," kata Jason.
"Satir!" bentak Hedge. "Faun itu mahluk Romawi. Tapi akan kita bicarakan itu nanti."
Hedge meloncati pagar. Dia melompat ke arah dinding ngarai dan mendarat dengan kuku belah terlebih dahulu. Disusurinya tebing dengan kelincahan yang mencengangkan, menemukan pijakan yang tak lebih besar dari prangko, menghindari angin ribut yang berusaha menyerangnya selagi dia berjuang untuk menghampiri Leo.
"Manisnya!" Dylan menoleh untuk menghadap Jason. "Sekarang giliranmu, Bocah."
Jason melemparkan pentungan. Sepertinya ini tindakan sia-sia karena angin kencang sekali, namun pentungan itu terbang tepat ke arah Dylan, bahkan menukik ketika dia berusaha mengelak dan menghajar kepalanya sedemikian keras sampai-sampai dia jatuh berlutut.
Piper juga tidak selinglung kelihatannya. Jemarinya dikatupkan ke pentungan ketika benda tersebut menggelincir ke sampingnya, tapi sebelum cewek itu sempat menggunakan pentungan itu, Dylan berdiri. Darah—darah keemasan—mengucur dari dahinya.
"Usaha yang bagus, Bocah." Dia memelototi Jason. "Tapi kau harus berusaha lebih keras."
Titian berguncang. Retakan halus muncul di lantainya yang terbuat dari kaca. Di dalam museum, anakanak berhenti menggedor pintu. Mereka mundur, memperhatikan dengan ngeri.
Tubuh Dylan terurai menjadi asap, seolah-olah molekul-molekulnya tengah tercerai berai. Wajahnya masih sama, senyum putih cemerlangnya masih sama, namun seluruh sosoknya mendadak tersusun oleh uap hitam yang berputar-putar, matanya bagaikan percikan listrik ditengah-tengah awan badai hidup. Dia mencuatkan sayap hitam setipis asap dan menjulang di atas titian. Seandainya ada malaikat yang jahat, Jason memutuskan,wajahnya pasti persis seperti ini.
"Kau adalah ventus," kata Jason, kendati dia sama sekali tak tahu bagaimana dia bisa mengetahui kata itu. "Roh badai."
Suara tawa Dylan bagaikan tornado yang memorak-porandakan atap. "Aku senang karena sudah menunggu, Blasteran. Leo dan Piper sudah kukenal berminggu-minggu. Aku bisa saja membunuh mereka kapan saja. Tapi nyonyaku bilang yang ketiga akan datang—seseorang yang istimewa. Beliau akan memberiku hadiah besar apabila kau mati!"
Dua angin puting beliung mendarat di kiri-kanan Dylan dan berubah menjadi ventus—cowok-cowok yang mirip hantu dengan sayap setipis asap serta mata yang berkilat laksana petir.
Piper tetap terkulai, pura-pura linglung, tangannya masih menggenggam pentungan. Wajahnya pucat, namun cewekitu memberi Jason ekspresi penuh tekad, dan Jason memahami pesannya:
Terus alihkan perhatian mereka.
Akan kuhajar mereka dari belakang.
Manis, pandai, dan garang. Jason berharap dia ingat dia punya pacar seperti Piper.
Jason mengepalkan tinju dan bersiap menyerang, tapi dia tidak memperoleh kesempatan itu.
Dylan mengangkat tangan, lengkungan listrik mengalir di antara jari-jarinya, dan menyetrum Jason di bagian dada.
Gedubrak! Jason mendapati dirinya telentang. Mulutnya terasa seperti kertas alumunium yang terbakar. Dia mengangkat kepala dan melihat bahwa pakaiannya berasap. Sambaran petir itu menjalari tubuhnya dan menghantam sepatu kirinya hingga copot. Jari-jari kakinya hitam terkena jelaga.
Para roh badai tertawa. Angin mengamuk. Piper berteriak mengancam, tapi teriakannya terdengar mendenging dan jauh sekali.
Dari ekor matanya, Jason melihat Pak Pelatih Hedge memanjat tebing bersama Leo di punggungnya. Piper sedang berdiri dengan putus asa mengayun-ayunkan pentungan untuk menghalau dua roh badai lainnya, namun mereka kelihatannya cuma mempermainkan cewek itu. Pentungan Piper menembus tubuh mereka seolah mereka tak ada di sana. Dan Dylan, tornado gelap bersayap yang memiliki mata petir, menjulang di atas Jason.
"Stop," kata Jason parau. Dia bangun sambil terhuyung-huyung, dan dia yakin siapa yang lebih kaget: dirinya sendiri atau para roh badai.
"Bagaimana mungkin kau masih hidup?" sosok Dylan berkedip-kedip. "Petir tadi seharusnya cukup untuk membunuh dua puluh orang!"
"Giliranku," ujar Jason.
Dia merogoh saku dan mengeluarkan koin emasnya. Jason membiarkan instingnya mengambil alih, melemparkan koin ke udara seakan dia telah melakukan itu ribuan kali. Dia menangkap koin dalam telapak tangannya, dan tiba-tiba saja dia memegang sebilah pedang—pedang tajam bermata ganda yang tampak seram. Gagangnya yang bergerigi pas sekali dengan jari-jari Jason, dan seluruh benda itu terbuat dari emas—gagangnya, bilahnya.
Dylan menggeram dan mundur. Dia memandang dua rekannya dan berteriak, "Tunggu apa lagi? Bunuh dia!"
Roh-roh badai lainnya tidak tampak senang dengan perintah itu, namun mereka terbang ke arah Jason, jemari mereka berderak dialiri listrik.
Jason menebas roh pertama. Pedangnya melewati tubuh roh badai tersebut, dan sosok berasap makhluk itu pun terbuyarka. Roh kedua melepaskan sambaran petir, namun bilah pedang Jason menyerap aliran listrik tersebut. Jason mendekat—satu hunjaman cepat, dan roh badai kedua pun tercerai berai menjadi serbuk emas.
Dylan melolong murka. Dia memandang ke bawah, seolah-olah berharap rekannya akan mewujud kembali, tapi mereka tetap menjadi serbuk emas dan tersebar ditiup angin. "Mustahil. Kau ini siapa, Blasteran?"
Piper begitu terperanjat sampai-sampai dia menjatuhkan pentungannya. "Jason, bagaimana ... ?"
Lalu, Pak Pelatih Hedge meloncat kembali ke atas titian dan menjatuhkan Leo seperti sekarung tepung.
"Wahai para roh, takutlah padaku!" raung Hedge sambil meregangkan lengan pendeknya. Kemudian dia menengok kesana-kemari dan menyadari bahwa hanya ada Dylan.
"Sialan, Bocah!" dia marah-marah pada Jason. "Tidakkah kau sisakan sebagian untukku? Aku suka tantangan!"
Leo berdiri, bernafas tersenggal-senggal. Dia terlihat malu bukan kepalang, tangannya berdarah karenamencakar-cakar batu. "Hei, Pak Pelatih Kambing Super, siapapun kau—aku baru saja jatuh dari Grand Canyon yang terkutuk! Jangan minta-minta tantangan!"
Dylan mendesis kepada mereka, tapi Jason dapat melihat kilatan rasa takut di matanya. "Kalian sama sekali tak menyadar berapa banyak musuh yang telah kalian bangunkan, Blasteran. Nyonyaku akan menghancurkan semua demigod. Perang ini takkan bisa kalian menangi."
Di atas mereka, badai menggila menjadi topan ganas. Retakan menyebar di titian. Hujan deras tumpah ruah, dan Jason harus berjongkok untukmenjaga keseimbangan.
Sebuah lubang terbuka di antara awan-awan–sebuah pusaran hitam dan perak.
"Nyonya memanggilku kembali!" teriak Dylan girang. "Dan kau, Demigod, akan ikut denganku!"
Dia menyerang Jason, tapi Piper menjegal monster itu dari belakang. Walaupun Dylan terbuat dari asap,
Piper entah bagaimana berhasil menyentuhnya. Mereka berdua jatuh terjengkang. Leo, Jason, dan sang Pelatih buru-buru maju untuk membantu, namun roh tersebut menjerit murka. Dian melepaskan angin kencang yang menjatuhkan mereka semua ke belakang. Jason dan Pak Pelatih Hedge mendarat dengan bokong lebih dulu. Pedang Jason meluncur di kaca. Bagian belakang kepala Leo terbentur dan dia pun terkapar menyamping sambil bergelung, setengah sadar dan mengerang-erang. Piper yang paling sial. Dia terlempar dari punggung Dylan dan menabrak pagar, terguling ke samping hingga dia bergantung dengan satu tangan di atas jurang.
Jason hendak menghampiri Piper, tapi Dylan berteriak, "Akan kubawa saja yang satu ini!"
Dylan mencengkram lengan Leo dan mulai naik, menyeret Leo di bawahnya. Badai berputar-putar kian cepat, menarik mereka ke atas bagaikan penyedot debu.
"Tolong!" teriak Piper. "Siapa saja!"
Lalu dia tergelincir, menjerit saat dia jatuh.
"Jason, sana!" teriak Hedge. "Selamatkan Piper."
Sang Pelatih meluncurkan tendangan kambing ganas ke arah Dylan menghajarnya dengan kuku belahnya, membebaskan Leo dari cengkram roh tersebut. Leo jatuh dengan selamat ke lantai, namun Dylan ganti mencengkram lengan sang Pelatih. Pak Pelatih Hedge berusaha menyundulny, lalu menendangnya dan menyebutnya bocah lembek. Mereka membubung ke udara, semakin cepat.
Pak Pelatih Hedge berteriak ke bawah sekali lagi. "Selamatkan Piper! Biar kuatasi yang satu ini!" Kemudian sang satir dan roh badai berpusing ke dalam awan dan menghilang.
Selamatkan Piper? Pikir Jason. Piper sudah tiada!
Tapi lagi-lagi insting Jason menang. Dia lari ke pagar sambil berpikir, aku ini edan, dan melompat dari
tepinya.
*~*~*~*~*~*~*~*
Jason tak takut terhadap ketinggian. Dia cuma takut tubuhnya remuk saat menghantam dasar ngarai seratus lima puluh meter di bawah. Jason menduga dia takkan bisa berbuat apa-apa selain mati bersama Piper, tapi dia merapatkan lengan ke badan dan menukik dengan kepala lebih dulu. Sisi ngarai berkelebat seperti film yg dipercepat. Wajahnya serasa terkelupas.
Dalam sekejap, Jason sudah menyusul Piper, yang mengepakkan lengannya dengan liar. Jason merengkuh pinggang Piper dan memejamkan mata, menanti ajal. Piper menjerit. Angin mendesing di telinga Jason. Dia bertanya-tanya bagaimana rasanya mati. Dia berpikir, barangkali tidak enak. Dia berharap entah bagaimana mereka takkan pernah tiba di dasar.
Mendadak angin berhenti. Jeritan Piper berubah menjadi suara terkesiap. Jason mengira mereka pasti sudah mati, tapi dia tak merasakan tumbukan apa pun.
"J-J-Jason," Piper berhasil mengeluarkan kata-kata.
Jason membuka mata. Mereka tidakjatuh. Mereka melayang di udara, sekitar tiga puluh meter di atas sungai. Jason memeluk Piper erat-erat, dan cewek itu memperbaiki posisinya sehingga dia memeluk Jason juga. Hidung mereka berdekatan. Jantung Piper berdebar kencang sekali, Jason bisa merasakannya melalui pakaian cewek itu.
Napas Piper beraroma seperti kayu manis. Dia berkata, "Bagaimana caramu—"
"Aku tak melakukan apa-apa," kata Jason.
"Kukira aku bakal tahu seandainya aku bisa terbang ... "
Tapi, kemudian Jason berpikir: aku bahkan tak tahu siapa aku.
Jason membayangkan tubuhnya melayang ke atas. Piper memekik saat mereka melesat beberapa kaki lebih tinggi. Mereka sebetul tidak melayang, Jason memutusan. Dia bisa merasakan tekanan di bawah kakinya seolah mereka sedang menyeimbangkan diri di atas semburan air panas.
"Udara menopang kita," kata Jason.
"Yah, suruh udara agar lebih menopang kita! Membawa kita pergi dari sini!"
Jason menengok ke bawah. Hal yang paling mudah adalah turun pelan-pelan ke dasar ngarai. Kemudian dia mendongkak. Hujan telah berhenti. Awan badai tidak kelihatan seseram tadi tapi masih menggemuruh dan berkilat-kilat. Tak ada jaminan bahwa para roh badai betul-betul sudah pergi. Jason sama sekali tak tahu apa yang telah menimpa Pak Pelatih Hedge. Dan Jason meninggalkan Leo di atas sana, nyaris tak sadarkan diri.
"Kita harus menolong mereka," kata Piper, seakan membaca pikiran Jason. "Bisakah kau—"
"Mari kita lihat." Jason berpikir naik, dan mereka pun langsung melesat ke angkasa.
Fakta bahwa Jason tengah menunggangi angin mungkin saja keren dalam kondisi yang berbeda, namun dia terlalu terguncang. Begitu mereka mendarat di titian, mereka lari menghampiri Leo.
Piper membalikan badan Leo ke samping, dan dia mengerang. Jaket tentaranya basah kuyup kehujanan. Rambut keritingnya mengilap keemasan karena berguling-guling di atas debu monster. Tapi paling tidak dia tidak mati.
"Kambing ... jelek ... bego," gumam Leo.
"Ke mana dia pergi?" tanya Piper.
Leo menunjuk lurus ke atas. "Tidak turun-turun. Tolong katakan padaku dia tak menyelamatkan nyawaku."
"Dua kali," kata Jason.
Leo mengerang semakin keras. "Apa yang terjadi? Si cowok tornado, pedang emas ... kepalaku terbentur. Begitu, kan? Aku berhalusinasi?"
Jason sudah lupa soal pedang. Dia berjalan menghampiri pedang itu dan memungutnya. Bilah pedang tersebut terasa pas di tangannya. Berdasarkan insting, Jason pun melemparkan pedang tersebut. Di tengah putaran, pedang itu menciut kembali menjadi koin dan mendarat di telapak tangan Jason.
"Yup," kata Leo. "Benar-benar halusinasi."
Piper menggigil dalam balutan pakaiannya yang basah kuyup karena kehujanan. "Jason, makhlukmakhluk itu—"
"Ventus," kata Jason. "Roh badai."
"Oke. Kau bersikap seolah ... seolah kau pernah bertemu dengan mereka sebelumnya. Kau ini siapa?"
Jason menggelengkan kepala. "Itulah yang telah kucoba bilang pada kalian. Aku tak tahu."
Badai telah mereda. Anak-anak lain dari Sekolah Alam Liar menatap ke luar pintu kaca dengan ngeri. Penjaga keamanan sedang mengutak-atik kunci sekarang, tapi sepertinya mereka tidak berhasil.
"Pak Pelatih Hedge bilang dia harus melindungi tiga orang," Jason teringat. "Kurasa maksudnya kita."
"Dan si Dylan itu berubah jadi ..." Piper bergidik. "Ya ampun, aku tak percaya dia merayuku. Dia menyebut kiya ... apa, demigod?"
Leo berbaring terlentang, menatap langit. Dia tampaknya tidak ingin cepat-cepat bangun. "Tak tahu apa
artinya demi itu," katanya. "Tapi god—dewa—aku tidak merasa seperti dewa. Kalian merasa seperti
dewa?"
Terdengar bunyi krak seperti ranting kering yang patah, dan retakan di titian melebar.
"Kita harus turun dari sini," kata Jason. "Mungkin jika kita—"
"Ooo-keee," potong Leo. "Lihat ke atas sana dan beri tahu aku apakah itu memang kuda terbang."
Pada mulanya Jason mengira Leo memang terbentur terlalu keras. Kemudian dia melihat sosok gelap mendekat dari timur—terlalu lambat sehingga tidak mungkin pesawat, terlalu besar sehingga tidak mungkin burung. Saat benda tersebut semakin dekat, Jason dapat melihat sepasang hewan bersayap—
abu-abu, berkaki empat, persis seperti kuda—hanya saja masing-masing memiliki lebar kira-kira enam meter ketika kedua sayapnya direntangkan. Dan mereka menghela sebuah kotak bercat cerah yang memiliki dua buah roda: sebuah kereta perang.
"Bala bantuan," kata Jason. "Hedge bilang tim penjemput akan datang untuk menjemput kita."
"Tim penjemput?" Leo berjuang untuk berdiri. "Kedengarannya menyeramkan."
"Dan mereka hendak menjemput kita untuk dibawa ke mana?" tanya Piper.
Jason memperhatikan saat kereta perang tersebut berhenti di ujung titian. Kuda-kuda terbang melipat sayap mereka dan perlahan menyeberangi kaca dengan gugup, seolah bisa merasakan bahwa titian kaca tersebut hampir pecah. Dua remaja berdiri di kereta perang tersebut—seorang cewek pirang tinggi yang mungkin sedikit lebih tua daripada Jason, dan seorang cowok gagah dengan kepala plontos dan wajah seperti tumpukan bata. Mereka berdua mengenakan jins dan kaus jingga, dengan tameng yang disandangkan ke belakang puggung mereka. Si cewek melompat turun bahkan sebelum kereta perang berhenti. Dia mengeluarkan sebilah pisau dan lari menghampiri kelompok Jason, sedangkan si cowok gagah menarik tali kekang kuda.
"Di mana dia?" tuntut si cewek pirang. Matanya yang kelabu bersinar tajam dan sedikit mencengangkan.
"Siapa yang di mana?" tanya Jason.
Cewek itu mengerutkan kening seakan jawaban mereka tak dapat diterima. Lalu dia menoleh kepada Leo dan Piper. "Bagaimana dengan Gleeson? Bagaimana dengan pelindung kalian, Gleeson Hedge?"
Nama depan Pak Pelatih adalah Gleeson? Jason mungkin akan tertawa jika pagi itu tidak begitu ganjil dan menyeramkan. Gleeson Hedge pelatih futbol, manusia kambing, pelindung demigod. Tentu saja. Kenapa tidak?
Leo berdeham. "Dia dibawa pergi oleh... semacam tornado?"
"Para Ventus," kata Jason. "Roh badai."
Si cewek pirang mengangkat alis. "Maksudmu anemoi thuellai? Itu istilahnya dalam bahasa Yunani. Kau ini siapa, dan apa yang terjadi."
Jason berusaha sebaik mungkin utuk menjelaskan, meskipun sulit untuk bertatapan dengan mata kelabu intens itu. Kira-kira pertengahan cerita, cowok gagah itu meninggalkan kereta perang dan menghampiri mereka. Dia berdiri di sana sambil melotot dan bersedekap. Dia punya tato pelangi di bisepnya, yang kelihatannya agak janggal.
Ketika Jason menyelesaikan ceritanya, si cewek pirang terlihat tidak puas. "Tidak, tidak, tidak! Katanya dia pasti berada di sini. Wanita itu bilang jika aku datang ke sini, aku akan menemukan jawaban."
"Annabeth," geram si cowok plontos."Coba lihat." Dia menunjuk kaki Jason.
Jason tidak terlalu memikirkannya, tapi dia masih kehilangan sepatu kirinya, yang telah disambar petir sampai copot. Kaki telanjangnya terasa baik-baik saja, tapi kaki itu terlihat seperti sebongkah batu bara.
"Cowok dengan satu sepatu," kata si cowok botak. "Dialah jawabannya."
"Bukan, Butch," si cewek itu berkeras. "Tak mungkin. Aku tertipu." Cewek itu memelototi angkasa, seolah langit telah berbuat salah. "Apa yang kauinginkan dariku?" jeritnya. "Sudah kauapakan dia?"
Titian berguncang, dan kuda-kuda meringkik memperingatkan.
"Annabeth," kata si cowok plontos, Butch,
"kita harus pergi. Ayo kita bawa tiga anak ini ke perkemahan dan cari tahu di sana. Roh-roh badai itu mungkin saja kembali."
Annabeth bersungut-sungut sesaat. "Baiklah." Dia melemparkan tatapan sebal pada Jason. "Akan kita selesaikan ini nanti."
Annabeth berputar dan berderap ke arah kereta perang.
Piper menggeleng-gelengkan kepala. "Apa sih masalah cewek itu? Apa yang terjadi?"
"He-eh," Leo sepakat.
"Kami harus membawa kalian pergi dari sini," kata Butch. "Akan kujelaskan dalam perjalanan."
"Aku tidak mau pergi ke mana-mana dengan dia." Jason memberi isyarat kepada Annabeth. "Kelihatannya dia ingin membunuhku."
Butch ragu-ragu. "Annabeth baik kok. Kalian harus memakluminya. Dia mendapat visi yang memberitahunya agar datang ke sini, untuk mencari cowok dengan satu sepatu. Seharusnya itu akan menjadi jawaban atas persoalannya."
"Persoalan apa?" tanya Piper.
"Dia mencari salah satu pekemah kami, yang sudah tiga hari menghilang," ujar Butch. "Annabeth menggalau karena khawatir. Annabeth tadinya berharap dia di sini."
"Siapa?" tanya Jason.
"Pacarnya," kata Butch. "Cowok bernama Percy Jackson."