Chereads / Upon The Small Hill / Chapter 7 - 1.5

Chapter 7 - 1.5

Langit senja mulai berganti menjadi malam yang begitu sunyi nan dingin. Irene tergesa-gesa berlari pada jalan setapak pada desanya. Setiap rumah telah tertutup rapat dengan setiap sanak keluarga saling berkumpul satu sama lain, jalanan desa yang cukup gelap sebab tak adanya penerangan selain beberapa lentera yang terpasang di rumah warga menjadi penunjuk jalan Irene. Ia berjalan melewati rumah demi rumah, menuju ke pinggiran desa dimana di ujung matanya terlihat sebuah gubuk kayu dengan atap beralaskan jerami.

Mendapati tak ada cahaya terlihat dari gubuk tersebut, ia merasa sedikit panik dan bergegas menuju ke sana. Lantas tidak begitu jauh dari gerbang, secercah cahaya muncul saat ia tengah menaiki jalan menanjak, seseorang tengah berdiri di sana... memegangi lentera. Orang tersebut ialah Frederik, pak tua tengah menunggu Irene dengan lentera yang dibuatnya dari tali direndam dalam minyak.

"Kemana saja kau, apa kau tidak lihat matahari sudah terbenam ?!"

"Ma-Maaf...." Irene berkata dengan suara lirih.

Ia merasa gelisah setelah dimarahi oleh Frederik, hendak meminta maaf padanya namun Frederik telah meninggalkannya dengan berjalan ke arah pintu gubuk.

"Masuklah, aku kelaparan dari tadi. Buatkan makan malamnya."

Meski dengan wajah penuh kesal tersebut, Frederik sangat mengkhawatirkan Irene. Ia telah mencoba mencarinya di desa dengan bertanya ke setiap orang, melalui satu petak lahan ke petak lahan lain, tapi tak dapat ia temukan. Khawatir ia tersesat dalam gelapnya malam, ia berencana menunggunya di sini... memegangi lentera berharap tak ada hal buruk terjadi padanya. Tapi Puji Tuhan, cucu satu-satunya ini akhirnya kembali.

"Ya, aku akan buatkan !" dengan anggukan itu, Irene pun memasuki rumah mereka.

Menyaksikan Irene yang masih menyiapkan makan malam dari satu-satunya kompor dan pemanas mereka yang terbuat dari batu bata. Frederik merasa bersalah kepadanya, untuk banyak hal.

"Maaf karena aku hanya bisa membawa sayur dan beberapa telur burung. Aku tidak berhasil menangkap satu ikan pun hari ini."

"Tak mengapa... selama ada bahan untuk dimasak, aku akan mencoba membuat makanan enak dari bahan itu."

Pak tua itu tersenyum kecil, sifat positif dari cucunya memang tidak pernah berubah sedari kecil. Meski mereka hidup dalam kondisi kurang beruntung, ia menerimanya dengan lapang dada. Mungkin itu hal yang baik, ia tidaklah semanja gadis seusianya. Namun entah bagaimana hal itu membuat Frederik tidak enak. Gadis seusianya yang ia lihat di kota kebanyakan menikmati hidupnya dengan bepergian dari satu tempat ke tempat lain, bekerja di berbagai tempat, atau menjalin hubungan. Sebaliknya di usia Irene ke-18 ini... ia terjebak di pelosok desa... mengurusi pak tua sepertinya.

"Ini, mungkin rasanya agak hambar karena kita cuma punya garam sebagai bumbu... tapi cobalah."

Irene menyodorkan sepiring makan malam yang telah selesai dimasak. Ia mencampurkan kedua bahan, memotong sayuran menjadi potongan kecil-kecil kemudian dituangkan ke dalam telur yang telah di orak-arik pada panci besi dengan minyak sayur panasnya. Lalu dilengkapi dengan bumbu garam... karena hanya itu yang ada di rak, dan selesailah. Tampilannya agak kurang bagus sebab didominasi warna kuning telur disertai hijau potongan sayuran.

Meski terlihat aneh, makanan tetaplah makanan bagi Frederik sehingga ia mengambil sendok dan mulai melahapnya. Anehnya, rasa masakan tersebut jauh lebih enak dibandingkan yang Irene pernah buat beberapa hari lalu.

"Hm, lumayan. Jauh lebih enak daripada sebelumnya."

"Benarkah ? Senang mendengarnya. Tapi karena bahannya kurang, cuma segini yang bisa kubuat."

Irene pun mencoba masakannya sendiri. Dan seperti yang dikatakan Frederik, memang ini lebih enak. Teksturnya agak lebih lembut dengan rasa telurnya yang cukup kuat, meski tidak mengenyangkan seperti telur ayam, telur burung hutan terasa lebih enak sebab tumbuh-tumbuhan yang mereka makan di hutan.

'Kalau saja kita punya roti... mungkin akan lebih enak jika di taruh pada roti.' Gumamnya sambil mengunyah.

"Lalu." Tiba-tiba saja Frederik berbicara.

"Kemana saja kamu sejak tadi siang ?"

Mendengar pertanyaan tersebut, tubuh Irene terkejut seakan ia tengah tersengat petir. Ia gelisah, tidak tahu bagaimana ia akan menjawab pertanyaan itu, mengalihkan pandangannya ke piring.

"Ketika aku kembali dari hutan, kau tidak ada di desa.... maupun di ladang."

"Aku..." Irene ragu-ragu sembari mengaduk-aduk makanannya, berusaha mengumpulkan keberanian.

"Ah, ngomong-ngomong apa kakek tahu kalau sapi dari peternakan Marian sudah melahirkan ?"

Ia mencoba mengalihkan pembicaraan, namun kakeknya memberikan tatapan dingin... menandakan ia akan memarahinya lagi. Irene perlu menemukan topik baru untuk menyembunyikan kebenaran bahwa ia ketiduran di bukit. Sampai teringat ada satu hal menarik yang ia jumpai hari ini.

"Kau tahu kakek, ku baru saja bertemu pindahan baru hari ini."

"Pindahan baru katamu ? Apa ada pindahan lagi ?"

"Ia pria muda... dan dia bilang, dia dari ibu kota, ibu kota itu loh kakek ! Dari Vleggel !"

"Seorang pria muda... dari ibu kota ?"

Mendengarkan cucunya ketika ia mengatakan hal tersebut dengan gembiranya, sebenarnya ia telah mengetahui hal itu sebelumnya. Seorang pria dari ibu kota, tentu saja ia kenal pria tersebut. Pindahan yang dimaksud Irene tidak lain dan tidak bukan...

"Jangan bilang namanya Williem Eldrich."

"Ap— Bagaimana kakek mengetahuinya ?! Aku belum bilang !"

"Sejak lama. Ia sudah berada di sini selama seminggu. Aku pun pernah menyuruhmu untuk bertemu pindahan baru tersebut tapi kau bilang tidak mau karena ada pekerjaan di ladang."

"Eh... benarkah..."

"Cih, kau ini memang..." ia mengalihkan pandangannya dari Irene, lantas menghabiskan sisa-sisa makanan dari piringnya.

"Dan dia aslinya bukan dari ibu kota, dulunya ia tinggal di sini... lahir dan besar di Canibya. Ia merupakan cucu dari temanku, tapi entah karena alasan apa ia dibawa ke ibu kota saat berumur sekitar 10 tahunan." Lanjut Frederik.

"Hmm... ia tak mengatakan hal itu padaku."

Setelahnya, Irene mengambil piring yang telah kosong untuk ditaruhnya pada meja lain. Diterangi hanya oleh satu lentera saja, ruangan lain pada gubuk tersebut begitu remang.

"Irene, sebaiknya kau segera mencari pekerjaan ke kota dibandingkan terus menetap di sini." Frederik berkata.

Irene yang tengah membersihkan piring tersebut menggunakan air, dengan sebuah tawa kecil menjawab.

"Kakek terus-terusan bilang seperti itu... bukankah di desa sendiri justru kekurangan orang."

"Karena itulah—" tanpa sadar suara Frederik meninggi, ia terbawa oleh emosinya saat ini sehingga Irene berhenti dari kegiatannya berbalik pada sang kakek.

"Kita tak memiliki sepetak ladang... maupun ternak. Yang kumiliki hanyalah seekor kuda dan gerobak. Aku pun tak dapat bergantung terus-menerus pada pekerjaan menjadi kurir, karena tidak setiap hari mereka membutuhkanku untuk mengantarkan barang."

"Mencari makan saja susah, perlu mencari sana-sini. Walau beruntung hutan dan sekitaran desa subur... kita selalu kelaparan di saat musim dingin seperti sekarang." Lanjut Frederik.

Irene terdiam mendengarkan perkataan kakeknya. Seluruh perkataannya merupakan kebenaran, hidup seperti ini untuk terus menerus cukup menekan mereka berdua. Kakeknya telah semakin menua, bepergian dari desa ke kota Friedeland yang tak dekat akan membahayakan dirinya lama kelamaan. Sebenarnya dia berpikiran mengikuti saran Frederik untuk pergi ke kota, tetapi...

"Umurku telah berada di ujungnya... aku khawatir suatu saat diriku tiada dan meninggalkanmu dalam keadaan seperti ini."

"Jangan katakan hal seperti itu !" saat teriakan keluar, air mata mulai mengalir dari matanya. Suaranya teredam, disertai badannya yang bergetar.

"Jangan berkata seperti itu... tidak apa bagiku untuk hidup seperti ini. Tetapi kehilangan kake—" Irene terhenti dari ucapannya sebab tangisnya tak dapat terbendung.

Frederik bangkit dari kursinya. Ia menatap Irene yang wajahnya basah oleh air mata. Tepat ketika Irene merasa kata-kata tadi terlalu dingin untuk diucapkan, sebuah tangan bergerak pada bahunya. Frederik memegangnya begitu lembut sehingga mengembalikan Irene dari tangisnya, menatap pada sang kakek.

"Maafkan aku karena telah berkata seperti itu. Bagaimanapun, kau jelas satu-satunya cucuku yang paling baik."

Setelah mengatakannya, Irene yang masih terdiam tersengguk-sengguk menatap kakeknya yang berjalan menjauh menuju ke kamarnya. Sosoknya yang begitu rapuh nan lelah terlihat jelas dari cahaya lentera... kian melebur dalam kegelapan malam.

Dengan begitulah malam mereka berakhir.

Keesokan paginya, Irene mendapati kakeknya telah pergi untuk melakukan pekerjaannya sebagai kurir. Ia selalu bangun lebih bagi darinya, sebab perlu mengurusi kuda serta mengecek kondisi gerobaknya. Jikalau tak ada pekerjaan di desa, terkadang Frederik pergi ke kota untuk menerima pekerjaan kurir lain seperti mengantar barang ataupun surat. Dia telah melakukannya selama bertahun-tahun, hingga usianya ke-60an ini.

"Lagi-lagi pergi tanpa kubuatkan sarapan terlebih dahulu..." ucap Irene.

Walau ia berkata ingin membuat sarapan, sebenarnya Irene dipusingkan oleh itu juga. Di rak kayu sama sekali tidak ada makanan tersisa, hanya garam. Kali ini ia akan membuat kakeknya kerepotan lagi, Frederik pasti akan mencari makanan untuknya.

"Aku tidak bisa bergantung kepada kakek terus menerus, oleh sebab itulah... aku perlu bekerja keras hari ini !"

Maka dengan semangat tersebut ia mulai pergi ke desa. Karena Canibya adalah desa kecil, tidak begitu banyak pekerjaan maupun pekerja yang ada di sana. Sebagian besar, mereka yang menetap di desa adalah keluarga petani. Mereka memiliki ladang dan tanah yang diwariskan secara turun temurun. Kebanyakan pekerjaan ladang dilakukan oleh keluarga mereka sendiri, meski begitu terkadang mengurus ladang cukup melelahkan daripada yang dikira. Dan untuk itulah, Irene dibutuhkan. Setiap penduduk desa tidak ada yang tidak kenal dengan dirinya, ia bagai seorang malaikat yang datang saat mereka membutuhkannya. Irene menggantikan para petani yang sedang tidak bisa mengurusi ladang mereka, lebih tepatnya... Irene bekerja sebagai buruh ladang.

Bekerja sebagai buruh ladang tidak begitu menjanjikan. Ia hanya mendapatkan pekerjaan jika seseorang membutuhkan bantuan, yang dimana tidak setiap hari seseorang di desa membutuhkan buruh ladang. Dia pun dibayar per hari, bukan per pekerjaan. Tidak jarang ia mendapatkan tugas cukup banyak dari menanam benih, memangkas rumput, hingga memberi makan hewan dalam hari yang sama. Bayarannya... tidak seberapa, di bawah rata-rata.

"Seperti yang kuduga, yang membutuhkan bantuan tidak begitu banyak. Meski salju mulai mencair, bulan ini masih terhitung musim dingin." Irene menghela nafasnya sembari memegang beberapa koin di tangannya.

Sebab cuacanya masih terasa dingin, petani belum mulai menanam benih. Beruntungnya, masih ada pekerjaan yang dapat dilakukan Irene, yaitu memberi makan dan mengurusi ternak. Walau keluarga peternak di desa ini hanya ada satu, jadi... tidak dapat banyak penghasilan.

Sembari berjalan melalui jalan setapak, Irene mengingat kembali perkataan kakeknya tadi malam.

"Bekerjalah di kota..."

Ia mulai berpikir bahwa itu satu-satunya pilihan untuk membantu keuangan keluarga mereka. Tetapi... pergi ke kota. Tiba-tiba dia merasakan sakit luar biasa pada kepalanya.

"Irene..."

Suara yang begitu tidak asing... lembut nan hangat... dan menenangkan tengah memanggil namanya.

'Ingatlah, jangan membenci mereka...'

'Kebencian hanya membawa hal-hal keji...'

'... itulah sebabnya jangan membenci mereka... mereka semua adalah manusia, sama seperti kita.'

Irene berhenti, saat ingatan tersebut mulai kembali padanya. Kata-kata itu terus tersampaikan padanya dari masa ke masa, bagi Irene sendiri, dia tak akan pernah melupakan ingatan tersebut. Bahkan jika itu terasa amat menyakitkan baginya, karena berkat itulah... ia masih tetap bertahan. Dan karena kata-kata itu juga, ia tidak pernah menginjakkan kaki lagi ke kota sejak saat itu. Irene tak ingin pergi ke sana sekali lagi, atau berpikir menetap, tempatnya sudah benar di sini... di Canibya. Tidak perlu pergi ke kota... itu tidak akan membuat segalanya menjadi lebih baik.

Ia lantas menggelengkan kepalanya, mengambil nafas dalam-dalam untuk menenangkan dirinya. Tidak ada waktu bagi Irene untuk terus berkutat memikirkan hal tersebut, lebih baik ia segera pergi mengambil kayu di hutan untuk perapian mereka.

-o-

Setelah berjam-jam mengumpulkan beberapa kayu yang ditemukannya di hutan, Irene memiliki cukup banyak waktu luang pada hari ini hingga sore hari. Sehingga seperti biasa, ia pergi menuju ke tempat rahasianya. Berhati-hati menaiki tebing terjal penuh bebatuan tersebut, ia akhirnya sampai pada atas bukit dan tak disangkanya.... menjumpai seseorang tengah duduk di dekat pohon kastanye.

Pria dengan rambut kuning keputihan tersebut tak lain dan tak bukan merupakan Eldrich. Tanpa melihatnya, gerakan lengan Eldrich sudah memberitahu Irene apa yang tengah ia lakukan sekarang. Bukannya menyapa Eldrich, ia langsung terbesit pikiran nakal. Merayap perlahan ke belakang tubuh Eldrich, ia menurunkan dirinya sembari mengulurkan jarinya ke arah telinga kanan Eldrich.

Eldrich yang seperti biasa selalu serius pada pekerjaannya, tersentak kaget ketika merasakan sesuatu membelai telinganya. Segera, ia berbalik berusaha mencari penyebabnya tapi tak mendapati apapun.

"Apa barusan itu—"

Dipenuhi oleh kebingungan serta penasaran, ia terus menerus mengawasi sekeliling... memang benar tidak ada apa-apa selain padang rumput. Lantas Eldrich menoleh ke arah kiri, saat kemudian.

"Bwa !"

"Wha—"

Eldrich melompat ke samping kanan saat Irene mengejutkannya dari sana. Ia dapat melihat kedua alis Eldrich meninggi dengan mulutnya terbuka lebar saat dia berhasil mengejutkannya. Melihat betapa lucunya wajah Eldrich saat ia kaget, Irene tak dapat menahan tawanya. Bagi Eldrich sendiri, dikejutkan kembali untuk kedua kalinya tidaklah menyenangkan.

"Saya mohon pada Anda, nona Irene... tolong berhenti mengagetkan dengan cara seperti itu."

"Maaf... haha... aku tahu itu tidak baik tapi... aku tidak bisa—"

Irene menghentikan ucapannya saat tawanya pecah kembali. Senyum lembut yang ia perlihatkan setiap kali mengeluarkan tawa bernada tinggi tak dapat digambarkan oleh siapapun yang melihatnya. Meski ia seorang gadis, ia sama sekali tidak menahannya. Melihat betapa bahagia Irene saat ini, Eldrich tak dapat marah karenanya... justru ia terkesima. Mungkin ini adalah saat paling langka baginya ketika dapat melihat seseorang benar-benar tertawa lepas, tanpa adanya paksaan maupun kepalsuan, berbeda dengan apa yang biasanya ia temukan dari orang-orang di kota.

"Tidak mengira aku menjumpaimu lagi di sini."

"Entah mengapa saya merasa suasana di bukit ini cocok untuk mencari ide."

Mendengar alasan tersebut, Irene mengintip pada buku catatan yang tengah Eldrich bawa. Kertas putih pada buku telah sepenuhnya terisi oleh tulisan-tulisan rapi Eldrich beserta sketsanya mengenai beberapa hal. Dari yang Irene lihat, kebanyakan adalah pemandangan di hutan seperti sketsa tupai yang tengah memakan biji sampai ikan-ikan yang berenang beriringan di sungai.

Mendapati Irene begitu fokus menatapi buku yang tengah ia pegang, lagi-lagi Eldrich menutupinya.

"Ah— Ini masih banyak kesalahan."

"Heee.... padahal aku sangat tertarik." Kata Irene, sedikit kecewa karena Eldrich tak mengizinkannya untuk melihat.

"Boleh aku duduk di sampingmu ?" lanjut Irene dengan tiba-tibanya.

Bahkan sebelum Eldrich sempat menjawab pertanyaannya tadi, Irene sudah mempersilahkan diri untuk duduk di samping dirinya, pada rerumputan. Untuk pertama kalinya, Eldrich merasakan duduk di samping gadis sedekat ini. Sangat disayangkan memang, semasa ia bersekolah pada ibu kota, Eldrich sama sekali tak memiliki kesempatan dengan gadis. Oleh karena itu, ia merasa begitu gugup sekarang.

Eldrich menolehkan wajah pada Irene, bermaksud mengamatinya lebih dekat lagi. Dirinya tengah duduk dengan kedua kakinya lurus ke depan. Dengan tangan-tangannya yang ramping itu, ia pijat-pijat betisnya sendiri. Kelihatannya, sebelum kesini Irene telah melakukan pekerjaan yang berat. Terlihat dari betapa kotor baju yang ia kenakan, penuh oleh tanah berlumpur serta rerumputan, dan tangan-tangannya yang terdapat lecet di sana-sini.

"Hei, Will. Bagaimana rasanya menjadi penulis ?"

Tanpa ada angin, tanpa ada hujan, pertanyaan tersebut tercetus begitu saja dari mulut Irene. Eldrich sendiri yang seorang penulis, yang saat ini tengah terombang-ambing, mau tidak mau perlu memikirkan kembali mengenai hal tersebut. Ia tidak begitu ingat kapan pertama kali ia menjadi penulis, namun dari pengalamannya selama ini menulis 2 buku...

"Saya tak bisa begitu menjawabnya. Rasanya.. bagaimana ya... bisa terbilang menyenangkan... juga bisa dibilang tidak."

"Eh ? Kenapa ? Bukankah kamu senang bukumu banyak yang beli ? Bukankah itu membuatmu dapat banyak uang ? Tidak menyenangkan darimana ?" pertanyaan demi pertanyaan yang dilontarkan oleh Irene barusan persis seperti anak kecil yang ingin tahu segalanya.

"Itu..." Eldrich terdiam sejenak, dirinya sendiri bingung bagaimana menjawabnya tetapi... ia pun tak bisa membiarkan gadis ini dipenuhi tanda tanya juga.

"Pada awalnya memang saya merasa senang, sebab, selain menjadi penyuka buku... menulis adalah salah satu hobi saya. Bisa dibilang, cukup menyenangkan apabila hobi tersebut menjadi salah satu pekerjaan yang tengah saya lakukan saat ini. Tetapi..."

Ia tak dapat melanjutkan perkataannya lagi, karena merasa tidak enak kepada dirinya sendiri dan juga pada Irene. Melihat Irene yang penuh oleh luka dan keringat atas jerih payahnya, keluhannya tak memiliki artian.

"Begitukah... menjadi penulis cukup rumit ternyata, sampai-sampai kamu tak bisa mengatakan kesulitannya. Tampaknya pekerjaanku terlihat jauh lebih mudah, aku hanya perlu mengurusi ladang atau memberi makan hewan saja."

Entah memang gadis ini begitu polos atau dirinya yang begitu berengsek, Eldrich tidak mengetahuinya. Sementara ia bekerja keras setiap harinya, di ladang mengurusi tanaman demi tanaman, memastikan mereka subur dan terjaga. Dari pagi hingga sore, di bawah teriknya matahari. Ia berkata bahwa menjadi penulis tidak begitu enak, padahal ini adalah pekerjaan yang ia inginkan.

"Hoam~ Aku... kok merasa mengantuk ya..." Irene menutupi mulutnya yang menguap barusan, sembari perlahan menurunkan badannya pada rerumputan, berbaring.

"Aku akan tidur sebentar... tolong bangunkan kalau sudah sore."

Dengan begitu saja, ia terbaring sepenuhnya pada hijaunya padang... memejamkan kedua matanya. Pada saat ia tengah tertidur pun, keindahan Irene tak berkurang sama sekali. Justru, wujudnya yang tengah tertidur begitu murni... begitu polos, siapapun yang melihatnya mungkin memiliki perasaan sama seperti Eldrich. Tubuhnya yang begitu ramping, rambut coklat berkepang yang tergerai di balik punggungnya... serta pipi putihnya yang terlihat lembut tersebut seakan mengatakan pada Eldrich untuk menyentuh mereka.

"Dia ini... begitu mudahnya percaya padaku. Padahal aku ini pria dewasa juga, tidur begitu saja tanpa mengkhawatirkan hal tersebut." Ucap Eldrich dengan suara begitu pelan.

Walau hasrat untuk menyentuhnya begitu tinggi, Eldrich tidak akan melakukannya. Pada telapak tangannya, menceritakan kehidupan dari si gadis sendiri, dipenuhi oleh luka yang telah mengering... luka-luka tersebut ia dapatkan dari pekerjaannya di ladang setiap hari. Dari caranya menarik nafas saat tertidur... dan bagaimana ia dapat tidur begitu cepatnya, menandakan ia memang sangat kecapaian. Gadis semuda ini bahkan telah bekerja demi menyambung hidup. Sebagai seorang pria dewasa, bukan— lebih tepatnya sebagai Eldrich, ia pun perlu bekerja jauh lebih keras lagi daripada Irene. Karya yang tengah ia kerjakan sekarang, ia harus memastikan karyanya ini selesai dan memuaskan para pembacanya.

"Ia pun begitu tertarik saat melihatnya... heh. Aku tak boleh mengecewakan dirinya." katanya, dengan senyuman lebar mengembang pada wajah Eldrich.