5 Februar 1830, Canibya
Tanpa sadar, sudah hampir sebulan kedatangan Eldrich pada Canibya. Ia yang sebelumnya tidak begitu yakin dapat hidup sendirian di pedesaan, walau desa ini adalah tempat tinggalnya dahulu, kini mulai dapat menyesuaikan. Dua minggu pertamanya di sini, memang terasa begitu cepat dan membosankan, sebab ia hanya menghabiskan waktu di rumah untuk memikirkan mengenai bagaimana ia akan menulis cerita novel terbarunya. Pelarian yang Eldrich lakukan demi menghindari panggilan wajib militer, dirasa bukanlah pilihan terbaik. Bahkan, satu-satunya orang yang ia harapkan dapat menghiburnya saat tengah merasa kosong... menjadi pisau bermata dua baginya.
Menghabiskan hampir separuh masa hidupnya di kota, berada pada keluarga ningrat Williem. Kebanyakan dari keluarga Williem mengabdi pada bidang arsip negara Liberios. Baik ibu tiri beserta ayahnya, mereka menghabiskan seluruh jiwa dan raga mereka demi negara. Begitu mulia mungkin, di pandangan setiap orang saat masuk ke gedung arsip. Menyaksikan kintakawan yang tengah sibuk pada mesin ketiknya, tiada suara lain yang dapat di dengar kecuali bunyi ketikan jari mereka pada setiap tombol mesin. Beberapa berada di resepsionis menghadapi setiap orang penting negara, menerima dokumen rahasia, dan tetap menjaga dokumen tersebut agar rahasia. Sebuah pekerjaan yang memang harus penuh oleh dedikasi, tidak bisa dilakukan sembarang orang biasa memang.
Karena itulah, kedua orang tua Eldrich jarang didapati di rumah. Saking sibuknya, bahkan hanya pulang sebentar, tidak lebih dari 3 jam hanya untuk mandi dan makan. Hubungannya dengan Eldrich tidak begitu baik, sampai-sampai sering terjadi pertengkaran antara dia dan ibu tirinya. Eldrich muda, yang berusia sekitar 15 tahunan pada masa itu berkeinginan untuk melanjutkan karier sebagai sastrawan disebabkan sedang banyak gerakan sastra pada masa itu. Namun ibunya menolak, berkata ia harus meneruskan jalan keluarga Williem, sebagai kintakawan.
Dan dengan hasil akhir yang bisa ditebak, Eldrich tidak memperdulikan perkataan ibunya. Ia pergi bersamaan dengan remaja sastrawan, bahkan tidak menghiraukan perkataan ayah kandungnya. Setelah hidup bertahun-tahun dalam kesulitan, karena menjadi seorang sastrawan tidaklah semudah yang ia pikirkan. Setiap orang paham bahwa 'Terbangnya Burung yang Tekurung' adalah novel pertama yang sukses besar dari Williem Eldrich, tetapi tidak ada yang tahu bagaimana puluhan naskah lain yang telah ia usahakan selalu ditolak selama bertahun-tahun.
Oleh karena itulah, saat ayahnya berkata ia bangga pada Eldrich... ia tidak merasa senang sepenuhnya. Seluruh perjuangan dimulai dari nol, saat dirinya tidak menjadi siapa-siapa dan tidak dibantu oleh siapapun, ia mampu menjadi sekarang sebab perjuangannya sendiri. Saat novel keduanya ia terbitkan dan kembali mencetak rekor penjualan, ia merasa bahwa ia dapat menghadapi dunia dengan tangannya sendiri. Sebaliknya, ia adalah pemuda yang naif.
"Tuan Williem Eldrich, sebuah kehormatan bagi kami untuk mengabarkan perihal ini secara langsung kepada Anda. Kami sangat menghargai karya yang telah Anda ciptakan dan berkatnya, negara Liberios dikenal hampir seluruh mancanegara. Oleh karena itulah, sebagai warga negara Liberios, kami berharap Tuan Williem Eldrich dapat menjadi contoh bagi setiap pemuda lainnya. Bahwa mereka dapat mengabdi dan membanggakan negara dengan mengikuti wajib militer yang diadakan setiap tahunnya."
Datangnya dua perwira militer pada depan apartemennya mengagetkan Eldrich. Ia tidak dapat berkata apa-apa pada saat itu, hanya dapat diam dan mengangguk sampai kedua perwira tersebut mengundurkan diri. Sebagai pemuda yang umurnya telah melebihi 18 tahun, wajib militer merupakan suatu keharusan, sehingga ia pasti akan dikirimkan menuju ke pelatihan. Menyadari keadaan benua Eurisia yang memanas, ia paham bahwa perang dapat terjadi kapan saja. Pada koran sering ia temui Kekaisaran Adlerburg yang terus menekan kerajaan-kerajaan kecil di Timur memaksa mereka untuk tunduk.
Eldrich sadar pada saat itu juga, bahwa selama ini yang ia lakukan hanyalah mengejar apa yang ingin ia capai. Dirinya tidak pernah sadar bahwa waktu yang ia habiskan berlalu cepat, termangu, kekayaan dan kesuksesan yang ia capai saat ini bagai tiada arti. Mengetahui dirinya dapat saja terbawa dalam peperangan, kematian dapat datang kapan saja. Sedangkan, untuk merasakan hidup saja ia tidak tahu bagaimana.
Dibayang-bayangi oleh hal tersebut selama berminggu-minggu, dengan alasan hendak melanjutkan novel lainnya. Ia terpaksa memohon pada ayahnya untuk mengatur kepergiannya menuju ke tempat yang tidak diketahui banyak orang, yaitu Canibya... kampung halamannya.
Teringat kembali pada kenyataan yang baru saja terlintas, Eldrich terdiam dalam sandaran kursinya. Tanpa ia sadari, mulutnya menyeringai dengan sebuah tawa kecil terlepas. Kini ia tertawa, menertawakan dirinya sendiri. Menertawakan betapa naif dirinya di masa lalu... dan betapa bodoh ia sebenarnya.
"Kalau dipikir-pikir, novel yang tengah kutulis sekarang... hanyalah alasan bagiku untuk melarikan diri. Tapi lihatlah..."
Mengalihkan pandangan pada dinding yang ada di depannya, telah terpasang lembaran sketsa yang selama ini ia gambar. Hampir setiap harinya, ia menghabiskan waktu bersama dengan Irene, dari saat pertama melihatnya bersandar pada pohon kastanye, menyusuri sungai kecil di hutan, menyaksikan hewan-hewan ternak, hingga bermain bersama anak-anak desa... ia mengabadikan semuanya dalam arsiran pensil tersebut.
Irene... menjadi matahari bagi Eldrich di saat dirinya dilanda oleh awan gelap, ia bersinar terang dengan uluran tangan hangatnya, mengajak Eldrich untuk pergi kesana kemari. Hari-hari yang biasa ia habiskan berdiam di rumah, merenung di depan mejanya dengan kertas dan fulpen, kini berubah sepenuhnya. Bukannya Irene yang mengajaknya untuk keluar dari lingkaran iblis, bernama pelarian ini, tetapi Eldrich yang memaksakan diri untuk menerobos maju. Ia bisa saja memilih untuk mengacuhkan gadis desa tersebut, tetapi entah mengapa, Eldrich memilih untuk mengikuti keinginan hatinya. Hati kecil, yang sudah lama tidak merasa kebahagiaan.
"Will ! Apa kamu di rumah ? Will !"
Baru saja Eldirch hendak meneruskan tulisannya, teriakan keras terdengar dari luar jendelanya. Mengernyitkan dahi karena sangat memahami suara barusan, lantas, menuruni anak tangga menuju ke pintu, Ia menjumpai gadis desa yang tidak bisa diacuhkan olehnya.
"Will—"
"Ada apa, Nona Irene ?"
Sapaan dari Eldrich menghentikan teriakan yang terus menerus ia ulang semenjak tadi.
"Apa kamu mau ikut denganku ?"
"Kemana kali ini ?"
"Ladang jagung."
"Ladang... jagung ?" Eldrich bertanya-tanya pada dirinya sendiri saat Irene mengajaknya untuk pergi ke ladang jagung.
Ia memang sering diajak pergi berkeliling Canibya hari demi hari, bahkan sepertinya waktu menulisnya kurang dibandingkan diseret kesana kemari oleh gadis satu ini. Eldrich sendiri sebenarnya agak lelah, karena tenaganya selama ini habis untuk jalan dari satu tempat ke tempat lain, apalagi rumahnya berada paling jauh dari desa.
"Ikut ? Ya ?"
Saat wajah penuh tulus itu memohon di hadapan Eldrich, sebagai seorang pria, terlebih lagi orang yang sering dibantu oleh Irene selama ini, tentu saja ia tidak dapat menolak ajakan tersebut. Tanpa ada lagi pertanyaan atau keluhan lain, ia menjawabnya dalam satu anggukan mantap dan langsung mengunci pintu rumahnya.
Berjalan berdua melintasi jalanan desa, Eldrich yang tidak bisa berinteraksi dengan lawan jenis selalu terdiam. Pemecah kesunyian di antara mereka berdua adalah Irene, perbincangan ringannya mengenai keadaan sekitar Canibya merupakan satu topik yang tidak henti-hentinya ia luapkan kepada Eldrich.
"Dengar dengar, Will. Kemarin waktu sepulang dari peternakan Marian, aku bertemu dengan babi liar."
"Babi liar ?!"
"Iya, beberapa kali aku pernah lihat di hutan... tapi babi liar yang kujumpai waktu itu begitu besar sampai kaget aku dibuatnya."
"Babi liar itu... yang berbulu lebat... dan mempunyai tanduk tajam ?"
"Tentu saja, memangnya yang mana lagi ?"
Gambaran babi liar besar dengan dua tanduk tajam langsung muncul dari benak Eldrich. Ia pernah melihat gambar babi besar yang muncul di koran dahulu, pemburu berhasil menembak mati babi itu yang ukurannya hampir sama dengan manusia biasa. Mengetahui hewan buas seperti itu bisa muncul kapan saja membuat bulu kuduknya berdiri.
"Ka... Kamu baik-baik saja kan ? Babi itu tidak menyerangmu ?" tanya Eldrich.
"Ya, dia langsung pergi waktu melihat diriku. Padahal biasanya mereka langsung menyeruduk manusia yang ditemuinya, baru kali ini aku bertemu yang langsung lari lagi ke dalam hutan."
"Menyerudu—"
Lagi-lagi Eldrich dibuat khawatir atas perkataan Irene, ia baru tahu kalau babi liar akan menyeruduk manusia saat bertemu. Diseruduk oleh hewan besar seperti itu... ia tidak dapat membayangkan akan sesakit apa rasanya.
"Sepertinya dia hendak mencuri sayuran dari peternakan seberang... beruntunglah berhasil kucegah sebelum terjadi."
"Memangnya hewan buas sering memakan tanaman ladang juga ?"
"Sering, terlalu sering malahan. Selain babi hutan yang merusak tanaman ladang... beberapa kucing liar seperti lynx beberapa kali menyerang babi dan ayam peternakan."
"Terdengar berbahaya... apa kalian tidak terganggu dengan hal itu ? Tidak memanggil pemburu untuk membasmi mereka ?"
Irene tiba-tiba saja berhenti berjalan, dia yang berada di depan Eldrich menatap padanya dengan ekspresi yang begitu jelasnya mengatakan pada Eldrich bahwa dia ini memang orang kota yang tidak paham apa-apa.
"Justru itu tidak baik..."
"Kenapa begitu ? Bukannya hewan liar merugikan kalian ?"
Menyeberangi sebuah jembatan, bunyi gemericik air sungai mengisi sunyi sejenak yang berlangsung di antara mereka. Pandangan Irene kini tengah menyusuri hutan lebat di samping kanannya, lantas menuju pada sebuah ladang kentang yang dipagar panjang. Satu-satunya pembatas antara hutan dan ladang tersebut ialah jalan setapak kecil yang tengah mereka lewati sekarang.
"Kau tahu, Will. Sebenarnya justru manusia yang merugikan." Ucapnya.
"Sedari awal, seluruh tempat ini adalah hutan lebat. Sampai orang-orang berpindah ke sini dan mulai menebang pohon demi membuat lahan pertanian dan peternakan. Kakek pernah berkata hal tersebut padaku."
"Heh... baru kali ini saya mendengar soal tersebut."
"Oleh karena itulah, kurasa yang dilakukan hewan-hewan liar itu adalah hal yang wajar. Karena mereka dulu tinggal di sini, mereka menganggap ladang serta ternak kita adalah bagian dari hutan tempat mereka tinggal. Apabila kita merenggut hidup hewan liar juga setelah rumah mereka, bukankah itu... terlalu kejam."
Irene menundukkan kepalanya ke bawah, tidak lagi mengatakan hal apapun setelahnya. Eldrich merasa bahwa pertanyaan yang ia ajukan tadi adalah satu hal yang seharusnya tidak ia ucapkan. Tetapi sebelum dirinya sempat untuk meminta maaf atau menghibur Irene kembali, tiba-tiba saja Irene menegakkan kepalanya ke atas.
"Baiklah ! Hari ini kita akan bekerja keras, jadi tidak boleh bersedih-sedih !"
"Bekerja... keras ? Untuk... apa gerangan ?"
Saat mereka berdua sampai di atas tanjakan, menggunakan jari jemarinya, Irene menunjuk pada ladang jagung yang terbentang luas di depan mereka. Ladang jagung tersebut merupakan ladang yang dulu pernah Eldrich lewati sewaktu pertama kali pulang ke Canibya. Kini, warna hijau mereka telah berubah menjadi kuning keemasan... menandakan masa panen telah tiba.
"Hari ini kita akan memanen jagung !"
"Kamu—"
Belum sempat Eldrich mampu menolak, Irene menarik tangan Eldrich membawanya turun menuju ke ladang jagung. Di sana telah terdapat beberapa pemuda bahkan anak kecil yang telah sampai terlebih dahulu, tengah memetik jagung yang telah siap untuk di panen. Bayangan Eldrich akan ajakan Irene sirna sudah, ia mengira bahwa Irene akan mengajaknya untuk menyisiri ladang dan bersenda gurau layaknya cerita romansa yang pernah ia baca. Namun kenyataannya, ia berada di sini dengan petani lain.
"Irene, datang juga ! Wah, kamu bawa tenaga kerja lain rupanya."
"Iya, Will kuajak untuk ikut bersamaku. Lalu, aku harus mulai darimana ?"
"Ladang pertama di seberang jalan sudah hampir selesai, kita kekurangan tenaga di ladang sini jadi..."
"Baik !"
Tanpa perkataan lagi, gadis itu segera bergerak menuju setangkai tanaman jagung di depannya. Dengan sigapnya, Irene mampu melepas jagung dari tangkainya dalam satu kali gerakan saja lalu segera melemparkan jagung tersebut pada kereta yang tidak jauh darinya. Petani lain pun melakukan hal yang sama, bergerak satu persatu, melemparkan jagung sangat cepat sampai berselang beberapa menit saja puluhan jagung telah terkumpul. Sedangkan Eldrich, ia masih terdiam tidak menyangka bahwa ladang jagung yang dulu ia lewati telah menjadi sekuning ini, tanpa disadari waktu berjalan cukup cepat baginya.
"Nak Williem ! Bagaimana denganmu ? Masih berdiam saja ?" seorang wanita paruh baya meneriakkan namanya.
Eldrich yang kaget langsung bergerak menuju setangkai kuning jagung yang dekat dengannya. Tidak ingin dirinya tertinggal serta menghambat yang lain, sekuat tenaga ia berusaha melepaskan jagung yang terbungkus dalam kulit seratnya. Beberapa kali ia mencoba tapi masih sulit melepaskan satu demi satu lapisan, tertinggal jauh di belakang gerobak yang telah maju.
"Will... jangan bilang kamu tidak bisa mengupas jagung dari kulitnya ?" Irene yang datang tiba-tiba mengagetkan Eldrich yang masih kesulitan melepaskan satu jagung.
Ia hanya terdiam tak menjawab pertanyaan itu, lantas membawa jagung yang berhasil ia lepas menuju ke gerobak. Irene mengikuti Eldrich, mengamati setiap gerakan saat ia tengah melakukannya lagi.
"Kudengar dulu keluargamu petani... masa melepas jagung dari tangkainya saja... tidak bisa." Helaan nafas panjang Irene semakin membuat Eldrich terpuruk.
"Ma-maaf... itu sudah sangat lama jadi..."
Irene tanpa berkata-kata lagi meninggalkan Eldrich, tepat pada saat itu juga ia merasa bahwa seluruh harga dirinya sebagai pria telah sirna. Beberapa anak yang melihat Eldrich terdiam membatu menjahilinya dengan melemparkan biji-biji jagung kepadanya. Eldrich yang kesal, beralih mengejar mereka dan memarahi mereka kalau biji-biji itu terbuang percuma.
"Nak Will ! Kalau tidak bisa memetik jagung, sini, aku ada pekerjaan untukmu !" Ibu Oliver, yaitu pemilik ladang ini memanggil namanya langsung.
Mendengar hal tersebut, Eldrich dengan mata berbinar-binar mendekat padanya. Kalau ia mendapatkan pekerjaan lain dan membantu, mungkin itu bisa memperbaiki pandangan Irene terhadapnya.
"Bagus ! Begitu Nak Will ! Pelan saja, jangan terlalu cepat menariknya !"
"Yah... sangat membantu memang ya pemuda sepertinya, tenaganya masih banyak. Pemuda di Canibya sangat sedikit sih, kebanyakan dari mereka juga malah pergi ke kota, tidak mau membantu di ladang."
Rupanya bantuan yang mereka butuhkan ialah menjadi penarik gerobak. Dari kanan dan kiri, jagung-jagung berdentum jatuh pada gerobak kayu yang ia bawa. Meski pekerjaan ini membantu petani karena mereka sangat cepat memanen jagung, jika ada yang menarik gerobak maka tidak perlu berhenti untuk menariknya maju, jadi bisa bergerak pelan mengikuti panen mereka.,, entah mengapa, Eldrich tidak berpikir demikian.
"Sayang sekali kakekmu ada urusan di Friedeland ya, Irene. Padahal kudanya bisa membantu kita menarik gerobak-gerobak ini."
"Mau bagaimana lagi... kakek memang suka menyibukkan dirinya di kota. Tapi beruntungnya, kita punya tenaga lain untuk menarik gerobak."
Eldrich hanya mampu menggigit bibirnya dengan kesal saat mendengarkan percakapan Irene dengan Ibu Oliver. Dirinya merasa ia menang... dan kalah dalam waktu bersamaan. Merasa senang karena mampu membantu mereka, tapi tenaga bantuannya disamakan dengan seekor kuda.
"Ngomong-ngomong, Ibu Oliver... ladang ini... seberapa luasnya ?" cetus Eldrich.
"Hmmm... kalau ditambah dengan ladang di seberang. Totalnya sekitar... 5 hektar."
"Lima... hektar..."
Kedua lututnya tiba-tiba jatuh begitu mendengar angka tersebut. Mulai dari sekarang, Eldrich menanamkan pada dirinya sendiri, bahwa menjadi petani ialah pekerjaan mulia. Melakukan ini... hampir setiap musim, memanen 5 hektar lahan... pasti menjadi pekerjaan paling melelahkan di dunia.
-o-
"Kerja bagus, Will. Tidak buruk juga bagi anak kota."
"Terima kasih... atas sanjungannya."
Eldrich terkapar lemas pada dataran penuh oleh ladang yang hanya menyisakan tangkai jagung saja. Dia bingung bagaimana bisa Irene masih dapat berdiri dengan cerianya bercakap-cakap dengan ibu-ibu petani sementara ia sendiri tidak lagi merasakan kakinya serta punggungnya terasa sakit sebab seharian menarik gerobak.
"Nak Will, kamu pasti lelah kan ? Minumlah ini." Seorang petani memberikannya secangkir minuman dengan warna coklat keputihan padanya.
Saat ia menenggak minuman tersebut yang dikiranya sebagai teh, dirinya terkejut dengan rasa menggelitik yang dirasa pada lidahnya. Ia melihat lagi pada cangkir, terdapat buih di atas minuman tersebut. Merasa asing dengan rasa baru yang tertinggal di lidahnya, ia mengalihkan pandangan pada Irene. Dia memberikan sebuah jempol kepadanya.
"Rasanya cukup pahit... tapi, menyegarkan. Minuman apa ini ?"
"Rambic..."
"Rambic ?"
"Sejenis bir. Kami membuatnya sendiri dari fermentasi gandum."
"Bir ?! Di siang bolong seperti ini, apalagi di tempat umum ?! Apa... baik-baik saja ?"
Petani tersebut memandangi Eldrich dengan mata penuh kebingungan. Ia melirikkan mata ke arah lain, petani pria yang lain tengah memegang cangkir dengan minuman yang sama sepertinya, bahkan beberapa ada yang menenggak langsung dari wadahnya.
"Bukankah itu biasa ? Ada yang salah kah ?" tanyanya pada Eldrich.
"Tidak... di kota... minum di siang hari bisa ditangka..." tanpa memikirkannya lagi, Eldrich menenggak Rambic sepenuh hatinya. Ia bahkan meminta untuk menambah lagi saat cangkirnya telah kosong.
"Lebih enak lagi kalau dibarengi dengan makanan, silahkan, sup jagungnya." Lantas dari ibu petani ia diberi semangkuk sup pada tangannya.
Begitu ia mencium bau harum sup, aroma yang manis menggugah seleranya. Setelah bekerja dari pagi hingga mendekati sore ini, tentu saja perutnya sudah sangat lapar. Di sisi lain, Irene juga mendapatkan semangkuk sup yang sama, kemudian mereka berdua tanpa basa basi melahap makanan tersebut.
"Hmp— Ke-keras..."
Saat hendak menggigit jagung yang ada pada sup, Eldrich dikagetkan dengan betapa kerasnya jagung itu. Walau rasa dari supnya sendiri sudah sangat teramat enak, entah mengapa ia rasa biji jagungnya malah menghancurkan makanannya. Irene, yang sama-sama mendapat sup, dapat makan dengan lahap tanpa mempermasalahkan apapun.
"Tentu saja keras, jagung ini memang tidak ditanam untuk dimakan."
"Heh... jika bukan, memangnya untuk apa ?" tanya balik Eldrich pada Irene.
"Pakan hewan."
"Pakan he..."
Jadi yang ia makan saat ini adalah makanan yang sama seperti hewan, pikir Eldrich dari dalam hatinya. Perutnya yang terlanjur tidak kuat, mau tidak mau membutuhkan sesuatu untuk dicerna, sehingga Eldrich terus memakan sup tersebut. Langit yang menjingga, diramaikan oleh kumpulan petani yang menikmati istirahat mereka setelah seharian penuh memanen jerih payah mereka selama ini. Tiada hal yang jauh lebih mereka hargai selain mendapati kerja keras mereka terbayar.
"Meskipun keras... supnya lumayan enak." Komentar Eldrich begitu sesi istirahat mereka telah usai, kini ia tengah duduk memandangi matahari yang hendak tenggelam.
"Bilang saja karena tidak ada makanan lain."
"Ka-Kalau itu..." Eldrich tidak dapat menyangkal cetusan Irene tadi.
Mengalihkan pandangannya pada gerobak-gerobak yang kini telah dipenuhi oleh jagung, Eldrich melayangkan kembali pertanyaan pada Irene. Sebab, bagi dirinya yang penuh oleh keingintahuan, Irene yang telah tinggal cukup lama di Canibya dibandingkan dirinya jauh lebih paham.
"Selepas ini, bagaimana dengan jagung-jagung yang telah kita petik, Nona Irene ?"
"Di jual di pasar besar Friedeland tentu saja. Tapi karena jagung ini untuk pakan hewan, harganya tidak akan setinggi jagung biasa."
"Begitukah. Bukankah... sedikit percuma jikalau harganya tidak setinggi jagung biasa. Mereka telah capai-capai menanam dan merawatnya sampai sekarang, tapi harganya tidak..."
Irene kembali menunjukkan pandangan penuh kekecewaan pada Eldrich, matanya yang menunjukkan bahwa Eldrich adalah orang kota bodoh yang tidak tahu apa-apa kembali menusuk hatinya.
"Pakan hewan sangat dibutuhkan pada saat-saat seperti sekarang. Sebab di musim dingin mustahil untuk membesarkan gandum... maka tidak ada pakan untuk ternak kan. Jenis jagung ini kuat bertahan di musim dingin dan masa tumbuhnya tidak selama jagung biasa. Selain itu, bisa dijadikan makanan darurat pula."
"Tapi tetap saja..."
"Perkataanmu memang tidak salah. Agak sia-sia menanam sesuatu yang harganya tidak seberapa. Tapi mau bagaimana lagi. Musim tersulit bagi petani ialah musim dingin, mereka tidak bisa menanam apa-apa di musim dingin. Sudah tidak memiliki penghasilan... kesulitan makanan juga. Berbeda dengan para peternak. Tetapi peternak kesulitan di musim dingin karena pakan mereka..."
"Bisa dibilang, semua hal saling terhubung dan berputar. Menanam jagung untuk pakan hewan bisa membantu peternak. Petani terbantu karena terdapat pasar yang membeli hasilnya, serta memiliki makanan cadangan. Sisa jagung seperti kulit dan bonggolnya bisa dijadikan pupuk." Lanjutnya kembali.
"Artinya... ini semua mengenai bagaimana, segala sesuatu itu berarti, bagi petani ?"
"Ya, itu !"
Memahami sepenuhnya apa yang dimaksudkan oleh Irene, setelah hidup selama hampir 20 tahun ia memahami mengenai betapa pentingnya pekerjaan ini. Orang-orang kota mesti tidak sadar akan bagaimana sayuran serta daging yang ada di meja makan mereka sampai. Pandangan terhadap petani begitu rendah, dengan bukti tiada media yang mau meliput mengenai mereka, koran setiap hari berisikan jika tidak mengenai keluarga kerajaan ya kericuhan yang terjadi hari demi hari. Padahal negara ini dapat hidup dan berkembang berkat para petani. Seperti pada koin 10 Guld, dianggap tak berarti karena nilainya begitu kecil dan memiliki warna paling keruh dibandingkan koin lain. Namun, tanpa adanya 10 Guld saja, 40 Guld yang ada di tanganmu itu tidak bisa dipakai untuk makan.
"Baiklah ! Setelah kenyang, tinggal waktunya pulang !"
"Akhirnya... tubuh saya telah sepenuhnya lel—"
Begitu selesai membentangkan tangan untuk melemaskan ototnya, permukaan kasar nan keras terasa pada telapak tangan Eldrich. Tangan kanannya yang dipaksa oleh Irene telah memegang gerobak penuh oleh jagung, di belakang mereka telah bersiap untuk mendorong gerobak tersebut.
"Kita perlu membawa gerobak ini ke desa, kan ?"
Ia hendak menyangkal perkataan Irene tetapi dari arah kiri telah lewat seorang pria berumur kisaran 50an yang tanpa kesukaran menarik gerobak itu. Untuk sekali lagi, dia tidak dapat menolak... terpaksa melakukan satu pekerjaan berat lagi padahal ia baru saja beristirahat. Ditemani oleh dorongan penuh semangat dan teriakan para petani membawa gerobaknya, matahari kini tenggelam pada ufuk barat.
Sesampainya di gudang, gerobak demi gerobak di taruh lantas ditutup rapat pintu gudang. Rencananya mereka akan dijual mulai esok hari, menunggu layanan kuda dari kakek Irene. Duduk bersandar pada dekat pintu masuk gudang, Eldrich bertanya-tanya kenapa bisa dari seluruh petani di desa ini tiada satupun yang memikirkan untuk memakai kuda untuk menarik gerobak berat ini.
"Harga kuda itu mahal loh."
Tanpa ia sadari, ternyata Irene mendengar keluhan yang barusan Eldrich keluarkan.
"Memangnya berapa, harga satu ekor kuda ?"
"Hmm, untuk kuda tani... kalau kualitas biasa, kakek pernah bilang harganya sekitar 16.000 Guld."
"Enam belas ribu ?!" teriak kejut Eldrich begitu mendengar angka yang sangat besar tadi.
"Setengah harga mobil..."
Satu unit mobil tahun 1820 keluaran Bia, yaitu Bia Adlarr 1820 saja harganya 30.000 Guld sekarang. Ia tidak menyangka harga seekor kuda bisa setengah harga unit mobil, dipikirnya, harga kuda dibawah 10.000 Guld. Penghasilan rata-rata pekerja di ibu kota saja sekitar 12 Guld per jamnya, menurut peraturan pemerintah batas waktu bekerja paling banyak ialah 12 jam sehari, maka dalam satu bulan hanya mendapat 4320 Guld.
'Harganya setara dengan gaji 4 bulan. Itu pun apabila tidak makan atau membayar hal lainnya, makan saja bisa habis 120 Guld satu harinya.' Pikir Eldrich dari dalam hati, pusing memikirkan ekonomi rumit yang pernah ia pelajari dari ayahnya.
"Karena itulah tidak banyak yang punya kuda. Di sini saja yang punya hanya kakek... dia dulu punya sekitar 5 kuda tapi sekarang hanya menyisakan, Rudolf satu-satunya."
"Begitukah... saya sendiri kurang yakin bisa membeli satu ekor atau tidak..." Dari penjualannya selama satu bulan bisa sekitar 10.000 Guld ke atas, tapi tentu saja itu masih terhitung mahal bagi seorang penulis terkenal seperti Eldrich.
"Saking mahalnya Rudolf... ia jauh lebih mengurusi kudanya dibandingkan cucu satu-satunya ini... ahaha." Dengan senyum pahit, Irene menertawakan kesedihannya tersebut.
Selepas mengucapkan salam pada keluarga Oliver, dengan ini pekerjaan mereka telah benar-benar usai. Mereka berdua berjalan berdampingan saat langit telah menggelap dan hanya kegelapan semata dari mata mereka memandang. Suara dari hewan-hewan malam kini menjadi musik bagi desa Canibya.
"Will, kudengar dari kakek, kamu.... tinggal di sini sendirian ?"
"Iya, itu benar. Saya kini menempati rumah yang pernah ditinggali semasa kecil."
"Begitukah... apa kamu tidak kerepotan setiap harinya ? Bagaimana dengan makananmu ? Pakaianmu ? Atau... bersih-bersih segalanya ? Apa kamu kesusahan ?"
Mendapati kabar bahwa Eldrich merupakan seorang pemuda yang tinggal sendiri, gambaran mengenai bagaimana ia tidak bisa mengurus dirinya sendiri serta rumah menjadi ladang pekerjaan bagi Irene. Ia telah biasa melakukan pekerjaan rumah, jadi mungkin saja Eldrich akan mempekerjakannya juga.
"Mungkin... bisa dibilang, kesusahan."
"Kalau begitu, apa kamu butuh bantuanku ? Dibayar tentunya !" secara sigap, Irene mengajukan dirinya tanpa pikir panjang pada Eldrich.
"Maksud kamu... menjadi, pembantu ?"
"Ya !"
Dipikir-pikir lagi, menyewa jasa Irene bisa saja meringankan bebannya selama ini. Selain dirinya tidak begitu pintar memasak, cucian baju selalu menumpuk setiap harinya karena berjalan melewati pedesaan gampang membuat kotor bajunya. Bantuan Irene terbilang menggiurkan, tapi saat hendak menerima hal tersebut, satu hal tercetus dalam benak Eldrich. Ia... adalah pemuda, terlebih lagi adalah pria dewasa, yang tinggal sendiri di rumahnya. Apabila gadis muda, seperti Irene bekerja di rumahnya... maka mereka akan berdua setiap waktu. Berdua dengan gadis belia... nan manis sepertinya...
"Irene, kau cukup telat juga." Suara serak dari Frederik membuyarkan fantasi Eldrich.
"Maaf, tadi panen banyak jadi..."
"Ya sudah, cepat buatlah makan malam, aku sudah lapar."
"Ya~ Kalau begitu, sampai besok Will !"
Lambaian tangan Irene menjadi lambang perpisahan bagi mereka berdua hari ini, rumah Eldrich yang masih ada sekitar satu kilometer dari sini... terasa sangat jauh baginya. Tetapi bayangan mengenai kehidupan mereka berdua yang tadi terlintas dalam benaknya, dapat menjadi peneman Eldrich saat melangkahkan kaki pada gelap gulitanya Canibya di malam hari.