Kekaisaran Adlerburg, negara digdaya yang menguasai hampir sepertiga benua Eurisia, dari tengah hingga daratan timur nan dingin. Negara revolusi yang dipenuhi oleh pabrik-pabrik, rakyat yang keras, dan tanah kelahiran dari para pemikir baik penemu dunia hingga politikus terkemuka. Bangkit dari pemikiran Löwe von Mackenheim, sang Kanselir Baja berhasil menyatukan 20 negara bagian dalam satu kepemimpinan Kaisar mereka, yaitu Friedrich nan Agung. Konfederasi Adlornian, berisikan rakyat-rakyat yang memiliki sejarah sama, budaya sama, dan darah daging yang sama berperang melawan Kerajaan Ascarte dan Kerajaan Helgania untuk membebaskan diri. Sampai perundingan besar di adakan dan secara resmi Kekaisaran Adlerburg berdiri pada 1750.
Kaisar Friedrich de Kaiser meninggal tiga puluh tahun setelahnya, meninggalkan seorang penerus yaitu Pangeran Reinard de Leopo untuk memimpin di usianya yang masih muda. Dalam kepemimpinan sang Kaisar muda itu, Kaisar Leopo I berambisi besar untuk menyatukan kembali wilayah yang dulu pernah diperoleh Konfederasi Adlornian pada Perang 50 Tahun. Sampai tahun 1815, Kekaisaran Adlerburg berhasil menaklukkan 10 negara bagian di timur dalam satu bendera yang sama.
Kekaisaran yang baru terbentuk, sangat muda, dan begitu berambisi berlomba untuk menyamakan diri dengan negara digdaya lain yang telah bertahan puluhan abad. Teknologi perang Adlerburg semakin berkembang seiring waktu, penemuan meriam besar Hauwitzer dan Nadelgeweer atau senapan-jarum yaitu senapan dengan sistem bolt-action untuk membuka dan menutup senapan, ialah penemuan yang paling inovatif pada masanya. Berkat itulah, Kekaisaran Adlerburg mampu mempertahankan diri dari gempuran musuh dan bahkan semakin memperluas wilayahnya pada tahun 1750-an.
Layaknya serigala, lambang negara mereka, Adlerburg tidak berhenti menunjukkan rasa haus untuk terus berburu dan memperlihatkan taringnya. Dalam pimpinan Kaisar yang kuat, Kaisar Leopo I, Adlerburg berdiri sebagai negara militer dengan jajaran petinggi yang sangat loyal, mereka begitu menghormati sang Kaisar layaknya penyelamat bangsa. Tak ingin kalah dengan Republik Ascarte yang berseberangan dengan mereka, jutaan prajurit dilatih dan dipersenjatai dengan senapan-senapan terbaru dan meriam nan besar. Bahkan Kerajaan dimana matahari tak pernah tenggelam, Kerajaan Helgania, mereka tantang dengan membangun ratusan kapal tempur besar demi menyaingi angkatan laut terbesar di dunia saat ini. Setiap rakyat Adlerburg telah memahami bahwa negara mereka lahir dari luka dan darah para pendahulu, maka dari itulah bekerja keras adalah moto bagi setiap rakyat Adlerburg. Keringat ialah bukti bahwa rakyat Adlerburg telah mencurahkan segalanya bagi bangsa... dan hati sekeras baja mereka tidak akan pernah goyah oleh apapun.
Falkenland, ialah bukti nyata dari jiwa Adlerburg sesungguhnya, berdiri semenjak 1750 awal bersatunya negara timur dalam Konfederasi Adlornian, Falkenland tidak pernah runtuh atau bahkan tersentuh pasukan manapun. Kota besar dengan ratusan gedung bertingkat tinggi memanjang, jalanan luas penuh oleh mobil bising serta kereta trem tiada henti mengangkut penumpang, di sudut trotoar yang dapat terlihat ialah para cendekiawan memakai kacamata bundar besar memanggul buku tebal mereka. Semangat dari Kanselir Baja tidak luntur pada tempat dimana ia dilahirkan, di kota inilah setiap orang hebat lahir. Sang Kaisar Leopo I menginginkan Falkenland agar sejajar layaknya Caymlot Kota Industri dari Helgania, atau Marsleise Kota Seni dari Ascarte. Falkenland adalah Kota Pusat Benua, disebabkan letaknya yang berada di tengah Benua Eurisia. Demi memenuhi namanya, banyak dibangun monumen, bangunan megah, dan patung para pahlawan pendahulu Adlornian. Tiada pelancong yang bisa melupakan pengalaman mereka di Falkenland, banyak yang mengenangnya sebagai kota arsitektur, kota cendekiawan, dan kotanya para militer.
Pada Falkenland sendiri dibagi menjadi dua daerah berupa daerah pusat berisikan segala keindahan Adlerburg dan kawasan industri Kranke. Kawasan Industri Kranke, adalah tempat lahirnya penemuan dan rumah bagi setiap pekerja Falkenland. Mayoritas masyarakat yang terbagi dalam dua kelas yaitu kapital dan pekerja, menyebabkan perpisahan dua daerah tersebut terjadi. Pemberontakan pekerja pada 1800 menjadi wajah kelam mengenai ketimpangan kelas sosial di Adlerburg. Korban banyak berjatuhan dari kaum pekerja dimana mereka hendak memperjuangkan persamaan hak yang sama dengan kaum kapital, tetapi dibalas dengan rentetan peluru.
Sebab itulah, Kawasan Industri Kranke kini menjadi kawasan yang dijaga begitu ketat dan terpisah sepenuhnya dengan daerah pusat. Perlakuan semena-mena sering didapat dan dikurangi kebebasan mereka untuk dapat keluar dari kawasan, menyebabkan kemiskinan menjadi hal yang tak terhindarkan. Para orang dewasa tidak berhenti bekerja pada pabrik raksasa yang tidak memperdulikan keselamatan, sampai-sampai anak remaja bahkan ikut dipekerjakan di dalamnya. Kasus kematian pada pabrik adalah makanan sehari-hari bagi penghuni Kranke.
"Sampai-sampai kau jatuhkan kotak itu dari tanganmu, jangan harap kau bisa muncul esok hari !" teriak pak tua dengan baju nan kumuh.
Seorang pemuda yang tengah membawa kotak besar penuh oleh batu bara, tergopoh-gopoh berjalan di bawah teriknya matahari. Bersamaan dengan pemuda-pemuda sama sepertinya, mereka menyekop onggokan batu bara yang baru sampai dari gerbong kereta. Disekoplah satu persatu pada kotak yang telah ditunggu pemuda lain, setelah penuh kotak di bawa menuju ke pabrik sebagai bahan bakar. Sementara yang muda bekerja, yang tua meneriakkan perintah-perintah disertai ancaman kejam agar produktivitas pekerja serabutan tersebut tidaklah menurun.
"Siapa bilang kau boleh berhenti keparat ! Kau boleh istirahat jika jam kerjamu selesai ! Bangun !"
Menghampiri pekerja yang tengah malas-malasan, tendangan keras dilepaskan pada mereka. Keadaan keras seperti ini adalah hal yang dianggap wajar di Kranke, tidak adanya regulasi keamanan dan peraturan buruh maka atasan dapat memperlakukan pekerja seperti mereka seenaknya. Satu-satunya hal yang bisa menyelamatkan mereka dari keadaan neraka tersebut hanyalah perubahan. Tetapi perubahan terakhir menyebabkan pemberontakan berdarah dengan ribuan nyawa menghilang dalam sekejap mata.
"Kalian adalah rakyat Adlerburg ! Bekerja keraslah demi memajukan negara ! Di tangan kalianlah nasib Adlerburg berada !" ucapan penuh semangat datang dari sisi lain.
Pria dengan pakaian hijau gelap militer terlihat berdiri di atas plafon dengan pengeras suara berada di kanan kiri. Dia tidak ada henti-hentinya mengucapkan hal tersebut sembari teman-temannya membagikan selebaran kertas berisikan perkataan muluk petinggi mereka. Semakin hari, semakin banyak keberadaan dari orang-orang itu, yang tak lain dan tak bukan adalah militer Adlerburg.
"Setiap pekerja dibutuhkan ! Setiap bantuan diperlukan ! Demi memajukan Adlerburg dan demi Sang Kaisar !"
'Demi sang Kaisar...' gumam pemuda berambut pirang keputihan yang kini diam mendengarkan perkataan tersebut.
'Sang Kaisar itulah yang telah menyebabkan semua ini terjadi... jika bukan karenanya, maka ayah masih berada di sini dan hidupku tidak seperti sekarang' Ia hanya bisa mengucapkan kata-kata itu di dalam hatinya, apabila terucap sedikit saja perkataan yang menghina sang Kaisar maka hukuman berat akan ia terima.
"Kau, pemuda di sana. Ini bayaranmu untuk hari ini."
"Terima kasih."
Menerima upah kerjanya hari ini, yang tidak begitu banyak tentunya, dia hanya bisa terdiam dan menggenggam erat uang kertas tersebut. Melewati sudut demi sudut kota, cerobong besar pabrik melepaskan asap hitam ke angkasa. Bunyi dentingan mesin yang keras dan teriakan pekerja yang bertengkar dengan polisi setempat memekakkan telinga. Bahkan suara burung yang kembali ke sarang di sore hari sama sekali tidak terdengar di Kranke. Hanya mesin, teriakan, dan asap hitam saja yang memenuhi sudut kota ini.
Sampai pada rumah panjang berjejer dengan cerobong serta jendela kayu, pemuda tersebut mendorong gerbang masuk berupa kerangkeng besi yang berat. Tangannya yang gemetaran saat mendorong menggambarkan betapa lelahnya dia saat ini. Dan lelah itu tidak bisa langsung sirna, sebab ia perlu berjalan lagi menyeberangi lorong penuh oleh bisingnya penghuni kamar lain. Menaiki tangga yang telah reyot, pandangan sinis didapatkannya dari seorang pak tua. Angin melintas, membawakan perkataan berupa,
"Dasar anak si pengecut..."
Namun dia tak bergeming, terus melanjutkan langkah dari satu tangga ke tangga lain hingga ke lantai tertinggi yaitu ketiga. Kamar mereka berada di pojok ruangan, dengan pintu yang penuh oleh goresan.
"Luther !"
Sapaan ceria dari balik pintu menyambut kedatangan pemuda. Raut wajah penuh lelah serta kelam, kini menampilkan setitik senyum di bibir. Dibelainya rambut si gadis kecil yang menantinya, dia pun mengikuti Luther, nama dari pemuda berambut keputihan itu ke ruang tengah yang teramat sempit. Di tengah ruangan terdapat meja besar, digunakan untuk makan, serta dua kasur di kanan kiri. Pada kamar berisikan satu kamar mandi dan satu ruang tengah saja, hiduplah sepasang kakak beradik. Mereka tinggal pada hunian khusus di Kranke, yaitu rumah susun pekerja. Setiap pekerja yang berada di Kranke hampir tidak memiliki rumah, mereka tinggal di kamar kecil seperti ini yang sangatlah murah. Bahkan ada yang tanpa biaya, tetapi mereka tidak memiliki kamar masing-masing... hanya satu kasur dan hidup pada atap yang sama, kamar mandi yang sama, dan makan makanan yang sama.
"Ibu masih belum pulang ?" tanya sang kakak saat adik duduk di meja, asyik pada bukunya.
"Tidak tahu."
"Apa kamu lapar, Erka ?"
Anggukan penuh kegirangan menunjukkan jawaban pasti pada Luther. Padahal dirinya yang hendak ingin langsung tidur tidak tega menyaksikan gadis kecil sepertinya tersebut kelaparan sejak siang hari. Sebab ibu mereka pergi bekerja pada pabrik garmen dari pagi hingga malam, mereka terkadang hanya bisa makan sekali dalam sehari.
"Ini, makanlah yang banyak."
"Kentang lagi... Luther ?"
"Hanya itu yang kita punya."
Bibir Erka terlihat cemberut, meskipun begitu, anak yang masih kecil sepertinya ini seakan paham dengan keadaan keluarga mereka dan memaksakan diri untuk memakan masakan dari kakaknya. Menyendok bola kekuningan pada piring, Erka memotongnya kecil-kecil sebab begitu besar. Kurtoffel, adalah masakan sederhana dari Adlerburg berupa kentang yang dihaluskan dan dicampur dengan rempah-rempah lantas langsung di masak.
"Luther tidak ikut makan ?"
"Aku masih kenyang, makanlah, jangan hiraukan kakakmu."
Merebahkan tubuh pada lantai keras nan dingin, Luther memandangi langit-langit kamar mereka yang bersinar oleh cahaya terang pabrik di luar jendela. Meski telah mendekati malam, pabrik-pabrik di Kranke tidak berhenti bekerja. Penat mulai memenuhi matanya, dunia penuh bising serta bisikan sinis kini memudar.
Kreek....
Suara dari pintu kayu yang terbuka mengagetkan Luther, sontak dirinya kembali teringat bahwa waktu masuk tadi tidak ingat sudah menguncinya apa belum. Tingkat kejahatan Kranke cukup rendah sebab pengawasan ketat dari militer dan polisi, tetapi kemungkinan adanya pencuri tidak rendah. Saat ia hendak beranjak dari lantai, siluet dari seorang wanita dengan tas terlihat berjalan menuju arah ruang tengah.
Rupanya ia adalah ibu mereka, melepas mantel tebal yang dikenakan, ia langsung bergerak menuju pada tempat tidur di sebelah kanan. Menunduk sembari mengelus Erka yang tengah tidur di sana, Luther memandangi ibu tersebut dari jauh.
"Maafkan ibu, Erka... karena meninggalkanmu." ucapnya pelan pada sang gadis kecil.
Mendengar perkataan tersebut, Luther memejamkan matanya begitu keras.
'Lantas mengapa kamu meminta maaf bila terus melakukannya setiap hari.' Geramnya di dalam hati.
-----------------------------------------------------------------------------------------
Pada Adlerburg, saat pemuda beranjak menjadi dewasa hanya akan memiliki dua pilihan, yaitu menjadi pekerja untuk seumur hidup atau mati demi negara sebagai seorang tentara Kaisar. Setiap bulannya, propaganda dikerahkan dari daerah ke daerah untuk menarik minat pria agar bergabung ke militer. Militer Adlerburg tersendiri merupakan salah satu terbesar dan terkuat di dunia, dengan jumlah 4 juta prajurit pada tahun 1825. Jumlahnya diperkirakan akan terus menaik seiring panasnya Adlerburg dengan Ascarte.
Konflik yang tiada henti di perbatasan, perluasan wilayah menggunakan kekerasan ke setiap negara di Timur, menimbulkan banyak korban jiwa yang tak terhitung. Tetapi, rakyat Adlerburg bukannya menentang perang tiada henti tersebut, mereka justru mengagumi Kaisar Leopo I yang membawa kemenangan kepada Adlerburg. Meskipun telah menjajah negeri tetangga, bahkan melakukan kejahatan besar seperti pembantaian di Kerajaan Beglavia, Adlerburg terus mendapatkan dukungan dari rakyat.
Banyak pemuda Adlerburg yang memilih bergabung pada militer disebabkan tunjangan kematian yang begitu besar. Meski gaji tidak seberapa, iming-iming petinggi yang berkata bahwa mereka akan membanggakan negeri bagai menarik ngengat pada nyala api. Tidak sadar kematian dan kesengsaraan yang menanti mereka di depan, wajah-wajah berseri penuh keberanian tersebut mengantre pada setiap pos militer untuk mendaftar.
"Lihatlah, rupanya anak dari pengecut itu masih berani muncul di sini."
"Pergi sana, dan sembunyi, seperti ayahmu itu !"
Di saat Luther tengah bekerja mengangkat sekotak berat botol minuman, gerombolan remaja menghina dirinya. Kejadian ini bukan kali pertama yang Luther alami, semenjak kecil dia sering mendapat perlakuan sama sebab apa yang dilakukan Ayahnya.
Ayah Luther, merupakan salah satu pria yang terjerumus dalam propaganda Adlerburg. Demi menyokong keluarganya, ia mendaftar sebagai prajurit dan dikirimkan menuju penyerbuan negara timur pada 1820. Tetapi sampai sekarang keberadaan ayahnya tidak diketahui, dari kawan seperjuangan ayahnya, mereka berkata bahwa ayah Luther adalah seorang desertir. Ia meninggalkan garis depan dan kabur dari peperangan.
"Kau tidak pantas berada di sini, Kaisar tidak butuh orang sepertimu !"
"Pengecut sepertimu sama rendahnya dengan Lav !"
Tidak tahan lagi mendengar ocehan demi ocehan yang dilontarkan padanya, Luther langsung menaruh kotak berat tersebut dan melayangkan pukulan keras pada pemuda tertinggi. Sontak, kawan-kawannya mengeroyok Luther yang kalah jumlah 1 melawan 3. Namun badan Luther yang jauh lebih kekar daripada mereka dapat mengimbangi, berbeda dengan pemuda yang menyerangnya, Luther tidak jatuh meski ditendang dan dipukul berkali-kali. Pertengkaran jalanan seperti ini adalah makanan sehari-hari baginya.
"Hei ! Hei kalian pemuda di sana !" teriakan keras terdengar dari arah jauh.
Polisi berseragam biru tuanya berlari ke arah mereka sembari menodongkan tongkat. Pemuda yang menyerang Luther segera kabur melarikan diri, Luther mencoba untuk menendang kaki seseorang dari mereka dan membuatnya terjatuh. Tetapi belum sempat dirinya menahan si pria itu agar ditangkap bersamanya, dia berhasil berdiri lagi sedangkan tangan Luther digenggam erat oleh sang polisi.
"Kembali sini dasar pengecut ! Lihat siapa yang berlari terbirit-birit sekarang !" Luther berteriak sekeras mungkin ke arah para pemuda itu berlari.
"Pemuda seperti kalian bukannya bekerja di siang hari, malah saling menyerang satu sama lain ! Berhenti menambah pekerjaan bagiku !"
Segera polisi memasangkan rantai besi pada kedua tangan Luther, tanpa bisa melawan, ia kini hanya terdiam saat polisi menyeretnya menuju ke pos polisi terdekat untuk dimintai pertanggungjawabannya.
"Luther !"
Dekapan penuh khawatir diterima oleh Luther begitu dia dikawal oleh polisi menuju ke rumah mereka. Dikarenakan tidak adanya kerusakan yang begitu berarti dan korban, maka Luther dilepaskan dengan peringatan saja. Walau begitu, dikarenakan ia sering melakukan pertengkaran, maka jika terulang hal yang sama kembali hukuman berat akan diterima olehnya.
"Berapa kali ibu bilang ! Jangan bertengkar lagi !"
Diam tak menjawab amarah ibunya, Luther merasa bahwa pertengkaran yang dilakukan olehnya adalah perbuatan yang setimpal.
"Lihatlah dirimu, penuh lebam ! Terima kasih polisi, terima kasih banyak telah melepaskan anak lelakiku ini."
"Sebaiknya Anda terus mengawasinya. Luther ini terlalu sering bertengkar dan ini sudah kasus yang kesekian kalinya. Jika sampai terjadi lagi... ditakutkan kami harus menjatuhi hukuman padanya."
"Terima kasih... terima kasih banyak."
Tiada henti, Ibu Luther terus mengucapkan terima kasih dan permintaan begitu besar kepada pak polisi yang mengantarkannya.
"Adu—"
"Diamlah, kalau tidak diobati bagaimana jika besok celaka waktu bekerja ?!"
"Sudah kubilang luka ini tidak sebera—"
"Kau selalu berkata seperti itu. Tidakkah pernah berpikir berapa kali dirimu pulang dengan wajah dan tubuh penuh luka ?!"
Dimarahi dengan keras oleh ibunya, pria dengan badan kekar seperti Luther pun tidak berani melawan. Dia terus diam, sembari meringis menahan sakit saat ibunya mengoleskan obat luka pada bagian tubuhnya yang terluka. Si Erka sesekali menjahili kakaknya dengan memegang lebam pada lengan Luther sehingga ia tersentak kesakitan.
"Masih baik kali ini lolos lagi dengan peringatan. Tahun kemarin kamu sampai disuruh bekerja paksa sebulan. Jika sampai diasingkan, bagaimana ?"
"Hal itu akan kupikirkan nanti. Semua ini pun salah mereka."
"Tinggal biarkan saja. Tidak semua masalah bisa diselesaikan dengan kekerasan, Luther. Kita berada di dalam negara yang memiliki hukum."
"Mana bisa aku membiarkan mereka berkata seperti itu kepada ayah !"
Raut wajah Luther berubah menjadi amarah saat mengatakan hal tersebut pada ibunya, sang ibu yang menyadari bahwa Luther begitu serius langsung menghela nafas panjang. Dari segala hal di dunia ini, kedua anaknya adalah pemberian paling berharga di dunia. Setelah mendapatkan kabar yang tidak begitu enak mengenai suaminya, bagaimana tidak mungkin ia tidak sedih dan marah terhadap militer. Perkataan setiap orang yang menghina suaminya adalah desertir dan pengecut sudah cukup menusuk baginya... ia sangatlah paham suaminya tidak mungkin melakukan hal itu, tapi dia juga tidak dapat menyangkalnya.
"Luther... kau dan Erka adalah permata satu-satunya bagi ibumu ini. Ibu... hanya tidak ingin hal buruk terjadi pada kalian, jadi, apapun yang dunia katakan pada kalian... itu tidaklah benar. Kamu tidak perlu menanggung beban tersebut, cukup ibu saja."
"Ibu..."
Saat Ibunya mendekap Luther, ia justru tidak menerima kata-kata penghibur tersebut. Alhasil, dekapan lengan tersebut dilepaskannya dengan paksa. Kedua mata ibunya terbelalak kaget, ia tidak mengira bahwa Luther sampai menolak dengan sebegitunya.
"Aku yakin ayah tidak melakukan hal sebodoh itu. Desertir ? Dia ? Bagaimana bisa pria sepertinya kabur dari perang dan meninggalkan istri dan kedua anaknya sendirian !"
"Luther ! Hentikan, sudah cukup !"
"Sampai diriku mengetahui alasan ayah meninggalkan kita, aku tidak akan menerima penghinaan yang mereka katakan pada keluarga kita !"
"Luther—"
Terpancing perkataan yang dilontarkan oleh satu-satunya anak lelaki yang ia miliki, wanita paruh baya tersebut menghantam meja begitu keras sampai Erka kaget. Menyaksikan ibunya yang sampai naik pitam seperti itu, tidak memikirkan mengenai Erka yang juga tengah bersamanya, Luther begitu kecewa.
Tanpa mengucapkan sepatah kata lagi, dia langsung berdiri, berjalan menuju pintu keluar. Luther sudah tidak peduli lagi terhadap ibunya, selalu berkata kepada Luther agar tabah dan menerima setiap cacian dari setiap tetangga. Jauh di dalam benak dirinya, ia tidak ingin ayah yang dulu begitu menyayanginya tersebut sampai dijuluki pengecut dan beragam sebutan tidak manusiawi lainnya.
Berjalan melewati dingin malam, hanya segelintir orang yang dapat ia temui pada trotoar. Kebanyakan dari mereka pun adalah para pekerja yang baru saja pulang dari pabrik, wajah penuh kotor nan lelah tergambar jelas setiap kali Luther berpapasan dengan mereka. Yang paling diinginkan oleh pria yang penuh lelah dan pusing ini ialah makanan hangat... tidur, dan yang paling utama adalah bir. Untuk itulah, tempat tujuan Luther saat ini adalah pub.
Kring...
Pintu kaca terbuka diiringi oleh nyaringnya bel penyambut pengunjung. Hiruk pikuk ramainya orang yang tengah minum menerpa wajah Luther seketika. Mereka saling bercerita, bercanda ria.... dan tidak banyak pula yang telah ambruk pada setiap meja dan kursi pub. Seakan menjadi makan sehari-hari mereka, pelayan pub yang berdiri di belakang konter tengah menyiapkan minuman alkohol dari rak besar penuh oleh botol.
"Apa yang hendak Anda pesan, pak ?" sapa pelayan bar saat Luther duduk pada bangku pub.
"Hanya bir, terima kasih."
"Baik, pak."
Tanpa menunggu lama, pelayan bar tersebut membuka sebuah botol hijau besar dengan menerbangkan tutup botolnya begitu tinggi. Lantas mengambil sebuah gelas besar, dituangkan bir tersebut ke sana.
"Secangkir bir klasik dari Adlerburg, silahkan."
Menyaksikan ukuran gelas yang tampaknya tidak mungkin bisa dihabiskan oleh seorang saja, Luther segera meminumnya. Bila dikatakan secangkir, lebih tepatnya ini adalah tiga cangkir di negara lain. Pada Adlerburg, bila berkata ingin bir di pub, maka inilah yang akan kau dapat. Rakyat Adlerburg, dikenal sangat bangga pada kualitas bir mereka, bahkan sampai ada hari perayaan tersendiri dimana setiap orang akan minum-minum sampai ambruk.
Kring...
Bunyi bel pintu masuk terdengar lagi, langkah kaki keras dari sepatu besar terdengar jelas pada lantai kayu pub. Luther melirik ke arah suara tersebut, yang ternyata seorang perwira militer dengan seragam biru tua. Kedua mata biru tersebut melirik tajam ke setiap arah, tengah mencari kursi kosong yang rupanya berada tepat di sebelah kanan Luther.
"Apa yang hendak Anda pesan, Tuan Perwira ?"
"Glitwein, tolong."
"Akan segera saya buat."
Menyadari bahwa dirinya kini tengah diperhatikan oleh pemuda di sampingnya, perwira itu melepaskan topi perwira yang ia kenakan dan ditaruhnya ke meja. Ia menunjukkan senyum ramah kepada Luther, yang kemudian Luther mengalihkan muka. Ini bukan kali pertama Luther melihat perwira, seragam biru tebal berbordir merah, pistol yang terpasang pada pinggang... ia hanya tertarik pada medali yang ada pada dada perwira tersebut, pedang bersilang. Medali itu diperoleh bagi mereka yang memiliki peran penting pada penyerbuan negara timur.
"Glitwein, Tuan Perwira."
"Terimakasih banyak."
Secangkir minuman merah tiba di depan sang perwira, di dalam kemerahannya tersebut terdapat bubuk cengkeh meninggi layaknya gunung, sepotong citrus kuning di belakang bagaikan matahari, dan gulungan kayu manis menjadi pelengkap Glitwein. Terdapat kasta yang ditetapkan oleh rakyat Adlerburg pada minuman alkohol, yaitu bir adalah kreasi paling sempurna manusia, dan wein atau wine, adalah ciptaan terindah dari Sang Maha Kuasa.
"Kamu tampaknya telah melalui hari yang berat bukan, wahai pemuda." Perwira tersebut tiba-tiba saja menanyai Luther yang tengah melamun.
Ia baru sadar bahwa luka lebam pada wajah dan lengannya masih belum sembuh, masih membiru. Sedikit khawatir karena akan disangka melakukan hal yang mencurigakan, bukannya ia mengalihkan muka justru membalas perkataan perwira tersebut.
"Namun tidak seberat diri Anda, Tuan Perwira."
"Tampaknya begitu, hahaha. Aku sampai tidak selera meminum bir malam ini dan memesan yang manis seperti ini."
Perwira itu terkekeh, dari kantung mata hitamnya saja Luther paham bahwa perwira itu tengah melalui hal berat juga.
"Dari tadi kamu terus menerus melihat seragamku, apa kamu tertarik pada militer, nak muda ?"
"Tidak... terlalu, tapi ayahku seorang militer. Prajurit, tepatnya."
Cangkir yang hendak diminum perwira terhenti begitu ia mendengar bahwa ayah dari pemuda yang berada di sampingnya adalah seorang prajurit.
"Begitukah, dia... sekarang bertugas dimana ?"
"Dia dulu bertugas di penyerbuan negara timur."
"Begitukah... sebentar, dulu, katamu ?"
"Sudah lama aku tidak mendengar kabar darinya, terakhir... dia ikut serta pada Penyerbuan Beglavia."
'Penyerbuan Beglavia...' gumam sang perwira.
Kejadian tersebut telah terjadi sepuluh tahun yang lalu, Kerajaan Beglavia adalah salah satu kerajaan kecil di Timur. Perwira itu, juga terlibat pada penyerbuan tersebut dan... banyak dari bawahannya yang kehilangan nyawa pada saat penyerangan. Memegang medali yang ada pada dadanya, ia sungguh merasa bersalah sebab banyak di antara prajurit yang ada di bawah perintahnya memiliki orang-orang yang mereka tinggalkan di belakang demi negara.
"Aku... turut berduka mendengarnya. Banyak bawahanku yang kehilangan nyawanya pada perang tersebut... mungkin, ayahmu... juga salah satunya."
"Tidak, ayahku... menghilang pada peperangan tersebut."
"Menghilang ?"
"Keberadaannya tidak diketahui... militer berkata ia meninggal di pertempuran dan badannya tidak bisa dikembalikan. Tetapi... banyak yang bilang dia adalah desertir, melarikan diri dari perang."
Perkataan Luther mengagetkan sang perwira, entah bagaimana perasaan para keluarga di rumah begitu mengetahui bahwa anggota keluarganya di cap sebagai desertir karena badannya tidak bisa ditemukan. Mengambil kembali mayat prajurit yang meninggal di peperangan adalah hal yang berisiko, ia pun mengetahuinya karena pernah melakukan hal tersebut.
"Tidak... aku tidak yakin bahwa ada prajurit Adlerburg yang sepengecut itu. Tidak ada yang namanya desertir, ayahmu, tidak mungkin melarikan diri dari peperangan."
"Jika memang ada, dan benar adanya... apa yang terjadi pada desertir tersebut ?"
Terdiam sejenak, sang perwira tidak ingin mengatakan apa yang hendak terucap pada mulutnya ini. Menyaksikan satu persatu pria dengan wajah penuh ketakutan itu, pada kedua mata yang telah menyaksikan neraka, dia sendiri tidak akan pernah mau dan bisa menekan pelatuk jika petinggi tidak memaksanya demikian. Namun, seperti itulah militer... sikap pengecut tidak diterima di sini. Hanya keberanian... dan kebodohan para pemuda yang mereka terima.
"Hukumannya ialah... mati."
Selepas mengatakan hal tersebut, ia segera menenggak seluruh isi cangkir dalam satu tarikan. Luther memahami apa yang baru saja ia tanyakan, jika memang hukumannya adalah mati, seharusnya... mayat ayahnya bisa dikembalikan kepada keluarga mereka. Tetapi, hal lain mengganjal dalam pemikiran pemuda Adlerburg sepertinya. Prajurit, disumpah untuk mengabdi sepenuhnya pada Kaisar... bagaimana bisa... kejadian seperti desertir—
"Bukankah prajurit kita... bersumpah untuk bertempur demi Sang Kaisar. Kenapa mereka justru melarikan diri, padahal mereka tahu bahwa kematian yang akan mereka terima nantinya. Tidakkah mereka memikirkan mengenai keluarga mereka di rumah saat mengetahui bahwa mereka mati sebagai desertir."
"Justru karena itulah... mereka memilih menjadi desertir."
Luther kebingungan mendengar jawaban dari perwira tersebut, namun kini pada sisi yang lain... sang perwira tengah melawan kembali bayang-bayang yang terus menghantuinya selama bertahun-tahun. Seberapa banyak pun alkohol yang ia tenggak, ingatan tersebut tidak ikut serta menghilang.
"Perang adalah tempat yang mengerikan, nak muda. Bahkan prajurit Kaisar yang paling pemberani sekalipun akan dibuat gila olehnya. Tidak ada kemuliaan dalam peperangan. Kematian, kesengsaraan, ketakutan, dan penyesalan... lah yang ada."
Menaruhkan uang kertas pada samping cangkir yang telah habis, perwira tersebut memakai kembali topinya dan berdiri dari tempat duduk. Luther masih hendak bertanya beberapa hal mengenai dirinya, jika saja ia mengetahui sesuatu mengenai penyerbuan negara timur... tempat dimana ayahnya menghilang. Tetapi sebuah perkataan terlontar dari sang perwira,
"Jika kau ingin tahu mengapa ayahmu bergabung ke militer... dan mengapa desertir itu ada, kenapa dirimu tidak mencoba mengikut dirinya ?"
"Mungkin dengan itu... kau akan paham."