Chereads / Upon The Small Hill / Chapter 11 - 2.1 The Great Eurisia War

Chapter 11 - 2.1 The Great Eurisia War

1 Apreel 1830,

Perundingan antara Kekaisaran Adlerburg dengan Republik Ascarte berjarak satu minggu dari sekarang. Pada perundingan tersebutlah sengketa berdarah yang terjadi selama bertahun-tahun akan diputuskan. Setiap negara kini tengah cemas, khawatir bahwa mungkin saja konflik yang jauh lebih besar akan terjadi sehingga militer disiagakan pada perbatasan. Ketegangan itu pun dapat terlihat pada tempat kediaman sang Kaisar, dimana ribuan prajurit kini tengah berjaga menenteng senapan laras panjang mereka.

"Segera tarik mundur prajurit yang kita siagakan di perbatasan dengan segera, wahai ayahanda !" teriakan keras menggema pada lorong istana.

"Apa yang kau katakan, Jurgland ?! Kau tidak tahu apa yang akan Ascarte perbuat sebelum perundingan nanti !"

Sang Kaisar yang tengah duduk pada kursi berbalut emasnya menunjukkan kemarahan pada wajahnya. Perkataan yang baru saja terlontar kepadanya dirasa omong kosong, terlebih lagi ia tidak bisa menyangka jika omongan tersebut keluar dari mulut anak bungsunya sendiri.

"Yang ada justru mereka akan menaruh curiga terhadap kita ! Seluruh mata pada Eurisia kini tengah tertuju kepada kita."

"Lantas biarkan mereka menyaksikan betapa mengancamnya Alderburg. Dengan itu negara-negara kecil tersebut akan paham."

Jawaban angkuh dari sang Kaisar hanya menambah nyeri pada kepala pangeran Jurgland. Dirinya adalah putra terakhir dari dua saudara, pewaris kedua Kekaisaran Adlerburg yaitu Pangeran Jurgland Kristie de Leopo. Dilahirkan terakhir, paling muda, dan sangat dilindungi oleh kakaknya menyebabkan Pangeran Jurgland dianggap remeh oleh ayahnya sendiri. Segala pendapat yang diutarakan Pangeran Jurgland bagai angin lewat, berbanding terbalik dengan kakaknya.

"Ayahanda, Divisi Infanteri ke-232 telah selesai dibentuk. Dengan ini semua persiapan telah selesai."

Mendengar suara yang tak asing tersebut, Pangeran Jurgland menoleh pada pintu masuk. Seorang pria dengan seragam biru tua kemerahannya berjalan menuju tempat mereka tengah duduk. Setiap langkahnya dipenuhi oleh gemerincing medali yang berjejer pada dadanya.

"Justru berita inilah yang hendak kudengar darimu."

"Terimakasih banyak, ayahanda. Oh ? Tidak kusangka kamu di sini juga, Jurgland."

"Aku juga tidak menyangkanya, Kakanda Konigs."

"Lalu, ada keperluan apa pada kantor kabinet militer ? Bukankah dirimu seharusnya tengah bersiap untuk menuju ke Helgania ?"

"Aku... hanya tengah membahas beberapa hal dengan ayahanda."

Melihat jawaban penuh keraguan dari Jurgland dan kerutan pada ayahandanya, Pangeran Konigs memahami bahwa pembahasan tersebut tidaklah berjalan dengan semestinya. Dirinya dan sang Kaisar memang memiliki dua pemikiran yang saling berseberangan.

"Seharusnya kau bergabung ke militer seperti Konigs, bukannya mendekam pada lautan buku. Kepalamu telah teracuni oleh pikiran si Mackenheim !"

Tidak terima lontaran yang diutarakan oleh ayahnya, percikan api amarah tersulut pada mata Jurgland. Tetapi sebelum dirinya sempat berdiri untuk menyangkal ayahnya, Pangeran Konigs berdiri terlebih dahulu dan menyela mereka berdua.

"Ayahanda ! Sebentar lagi Staf Umum dan Menteri Perang akan segera datang. Jurgland juga, sebaiknya segera beranjak dari sini."

Mengisyaratkan dengan mata, Pangeran Konigs menyuruh adiknya untuk segera pergi dari sini dan dirinya akan menyusulnya nanti. Semua ini ia lakukan agar ayahandanya nanti tidak terbawa emosi dan melakukan hal yang tidak diinginkan saat rapat penting nanti. Selepas sang Kaisar pergi untuk berbenah, mereka berdua bertemu di depan ruangan rapat.

"Kebodohan apa lagi yang hendak kau perbuat, Jurgland ?!"

"Aku hanya meminta ayahanda untuk menarik pasukannya dari perbatasan. Berita telah tersebar ke penjuru benua bahwa kita tengah bersiap berperang dengan Ascarte, padahal perundingan damai hendak diadakan seminggu lagi !"

"Tindakan yang ayahanda lakukan itu diperlukan. Kita tidak boleh lengah, bisa saja mereka tiba-tiba menyelundup ke perbatasan saat perundingan tengah diadakan."

"Tetapi..."

Saat hendak mengatakan alasan lain kepada kakandanya, dari lorong telah muncul rombongan petinggi militer yang hendak memasuki rapat. Pangeran Konigs pun merupakan salah satu dari petinggi tersebut sehingga Pangeran Jurgland memutuskan untuk mundur pada hari ini.

"Jurgland, aku pun tidak ingin peperangan terjadi antara kedua negara seperti dulu. Kau jauh lebih memahami ayah dibandingkan diriku, dia tidak akan mau mendengarkan perkataan siapa pun, yang ia inginkan hanyalah hasil dari ambisinya tersebut."

"Oleh karena itulah, kudoakan perundinganmu tersebut membawa hasil yang baik."

Kalimat terakhir dari Pangeran Konigs mengakhiri perjumpaan mereka, untuk terakhir kalinya. Kini Jurgland perlu untuk segera mengemasi barangnya dan pergi menuju ke kota pelabuhan, Kaiserberg. Selama perjalanan dari kota ke kota, dirinya mendapati semakin banyaknya pemuda yang mengantre pada pos pendaftaran militer.

Program Kekaisaran yang mewajibkan pemuda di atas umur 20 untuk mengikuti wajib militer dikecam oleh banyak pihak, terutama Pangeran Jurgland tersendiri. Pemuda yang seharusnya menghabiskan masa mudanya untuk mengenyam pendidikan dan menikmati kehidupan mereka, justru berakhir dengan seragam dan meriam untuk mati di medan tempur. Sang Mackenheim, pahlawan negara saja tidak disukai oleh Kaisar sekarang. Anggapan Kaisar ialah Mackenheim menjadi penyebab hilangnya wilayah-wilayah Adlerburg yang dulu di raih sewaktu Perang 50 Tahun. Ajaran pasifisme, yang terlahir dari pemikiran Mackenheim, memaksa setiap negara untuk menyelesaikan segala konflik dengan jalur perundingan terlebih dahulu untuk menghindari konflik berdarah kembali terjadi.

Berkat itulah, perundingan antara Ascarte dan Adlerburg yang selama ini bersengketa perbatasan satu sama lain dapat terwujud. Pencetus utamanya adalah Pangeran Jurgland yang berunding dengan Kerajaan Helgania. Ia berusaha sekeras mungkin untuk mencegah perang terulang lagi.

"Mereka yang pernah menyaksikan wajah sekarat prajurit di pertempuran akan berpikir ribuan kali untuk memulai perang." Menggumamkan hal tersebut, pandangan Pangeran Jurgland memandang sinis pada iring-iringan militer yang tengah menjaga konvoi mobil.

Ia pernah sekali dipaksa oleh ayahnya untuk menyaksikan garis depan. Dimana prajurit-prajurit muda seperti mereka jatuh satu persatu saat dihujani rentetan peluru senapan dan terhempas berkeping-keping oleh bola meriam. Seorang prajurit yang tengah sekarat pada kamp militer memegang erat tangannya, berkata dia bangga bisa mengabdi pada negeri. Bukanlah rasa haru yang ia dapatkan saat itu, justru amarah dan menyesal, sebab ia paham prajurit tersebut begitu takut. Pandangan matanya lurus, tidak memandangnya, justru pada malaikat kematian yang di belakang sang pangeran. Perasaan dingin dan gelap gulitanya kematian, adalah apa yang menanti setiap prajurit di akhir.

"Pangeran, silahkan." Pengawalnya membukakan pintu mobil.

Melangkahkan kakinya pada karpet merah yang telah disediakan, dirinya memandangi kapal uap yang akan mengantarnya menuju Helgania. Dirinya kini hanya perlu menyeberangi selat Derflinger... dan seluruh asa dari rakyat Adlerburg akan tersampaikan.

Setiap warga yang telah menantikan kedatangan sang Pangeran tumpah ruah memenuhi pelabuhan. Mereka melambaikan tangan, tidak sedikit pula yang mengibarkan bendera negara mereka begitu tinggi agar sang pangeran dapat mengalihkan pandangan ke arah sana. Pangeran Jurgland membalas sambutan meriah itu dengan lambaian serta senyum, sementara kini dirinya menaiki tangga menuju harapan baru.

-----------------------------------------------------------------------------------------

Helgania, negeri dimana sang surya tak pernah tenggelam... negeri yang menjadi tumpuan bagi benua Eurisia. Sejarah panjang menyertainya, setiap rakyat mengagungkannya, dan di hadapan Dewa-lah... Raja-raja mereka memimpin dunia.

Tiba pada kota Truce, sambutan hangat diterima oleh Pangeran Jurgland, ia bersama seluruh perwakilan negara kini tengah diiringi parade musik sepanjang jalan. Dari balik jendela, sang pangeran tertegun menyaksikan betapa megahnya setiap bangunan yang kini ia tengah lewati. Sedari pelabuhan, ribuan pemikiran negatif memenuhi pikirannya. Puluhan kapal perang, penuh oleh para pelaut dan meriam raksasa mereka tengah berlabuh. Bunyi bising dari pesawat-pesawat tidak berhenti terbang di atas langit, sesekali ia mendapati kapal udara milik negara mereka yang digdaya yaitu Zeppeli terbang di atas negeri orang lain.

Mendapati betapa kuat dan besarnya Helgania, semasa perundingan sekali pun Pangeran Jurgland mencoba sebisa mungkin untuk menjaga setiap perkataannya. Walau perwakilan Ascarte terus menerus menekankan bahwa apa yang dilakukan Adlerburg adalah dosa besar, Pangeran Jurgland memberikan justifikasi yang telah dipersiapkan. Permintaannya ialah penarikan mundur pasukan dari perbatasan dari kedua belah pihak dan penyerahan wilayah selatan Eurisia, pada pegunungan Urk.

"Yang Mulia Pangeran, kerja bagus untuk hari ini."

Menerima sapu tangan dari pengawalnya, Pangeran Jurgland mengelap keringat yang telah terkumpul pada sekitar leher.

"Itu bukanlah sebuah pekerjaan bagus, perundingannya ditangguhkan hingga besok."

Kini dirinya tengah berada dalam mobil menuju ke tempat peristirahatan. Hasil perundingan hari ini dapat terbilang kacau. Padahal sedikit lagi pangeran akan mencapai kesepakatan, tetapi Ascarte melaporkan bahwa adanya gerak-gerik pasukan Adlerburg pada perbatasan pada saat ini. Sampai masalah tersebut terselesaikan, Ascarte tidak ingin menyepakati hasil apapun.

"Padahal sudah berkali-kali kubilang... kenapa Ayah selalu..."

Kembali teringat mengenai masa lalu, Kaisar Leopo I padahal tidak seberingas ini sebelumnya. Pangeran tahu itu, semuanya berubah saat ibunya, yaitu Yang Mulia Ratu Louraine meninggal. Keinginan satu-satunya sang Ratu ialah menyaksikan kota-kota Adlerburg seindah Helgania, namun sebelum hal tersebut tercapai ia meninggalkan Jurgland pada umur ke-13nya. Sejak saat itulah, ayahnya tidak berhenti untuk membesarkan Adlerburg... tanpa pernah beristirahat... dan dengan segala cara apapun.

"Engkau terlalu banyak bekerja... wahai Kaisar. Padahal engkau bisa menyerahkan beban berat yang ditanggung tersebut pada kedua putramu..."

Demi membantu ayahnya yang menua, pangeran Konigs memutuskan untuk belajar menjadi penerus selanjutnya. Ia mencegah adiknya, Jurgland, dari militerisasi. Dirinya tidak ingin Jurgland yang penuh kasih dan damai terjun ke medan tempur. Namun mengalihkan perhatian Jurgland pada ranah politik dan diplomasi demi membenahi kebobrokan politisi yang ada pada Kekaisaran.

"Yang Mulia Pangeran, haruskah saya mengabarkan hasil perundingan hari ini kepada Sang Kaisar ?"

"Tidak perlu, akan kutulis sendiri—"

Dikagetkan oleh sentakan yang terjadi, Pangeran Jurgland menghentikan perkataannya. Sopir mobil menghentikan laju kendaraan sebab terjadi kecelakaan di depan. Trem bertabrakan dengan mobil yang tengah melaju sehingga keluar dari jalur, polisi tengah berusaha untuk mengatur kemacetan yang terjadi dan iring-iringan Pangeran Jurgland dialihkan menuju ke jalan lain.

Namun karena banyaknya orang yang tengah menyaksikan peristiwa itu, laju mobil iring-iringan terhalang. Pada saat itulah, seseorang dengan penutup mulut menerobos melewati kumpulan orang pada pinggir jalan. Menggunakan keramaian sebagai perlindungan, ia berhasil melewati polisi yang tengah berjaga di sekitar. Tas selempang yang dibawanya tersebut dia lemparkan ke arah mobil dimana Pangeran Jurgland berada.

Dalam kejapan mata, kilatan api muncul dari dalam tas tersebut. Nyala api membumbung, suara ledakan yang mengerikan memenuhi jalanan. Setiap orang yang menyaksikan hal tersebut terdiam ngeri, tiada yang tersisa dalam ledakan seketika itu... mobil yang ditunggangi Pangeran hancur lebur, polisi yang berjaga di sekitarnya terhempas jatuh merintih sebab luka bakar... dan si pelempar tidak lagi berbentuk layaknya manusia.

Pada hari, dan detik itu juga... tungku penuh mesiu pada benua Eurisia telah menyala. Perdamaian... telah sirna bersamaan dengan Pangeran Jurgland, yang akan dikenang sebagai Pahlawan Perdamaian setelahnya.

-----------------------------------------------------------------------------------------

9 Apreel 1830,

Hari berkabung, hari dimana perdamaian sirna, dan hari permulaan Perang Besar Eurisia... adalah apa yang terkenang dari tanggal 9 Apreel. Kabar mengenai dibunuhnya sang Pangeran dalam perjalanan diplomasinya yang mulia, menyulut amarah besar Sang Kaisar. Kaisar Leopo I mengutuk Republik Ascarte atas serangan yang dituding direncanakan oleh mereka. Meskipun tidak ada bukti nyata mengenai Republik Ascarte yang melakukannya, tudingan tersebut dianggap sebagai sebuah alasan yang cukup bagi Kekaisaran Adlerburg untuk mengumandangkan perang terhadap mereka. Kaisar pun mengecam Kerajaan Helgania atas hal tersebut, berkata bahwa suatu saat Kerajaan Helgania akan menerima balasan setimpal.

Kesedihan dan isak tangis mengiringi pemakaman Pangeran Jurgland. Jasadnya tidak dapat diidentifikasi bersamaan dengan seluruh penumpang mobil, sehingga pemakaman dengan peti kosong dilaksanakan pada Ibukota. Seluruh rakyat menundukkan kepala, melepaskan topi mereka, sebab Pangeran Jurgland yang disayangi dari sekian banyak... sang pangeran yang berusaha menjaga kedamaian negeri mereka, kini telah tiada. Pangeran Konigs tidak pernah dapat memaafkan kejadian yang terjadi pada adik yang disayanginya itu, selepas pemakaman dilaksanakan, pangeran segera bergegas menuju ke Kantor Militer untuk memobilisasi seluruh pasukan darat Adlerburg.

Keesokan pagi, pada 10 Apreel 1830. Langsung dari kediaman sang Kaisar, pidato penting diutarakan oleh Kaisar Leopo I. Untuk pertama kalinya, seluruh rakyat diizinkan untuk memasuki wilayah kastil. Lapangan utama kini tumpah ruah dipenuhi penduduk kota yang hendak mendengarkan pidato langsung dari Kaisar mereka.

"Wahai seluruh rakyat Falkenland, seluruh rakyat Kekaisaran Adlerburg, dan seluruh Adlornian. Pada sembilan Apreel, seribu delapan ratus tiga puluh... sebuah hari yang akan terus dikenang sebagai hari penghinaan dan hari berkabung Adlornian. Kekaisaran Adlerburg, kehilangan salah satu pahlawan... pejuang perdamaian... Sang Pangeran Jurgland. Penyerangan yang dilakukan oleh Republik Ascarte... dengan rencana iblis mereka, membunuh sang Pangeran yang tengah merundingkan perjanjian."

Setiap mata mengarah pada sang Kaisar di atas podium, radio-radio di penjuru negeri kini tengah memutar pidato tersebut.

"Kekaisaran Adlerburg tengah berdamai dengan negara tersebut, dan berusaha mempertahankan perdamaian sekeras mungkin dengan pemerintahan mereka. Namun atas kejadian yang terjadi kemarin, tampaknya perdamaian tidaklah setimpal dengan gugurnya putra kedua saya tersebut. Bersiaganya pasukan-pasukan mereka di perbatasan, dengan moncong senapan mengarah pada Adlerburg... mereka menunggu saat bagi sang pangeran untuk terbunuh sebelum menyerang negara tercinta kita."

"Pembunuhan tersebut mungkin telah direncanakan jauh jauh hari sebelumnya... bersamaan dengan rencana penyerangan mereka. Akankah kalian sudi, akankah kalian mau... akankah kalian terima saat Ascarte seenaknya menginjak-injak kalian ?! Mereka telah membunuh sang Pangeran, putra kedua saya. Dan mereka tidak akan ragu untuk mengarahkan senjata pada kalian, pada istri kalian, dan pada anak-anak kalian. Oleh karena itulah, jawaban yang akan kita berikan terhadap tindakan mereka adalah perang total !"

Teriakan keras berisikan dukungan penuh semarak dari satu sisi ke yang lain, semua orang datang dari tempat nan jauh, meninggalkan pekerjaan dan segalanya demi mendengar apa yang ingin mereka dengar. Pendengar radio pun terdiam begitu kata 'perang total' terucap, mereka menyadari bahwa pada detik ini mereka semua akan terjun dalam tugas mulia, melindungi negeri dan kaisar dari musuh-musuhnya.

"Demi melindungi Kekaisaran Adlerburg dan demi tanah air... saya bersumpah di hadapan para pendahulu, dengan ini Kaisar Leopo Pertama, mengumandangkan perang terhadap Republik Ascarte. Semoga Tuhan memberkati kita !"

-----------------------------------------------------------------------------------------

'11 Apreel 1830,

Aku telah mendengar apa yang perlu aku dengar, aku telah mengetahui apa yang perlu kuketahui, dan kini... aku akan memahami apa yang perlu kupahami.

Pada pagi hari tadi, perwira pasukan dimana diriku berada telah memberikan perintah kepada kami untuk segera bergegas. Dari radio kudengar bahwa sang Pangeran telah meninggal dalam pembunuhan yang dilakukan Ascarte. Dan keesokan harinya, perintah perang total diberikan kepada seluruh pasukan darat.

Semuanya terjadi begitu cepat, padahal aku ingat baru sekitar 3 bulan bertugas di perbatasan... setiap kali khawatir jika perang benar-benar terjadi. Namun sepertinya kekhawatiran itu menjadi kenyataan. Kami telah memohon kepada petinggi agar dipertemukan sehari saja dengan keluarga kami sebelum diberangkatkan menuju ke peperangan... tetapi sia-sia.

Oleh sebab itulah, aku meminta maaf sebesar-besarnya padamu, wahai Ibu dan adikku tersayang Erka. Luther tidak dapat kembali menjumpai kalian. Walau begitu, aku berjanji akan segera kembali jika semuanya telah berakhir. Akan kulindungi kalian dari orang-orang jahat tersebut.

Semoga Tuhan Selalu Memberkati.

Luther Eberwent'

"Apa surat yang kau tulis itu sudah diberikan, Luther ?"

Seorang pemuda pendek dengan giginya yang hilang satu membangunkan Luther dari lamunannya.

"Ya... sudah."

Bersedia dalam satu barisan rapi, prajurit-prajurit berseragam hijau gelap kini menenteng senapan di dada mereka. Pada punggung para prajurit nan kuat tersebut, membawa tas berisikan perlengkapan pendukung, tenda yang digulung pada atas tas... dan tidak lupa pula doa setiap orang terkasih mereka di belakang.

Daru mesin pesawat-pesawat biplane terbang di atas langit, elang hitam akan memenuhi angkasa Ascarte dan memangsa siapapun yang berani mengangkat cakar pada mereka. Kavaleri bersama dengan kuda yang ditumpangi membawa meriam-meriam besar Hauwitzer.

"Aku... sedikit takut soal perang ini, Luther."

"Lihatlah ke sekitar, Ulrich. Tiada orang yang benar-benar berani saat pergi ke peperangan."

"Tapi—"

"PRAJURIT KAISAR SEKALIAN, BERSIAP !"

Teriakan keras dari perwira tinggi mendiamkan seluruh prajurit. Mata mereka kini memandang tajam kepada petinggi mereka dengan kumis tebal melingkar tersebut. Sosoknya dipenuhi oleh wibawa, segan, dan ditakuti... gemerincing medali yang diperoleh pada masa peperangan menjadikannya sosok tertinggi di antara perwira lain.

"Seperti yang telah kalian ketahui, peperangan ini nyata adanya... dan kita tengah berperang dengan Republik Ascarte. Singkirkan rasa takut dan rasa iba kalian terhadap musuh yang hendak kalian hadapi nantinya. Mereka telah menginjak-injak Adlerburg... mereka telah membunuh sang Pangeran... dan mereka akan membunuh kalian dan semua rakyat yang hendak kalian lindungi."

"I Armie telah menggempur sebuah desa kecil di dekat Manen, kini pertempuran sengit tengah terjadi di sana. Kalian, yaitu 232nd Infanterei Division akan diterjunkan pertama kali pada pertempuran. Sang Kaisar tidak akan menerima kata selain kemenangan. DEMI TANAH AIR, DAN DEMI KAISAR !!!"

"DEMI TANAH AIR DAN DEMI KAISAR !!!"

----------------------------------------------------------------------------------------

Dikumandangkannya perang pada 10 Apreel 1830, Kekaisaran Adlerburg yang semenjak awal telah menyiagakan pasukannya di tepi perbatasan sebelum perundingan segera menjalankan rencana mereka yaitu Operasi Fruhlslengfild, yaitu rencana penyerangan pada awal musim semi untuk merebut 5 sektor penting pada perbatasan Ascarte. Gempuran dari pesawat-pesawat biplane angkatan udara Adlerburg pun ikut melemahkan titik-titik pertahanan yang telah dipersiapkan Republik Ascarte pada seminggu awal penyerangan. Apabila rencana ini berhasil, maka dapat dipastikan jalan menuju ibukota Ascarte dapat terbuka lebar