Mereka berdua akhirnya sampai pada Canibya, sebuah desa kecil yang tersembunyi di balik bukit. Kereta perlahan didorong oleh kuda melewati jalanan desa, diikuti oleh beberapa sambutan dari para warga desa. Mereka menyambut kedatangan si pak tua, serta Eldrich yang tengah duduk di keretanya.
"Tidak seperti biasanya kau sangat lama, Frederik."
"Ya, ada hal tak terduga di kota. Aku bertemu dengan pemuda ini."
Si Pak Tua yang rupanya bernama Frederik tengah berbincang dengan pria dewasa lain. Sementara itu, Eldrich yang canggung karena dikelilingi oleh orang-orang desa hanya terdiam berdiri di dekat kereta. Mereka menatap Eldrich dengan pandangan penuh penasarannya, mungkin mereka penasaran pada pakaiannya yang berupa mantel dengan dasi dan topi... atau bertanya-tanya mengapa orang kota sepertinya pergi ke desa mereka.
"Frederik, akhirnya kau kembali. Sudah bawa persediaannya ?"
"Ya, kepala desa. Sesuai permintaan Anda."
"Lantas, siapa pemuda yang kau bawa ini ? Aku ingat aku tidak menyuruhmu untuk membawa seorang pria kota ke desa."
Menerobos melewati kumpulan orang desa, seseorang pria dewasa berjanggut coklat lebat mendatangi Eldrich dan Frederik. Ia terlihat begitu berwibawa dengan cerutu yang tengah ia hisap sekarang, serta dari keterangan Frederik barusan, dirinya adalah kepala desa dari desa ini.
"Dia tengah kebingungan sewaktu di kota, menanyakan dimanakah Canibya. Jadi aku membawanya kemari."
"Dia ? Mencari Canibya ? Sungguh mengejutkan." Ucap si kepala desa, yang kini mengarahkan pandangannya kepada Frederik.
"Atas tujuan apa, seorang pria dari kota sepertimu mencari Canibya nak ?"
"Saya... saya dulu tinggal di sini, pak."
"Dirimu pernah tinggal di sini ? Benarkah ? Aku sama sekali tidak pernah melihat wajahmu sebelumnya."
Eldrich mengernyitkan dahinya, ia bertanya-tanya bagaimana bisa kepala desa ini sampai melupakan dirinya. Apakah karena ia terlalu lama pergi dari Canibya sampai-sampai ia sendiri lupa pada wajah Eldrich ? Padahal Eldrich pernah bertemu dengannya sewaktu kecil. Ia masih ingat janggut lebat serta bekas luka pada pipi kanannya, saat kecil ia terluka pada pipinya ketika mencoba menyelamatkannya dari anjing liar.
"Anda pasti akan mengingatnya, jika saya bilang saya dulu adalah anggota keluarga Meiyer."
"Meiyer ? Dirimu ?!" Kepala desa sangat kaget mendengar perkataannya, hingga cerutu pada mulutnya tersebut hampir terjatuh saat mulutnya terbuka.
"Benar."
"Ja-Jadi... kamu adalah anaknya ?"
"Ya, dahulu namaku adalah Eldrich Meiyer meski sekarang berganti marga Williem."
Begitu Eldrich mengatakannya, kepala desa langsung menepuk pundaknya. Ia menyambut Eldrich dengan senyuman lebar, setelah tadi ia terlihat begitu curiga padanya.
"Kalau begitu bilang dari tadi !" ucapnya dengan suara yang menggelegar.
Begitu menyelesaikan urusannya di desa, kepala desa mengajak Eldrich untuk ikut bersamanya. Karena Eldrich sudah menjelaskan situasinya pada kepala desa, kini dia hendak mengantarkannya kepada kediamannya dahulu.
Eldrich berjalan kembali melewati jalan setapak desa yang penuh oleh lumpur, melewati pagar-pagar kayu dengan ladang perkebunan berada di sisi lain pagar. Ia mendapati para petani tengah membajak sawahnya. Bahkan, anak-anak pun ikut bekerja di ladang dengan menanamkan benih-benih pada ladang yang telah dibajak.
"Setelah musim dingin berlalu, kami perlu menyiapkan ladang kembali untuk menanam benih-benih tanaman musim semi." Ucap kepala desa yang tengah berjalan di sampingnya.
"Mereka terlihat sangat senang melakukannya..."
"Heh, kamu dulu seperti mereka juga, tahu. Memberantakkan ladang sementara orang tuamu tengah melakukan pekerjaan mereka."
"Betulkah ?!"
"Ya, memang begitu. Namun, aku tidak mengira kamu sudah sebesar ini rupanya."
Eldrich terdiam mendengarkan perkataan kepala desa. Pandangannya kini tengah mengarah pada anak-anak tersebut. Ia berusaha mengingat kembali kenangan tersebut, walau dirinya tidak bisa karena telah lama sekali berlalu dan ia mungkin telah melupakan sebagian besar darinya.
Mereka berdua pun akhirnya sampai pada kediaman Meiyer dahulunya. Berdiri termangu, Eldrich menatap pada apa yang ada di hadapannya. Berbeda dibandingkan rumah lain di desa yang menggunakan kayu, pondasi dari rumah tersebut terbuat dari batu bata yang kokoh. Berada agak jauh dari desa, di samping kanan terdapat sebuah pekarangan kecil yang dikelilingi oleh pagar kayu yang rapuh termakan oleh waktu. Rumput ilalang yang panjang, serta tanaman merambat dapat ia temukan di sekitaran rumahnya.
"Erm... aku... aku mewakili seluruh penduduk Canibya meminta maaf sebesar-besarnya karena tidak merawat rumahnya kembali sepeninggal kakek dan nenekmu." Ucap kepala desa dengan melepaskan topi yang ia kenakan.
"Tidak perlu meminta maaf kepala desa, melihat rumahnya masih utuh sudah lebih dari cukup bagiku."
Melangkahkan kakinya, Eldrich perlahan membuka gerbang rumah yang berderet ketika ia menggesernya. Memiliki atap limas dengan cerobong asap, rumah tersebut memiliki dua lantai. Jendela-jendelanya telah rusak dan Eldrich dapat melihat kacanya yang berkeping-keping jatuh di dekat jendela. Semakin ia berjalan mengelilingi rumahnya, semakin ia dipusingkan berapa banyak biaya yang ia butuhkan untuk memperbaiki kerusakannya.
"Apakah kamu berniat tinggal di sini, Eldrich ?" kepala desa bertanya padanya.
Eldrich kini tengah berada di depan pintu masuknya, ia meraihkan tangannya pada gagang pintu tersebut berniat membukanya. Beruntung, saat ia membukanya tidak ada masalah. Ia sebenarnya takut jika sampai pintunya rusak, karena biaya perbaikan pintu begitu mahal.
"Hmm, saya sendiri kurang tahu. Tapi saya berniat tinggal di sini sementara waktu."
Ia sejujurnya sudah sangat lelah, tidak begitu peduli lagi dengan segala kerusakan rumahnya tersebut. Yang ia inginkan sekarang hanyalah menaruhkan kopernya, lalu tidur pada tempat tidurnya yang empuk.
"Begitukah. Kalau semisal kamu butuh bantuan perbaikan semacamnya, silahkan ke desa. Kami akan membantumu sebisa mungkin."
"Ya, terimakasih banyak kepala desa."
Setelah mengucapkan terimakasihnya, Eldrich berjalan masuk ke rumahnya dan menutup pintunya. Dari balik jendela yang rusak, ia dapat melihat kepala desa yang nampak sangat khawatir padanya, berdiri memandang dari jalan setapak. Di lubuk hati si kepala desa, ia merasa tidak enak kepada Eldrich karena tidak merawat rumah tinggalnya. Padahal, keluarganya dahulu sering membantu mereka di desa. Dia berhutang banyak pada kedua kakek dan nenek Eldrich, karena berkat kakek neneknya desa Canibya dapat terus bertahan.
Eldrich menjejakkan kakinya masuk pada lantai berkayu. Setiap langkah yang ia jejakkan, debu-debu beterbangan. Rumah ini telah ditinggalkan begitu lama, bertahan-tahun lamanya. Beberapa sarang laba-laba dapat ia temukan berada di langit-langit, para laba-laba tersebut telah menjadikan rumah ini tempat tinggal mereka.
"Tidak kupikir akan serusak ini rumahnya."
Dirinya menghampiri meja coklat yang berada di samping kiri jendela. Menurunkan kopernya pada bawah meja, ia menarik kursinya untuk kemudian di duduki. Pada meja tersebut terdapat sebuah vas bunga yang retak, pada vas tersebut terdapat sekuntum bunga poppy yang telah layu.
"Setidaknya aku memiliki tempat untuk bernaung hari ini." Ucap Eldrich, memandangi langit-langit rumahnya.
Ia hendak berdiri menuju ke lantai ke dua, sebelum ia melihat sebuah bingkai foto yang tertelungkup di atas meja. Dia tak menyadarinya tadi karena tertutup oleh reruntuhan dinding. Perlahan, dia membersihkan bingkai foto tersebut dan mengelap kacanya yang berdebu.
Di balik kaca bingkai, terdapat foto hitam putih dari sebuah keluarga. Terdapat lima orang yang tengah berdiri di sana. Dua orang di depan terlihat tua dengan kulitnya yang mengerut, mereka tengah memegangi seorang anak laki-laki yang tersenyum. Sedangkan di belakang mereka bertiga, terdapat pria jangkung dengan perempuan cantik nan rapuh di sampingnya.
"Tidakkah ini mengembalikan kenangan lama..."
Mengelus bingkai foto tersebut, dirinya teringat kembali pada sebuah memori lama. Sangat lama sekali, mungkin sekitar 10 tahun sebelumnya. Sebelum dirinya tinggal di ibu kota, dia dahulu adalah seorang anak desa. Ia tinggal bersama dengan ayah ibunya yang tinggal di desa kakek nenek ibunya, yaitu di Canibya. Mereka bekerja sebagai petani di ladang yang ada di sebelah rumahnya, menanam dan memanen benih setiap tahunnya. Tetapi, ibunya memiliki imunitas tubuh yang lemah semenjak melahirkan Eldrich. Sehingga, sewaktu ia berumur 8 tahun, dirinya sering sakit-sakitan dan tidak dapat lagi bekerja di ladang.
Sepanjang hari ibunya menghabiskan waktu di rumah, terkadang ia tak dapat berdiri dan terpaksa untuk seharian tidur di kasurnya. Ayahnya yang begitu khawatir akan keadaannya memerlukan obat demi ibunya. Dan harga obat sangatlah mahal, sehingga mereka tak dapat terus-terusan membelinya. Demi mengobati ibunya, ayahnya pun merantau menuju ke ibu kota demi mencari pekerjaan agar dapat menyembuhkan ibunya.
Hari demi hari, minggu demi minggu, musim pun berlalu dengan cepatnya. Ayahnya tak pernah kembali... dan keadaan ibunya semakin mengkhawatirkan. Mereka sering mendapatkan kiriman uang dan obat darinya, tetapi, ibunya sangat merindukan ayahnya yang tak kunjung pulang sehingga keadaannya semakin memburuk.
Sayangnya, ibunya meninggal dunia saat Eldrich beranjak ke sepuluh tahun. Ia meninggal pada malam musim dingin. Bagi Eldrich muda, saat itu adalah musim dingin terdingin dan tersulit yang pernah ia lalui. Meski begitu, dia terus menunggu ayahnya untuk kembali... terus mengiriminya pesan dan mengatakan padanya untuk melihat ibunya untuk terakhir kali sebelum dia dimakamkan. Dia tidaklah datang.
Tak lama kemudian, neneknya pergi menyusul ibunya. Meninggalkannya bersama kakeknya yang sudah terlalu tua. Dia terus bersama kakeknya sepanjang waktu, menemaninya dan merawatnya yang tak dapat berjalan lagi. Meskipun dia menyuruh Eldrich untuk melakukan hal lainnya selain mengurusinya, dia tidak mau. Dia tak ingin kehilangan orang yang dicintainya, untuk sekali lagi. Dia selalu mengharapkan apabila ayahnya kembali, mungkin semuanya akan menjadi berbeda. Harapannya tak terkabul.
Kakeknya pun meninggalkan dirinya, sendirian di rumah ini. Ketika Eldrich telah kehilangan semua yang berharga dalam hidupnya, ayahnya kembali. Dia sama sekali tidak dapat memaafkan dirinya, namun melihat ayahnya yang datang kembali sedikit menyembuhkan luka di hatinya. Dengan sebuah permintaan maaf, ayahnya menyesali perbuatannya, membawanya pergi dari desa, meninggalkan segalanya dengan pergi ke ibu kota.
Eldrich meletakkan bingkai foto tersebut kembali ke meja. Mata birunya berkaca-kaca karena kenangan yang datang kepadanya. Sekarang, dia baik-baik saja. Ibu, nenek, dan kakeknya tidak ingin melihat dia menangisi masa lalu. Mereka ingin melihat Eldrich tersenyum dan berdiri dengan bangganya, dan itulah yang ia lakukan. Dia tersenyum karena semuanya pernah terjadi, ia telah merelakannya.
Matahari akhirnya terbenam pada langit Canibya. Eldrich lantas menaiki lantai kedua rumahnya, melangkahkan kaki menuju ke tempat tidur yang pernah ia gunakan dahulunya. Hampir segala sesuatu telah hilang dan kamarnya begitu kosong, sebab dia membawa semua barang yang ia miliki ke ibu kota. Yang tersisa hanyalah tempat tidur, meja dengan kursi, dan lemari pakaian.
"Hari yang sangat... sangat melelahkan..." kata Eldrich saat ia mendekati tempat tidurnya.
Banyak hal yang terjadi padanya dalam satu hari. Dari bertemu orang baru di kereta, menaiki kereta kuda melewati jalan yang buruk... dan rasa sakit dari pantatnya saat menaiki gerobak yang keras itu masih terasa sampai sekarang... sampai teringat kembali akan masa lalu yang pernah ia habiskan di rumah tua ini. Yang ia butuhkan sekarang... adalah tidur dan istirahat. Karena masih banyak hal-hal baru yang akan menantinya besok.
"Saatnya untuk tid—"
GUBRAK
Begitu ia merebahkan dirinya pada tempat tidur, kayu-kayu lapuk yang menyangga berat Eldrich tidak kuat menopang dirinya. Ia terjatuh begitu keras pada lantai, menyebabkan debu-debu beterbangan. Eldrich yang sangat kaget karena kejadian tersebut hanya diam tertegun, ia sama sekali tidak menggerakkan badannya karena terlalu lelah untuk bereaksi.
"Sepertinya aku perlu beli banyak barang di kota..." ucapnya lirih, dengan setelahnya memejamkan mata.
Keesokan harinya, Eldrich berniat untuk pergi ke kota Friedeland. Dibantu oleh Frederick, mereka bersama-sama menaiki kereta kuda kembali karena satu-satunya cara pergi ke kota hanyalah menggunakan kereta kuda. Sesampainya di kota, berbekal dengan rekening bank yang Eldrich miliki, ia membelanjakan uangnya demi membeli beberapa barang yang dia butuhkan demi memperbaiki rumahnya.
Eldrich kembali ke Canibya dengan membawa begitu banyak barang, ia bahkan sampai menyewa beberapa kereta kuda untuk membawa barang bawaannya yang kebanyakan merupakan kayu untuk memperbaiki pondasi rumah yang telah lapuk. Pada awalnya, Eldrich ingin memperbaiki rumahnya sendirian, tetapi kepala desa membawa banyak penduduk desa yang ingin ikut memperbaiki rumah Eldrich. Kepala desa mengatakan bahwa ini adalah permintaan maaf para warga desa yang tak merawat rumahnya dengan baik, sehingga mereka akan ikut membantu Eldrich sampai rumahnya dapat diperbaiki dengan benar.
"Nak Eldrich ! Kemanakah meja ini harus ditaruh !" teriak salah seorang pria memanggil Edlrich. Ia dengan temannya tengah membawa meja panjang di dalam rumahnya.
"Ah, meja itu bisa di taruh di dapur !"
"Baik !"
Mereka berdua lantas membawa meja tersebut melewati warga lain yang tengah menyapu lantai rumah agar bersih dari debu. Menggunakan kain kecil, Eldrich mengelap keringat yang menuruni dahinya. Ia sangat menghargai bantuan para warga desa, karena berkat mereka seluruh perbaikannya dapat diselesaikan di siang hari. Jendela-jendela dengan kacanya yang pecah telah terpasang, genteng-genteng yang berlubang sudah ditambali sehingga ia aman sewaktu hujan musim semi datang, dan debu-debu serta sarang laba-laba telah dibersihkan sepenuhnya. Di luar rumah, para pemuda desa tengah memalu paku pada pagar-pagar yang mengelilingi rumahnya. Sedangkan anak-anak berlarian di sekitar pekarangan rumahnya.
"Apa kamu mau apel segar, Eldrich ?" tawar seorang ibu desa kepadanya.
"Terimakasih banyak." Eldrich menerima apel pemberiannya.
Para ibu-ibu di desa pun memberikannya beberapa makanan yang kebanyakan adalah hasil panen desa mereka. Seperti lobak, kentang, wortel, dan bahkan beberapa botol susu sapi segar. Mereka sangatlah ramah dan baik, walau warga-warga yang dahulu bersamanya telah tiada dan tergantikan oleh pendatang baru... mereka tidaklah sungkan berkenalan dengan Eldrich.
Ia menggigit apel pemberian sang ibu. Apelnya terasa begitu manis dan dagingnya berair, meski masih terasa sedikit masam karena ia memakannya dengan kulit apel, rasanya sangat-sangat segar. Tenaganya yang berkurang tadi terisi kembali perlahan-lahan.
Eldrich menaiki tangga rumahnya. Ia berjalan menuju ke kamar ibunya. Meski ia telah merenovasi seluruh rumahnya, ia sama sekali tidak menyentuh ruangan ibu serta kakek dan neneknya. Keadaannya masih sama seperti saat ia tiba, ia hanya membersihkannya dari debu saja tanpa mengubah apapun. Pintunya tertutup begitu rapat, ia menyentuhkan tangannya pada pintu, hendak meninggalkannya sampai ia melihat sebuah goresan pada kusen pintu.
"Bukankah goresan ini..."
Ia mengamatinya. Tidak lain tidak bukan, itu adalah goresan yang dibuat oleh ibunya. Setiap minggunya, Eldrich muda meminta ibunya untuk menandai pertumbuhannya dengan menggores kusen pintu ibunya. Ia dulu sangat ingin cepat-cepat menjadi besar. Goresannya tersebut terhenti pada umurnya yang ke delapan, saat dimana ibunya sudah tidak dapat lagi mengawasinya.
"Apakah kau mengawasiku dari atas sana, Ibu ? Eldrich telah tumbuh besar sekarang..." ucapnya begitu lirih dengan menyentuh goresan kasar tersebut.
"Eldrich ! Para warga hendak berpamitan !" sampai teriakan dari kepala desa membangunkannya lagi dari ingatan sedihnya.
"Tunggu sebentar !"
Ia lantas berlari menuruni tangganya. Sesampainya di bawah, para warga menyambut Eldrich. Rupanya, mereka semua membawa banyak sekali makanan dan hendak mengadakan perjamuan untuk merayakan kedatangan Eldrich pada desa Canibya. Eldrich agak sungkan dengan hal tersebut, tetapi mereka semua tetap memaksanya untuk ikut. Mau tidak mau, Eldrich pun mengiyakannya dan menghabiskan malamnya dengan berpesta pada pekarangan rumahnya dengan para warga desa.
Untuk pertama kali dalam hidupnya, Eldrich tidak pernah tahu bahwa dia dapat minum bir langsung dari botolnya... dan pada malam itu pula... dia pingsan karena perasaan bahagia yang ia rasakan sewaktu di Canibya. Dia minum terlalu banyak botol sehingga mabuk dan pingsan, para penduduk desa pun perlu menggotongnya ke tempat tidurnya. Dan begitulah... Eldrich menghabiskan malam keduanya di Canibya.