"Semoga dia baik-baik saja," kata dokter Yanuar berusaha menghibur. "Bapak adalah orang tua yang sangat bertanggung jawab. Saya salut," lanjut dokter itu seraya tersenyum.
"Kok bibir kamu agak miring, dok, waktu senyum?" Rusman menegur, seperti merasa kalau dokter itu menyindirnya.
"Saya ke ruang lab sebentar," kata dokter Yanuar tanpa mau menjawab pertanyaan Rusman. Ia buru-buru pergi karena takut Rusman berubah pikiran untuk memberikannya sebuah mobil mewah. Tapi ia kembali tersenyum simpul sambil geleng-geleng kepala. "Puber kedua bagi para lelaki, pada usia berapa ya sebenarnya...?" Ia menggumam sendiri sambil menggaruk kepalanya.
Sepeninggal dokter Yanuar, Rusman kembali mendekati ranjang tempat Helena terbaring. Kursi duduknya ia dekatkan ke tepi ranjang.
Ia tak puas-puasnya menatap gadis yang terbaring itu. Bibirnya kadang tersenyum seraya terus memandanginya. Ia merasakan tiba-tiba berubah seperti remaja kembali, merasakan bunga-bunga cinta bertaburan di hidupnya.
Perlahan-lahan ia mendekatkan kembali wajahnya ke wajah diam gadis itu. Entah kenapa hatinya terus bergejolak ingin mencium bibir berukir indah gadis itu. Jantungnya berdetak-detak kencang. Debar-debar indah terus memacu hasratnya ingin mencumbu gadis itu. Tapi bukan karena nafsu, hanya semata karena cinta....
Tepukan dokter Yanuar di pundaknya benar-benar membuatnya terlonjak. Minuman kopi instant yang dipegang di tangannya langsung terlempar ke sudut ruang ICU menombulkan suata berkerontang ribut.
Dokter muda itu telah kembali ke ruangan tanpa sepengetahuan dirinya! Namun tak kalah kagetnya dan hampir saja meloncat ke jendela akibat keributan instant itu.
"Sompret! Landak! Sapi! Ular! Kucing! Landak..., eh sudah disebutkan tadi, apa lagi ya? Kambing! Biawak..." Rusman kambuh penyakit latahnya, menyebut seisi kebun binatang karena kagetnya. Ia melotot memandangi dokter Yanuar yang berdiri serba salah di belakangnya. "Kamu ngapain bikin aku kaget segala!" Matanya melotot lebar.
"Maaf, Pak Rusman..." dokter Yanuar meringis serba salah. Ia sendiri merasa heran kenapa pengusaha kelas kakap itu sangat terkejut dengan tepukannya. Ia buru-buru menjauh. "Saya hanya ingin memberikan hasil lab kondisi kepala anak itu kepada Bapak. Tapi kalau Pak Rusman merasa terganggu, biar saya keluar dulu..." katanya.
"Oh, jangan! Sini, aku pingin lihat!" Rusman tak sabar merampas diktat yang ada di tangan dokter Yanuar. Isinya hasil diagnosa kondisi tengkorak kepala Helena. Satu lembar berupa gambar x ray yang tidak dimengerti oleh Rusman. Ia mengerutkan alis. "Apa ini? Aku tidak mengerti..." ia menyerahkan kembali map itu ke tangan dokter Yanuar.
Dokter itu tersenyum, mengambil map nya kembali. "Biar saya jelaskan, kondisi anak ini baik-baik saja. Dia memang mengalami beberapa kali pingsan dalam jeda yang tak bisa ditebak, tapi secara umum ia akan semakin pulih, meski ingatannya akan memakan waktu cukup lama untuk normal kembali..."
Belum lagi selesai dokter Yanuar dengan kalimatnya, Rusman langsung memeluk dokter muda itu dengan gembira, menepuk-nepuk punggungnya dengan keras, meninju perut dokter itu hingga si dokter hampir tersedak, lalu berkata dengan histeris: "Dokter! Besok siang anda bisa langsung ambil mobilmu di rumah, sesuai dengan janjiku! Itu kubeli atas namaku, nanti balik nama...!"
Dokter Yanuar terpana. Ia tak mampu berkata-kata dan hanya mampu memandang pengusaha kelas kakap itu yang pergi dengan gembira keluar dari ruangan.
***
Leny menggeragap mencari-cari kuburan yang siang tadi ia sambangi untuk memetik bunga kamboja yang tumbuh di atasnya. Kuburan yang ia cari adalah kuburan seorang gadis yang mati bunuh diri karena dikhianati pacarnya. Konon katanya arwah gadis di kuburan itu sempat gentayangan pada saat awal-awal kematiannya era tahun tujuhpuluhan.
Ia bergidik sendiri. "Kalau saja tidak menuruti persyaratan dukun sialan itu, aku gak bakalan sudi datang ke sini...!" gerutunya sendirian.
Tangannya menghalau kesana kemari semak-semak di kanan kiri nya karena kompleks pemakaman itu tak terawat lagi. Tapi akhirnya ia menemukan juga kuburan yang dicarinya.
Sebuah kuburan yang sudah tua, berpagar kayu bercat kuning. Pada batu nisan masih terlihat tulisan nama: JULEHA, wafat 12 Mei 1970. Kuburan itu terlihat agak bersih, mungkin keturunan kerabatnya masih ada yang merawat.
Sambil menggerutu tak jelas ia menyorotkan cahaya senternya ke makam tersebut. Ia melihat ada beberapa bunga kamboja di atas kuburan itu. Segera memetiknya dan menyimpannya di dalam tas nya. Ia lalu berbicara pada kuburan itu.
"Maaf mengganggu, Tante Juleha. Ijin dulu ya aku petik bunga nya, siapa tahu bermanfaat. Maklum aja tante, jadi perempuan itu enggak dulu, enggak sekarang sama saja susahnya mencari cinta sejati. Kalau enggak kita yang merasa gak cocok, kita sendiri yang dikhianati. Yah sekarang pintar-pintar kita sajalah cari dukun agar bisa dapat pasangan yang diidamkan..." gumamnya sambil nyengir. "Yang naksir aku sih banyak, tapi aku maunya dapat suami tuh yang tajir dan tua, dan satu-satunya cara untuk mendapatkannya ya terpaksa jadi pelakor begini," tambahnya pula.
Ia lalu bersimpuh sebentar di sisi makam. "Kalau aku berhasil mendapatkan berondong tua itu, ntar aku akan pugar makam mu menjadi lebih mewah lagi. Paling enggak pagarnya stainless steel lah, terus bangunannya terbuat dari marmer. Kamu gak keberatan kan kalau aku ambil beberapa bunga kamboja dari kuburanmu...?" Ia bertanya sambil mengelus-elus batu nisan.
"Boleh, boleh. Ambil aja. Gak kepake juga kok. Semoga berhasil, mba..." terdengar sahutan dari dalam kubur.
"Oke, ma kasiiiih, aku pulang dulu ya, dadaaah," Leny menjawab gembira.
"Ya, sama-sama, dadah jugaaaa..." menyahut lagi suara dalam kubur.
Leny beranjak keluar dari area pemakaman. Tapi saat menaiki mobilnya ia kebingungan sendiri.
"Tadi yang ngomong sama aku siapa ya?" Ia mengerutkan alis. Lama ia berpikir. Kemudian matanya langsung membelalak. "Oh god!" Ia langsung menghidupkan mesin dan tancap gas! Melewati kegelapan malam dengan kecepatan.