"Dasar anak itu! Aku akan mencekiknya!" Ioan mengomel panjang lebar sambil menggigit roti bakar yang ia beli. Ia duduk pada kursi kecil di depan stan toko roti bersama Cezar di sampingnya.
"Sudahlah, Pa. Kau tahu bagaimana Mihai itu," ujar Cezar berusaha menenangkannya.
"Justru itulah mengapa aku ingin mencekiknya! Anak itu padahal sudah tahu betapa bahayanya dan dia masih saja mengumbar hubungan mereka di depan banyak orang. Dia benar-benar cari mati!"
Untuk itu, Cezar juga tidak bisa mengatakan apa-apa. Adiknya ini benar-benar ceroboh. Ia yakin Mihai hanya melakukan apa yang ada di kepalanya tanpa mengingat kembali peringatan dari mereka semua yang sudah diulang berkali-kali. Namun, dengan tidak adanya Mihai di sini, mengomel pun tidak ada gunanya. Ia sudah menelepon ponsel adiknya berkali-kali dan hasilnya juga nihil.
"Tenanglah, Pa. Sudahlah. Aku akan coba cari Mihai. Papa duduk di sini dan jangan ke mana-mana. Aku akan menghubungi ponselmu saat aku menemukannya."
Ioan sebenarnya ingin ikut tapi berkeliaran semakin dalam ke tempat festival yang semakin dipenuhi dengan restoran mewah tidaklah aman untuknya. Jadi, ia hanya bisa menyanggupi dengan berat hati.
"Pa, ingat! Topi dan maskermu itu jangan sampai lepas!" pesan Cezar sebelum berjalan pergi menguak keramaian.
Ioan refleks menarik topi besar yang ia pakai supaya menutup lebih banyak bagian wajahnya. Kedua telinganya tersembunyi di dalamnya. Karena merasa tidak tenang, ia segera menghabiskan roti bakarnya dan menutup kembali wajahnya dengan masker.
Matanya menyusuri sekelilingnya beberapa kali sebelum kembali rileks.
Sudah lama ia tidak keluar ke tengah kota dan keramaian ini jujur saja membuat ia takut. Namun, semuanya sempat hilang karena kebodohan putra bungsunya.
Mengingat Mihai membuat Ioan kembali kesal.
'Anak itu! Dari mana otak kosongnya itu menurun?!'
Semakin ia menggerutu, ia semakin terdorong untuk mengecek satu per satu toko untuk mencari Mihai. Namun, ia tidak bisa. Melihat bangunan tinggi nan mewah yang berada di bagian kedalaman area festival saja sudah memberinya rasa dingin.
'Tapi ... aku tidak bisa bertahan lagi!'
Akhirnya, Ioan mengambil ponselnya dan menelepon nomor putranya. Satu tangannya berkacak pinggang dan telapak kaki kanannya bergerak naik turun dengan tidak sabar. Ketika suara operator yang akhirnya menerima teleponnya, Ioan dengan kesal memencet tombol tutup panggilan lalu kembali memanggil putranya lagi. Begitu terus hingga pada panggilan yang keenam kalinya....
"Tuan Steve!"
Ioan hampir terjatuh dari kursinya.
"Tu—tuan? Kau tidak apa-apa?" tanya pemilik stan toko roti itu yang cemas karena tiba-tiba pelanggannya loyo dan menabrak ujung stannya.
"Ti—tidak apa-apa." Ioan segera menenangkan pemilik itu. Namun, jantungnya sekarang berdebar-debar penuh kekhawatiran.
'Tidak mungkin! Dia tidak mungkin ada di area toko makan murah yang lebih banyak dikunjungi half-beast dan manusia kalangan bawah!' Yakinnya.
Namun....
"Tuan Steve! Tunggu!" Teriakan itu kembali terdengar membuat Ioan mau tidak mau menjadi semakin cemas.
Takut-takut, ia menoleh....
"Ada apa, Jack?"
'Gawat!'
Suara yang bagaikan aliran air yang jernih dan dalamnya samudra itu sudah cukup memberitahu Ioan bahwa orang itu adalah orang yang sama dengan yang ada di benaknya. Kepalanya yang sudah setengah jalan menoleh langsung mendapati sesosok jangkung dengan tubuh proporsional yang berbalut kemeja putih dan celana bahan hitam sederhana berada di salah satu stan makanan kecil, sedang membayar hasil pesanannya. Rambut panjangnya yang berwarna biru terang diikat satu ke belakang, matanya juga berwarna biru muda langit dan sekarang sedang menatap seorang pria ramping berambut coklat berkacamata yang sedang berlari mendekatinya.
Deg!
Suhu tubuh Ioan langsung turun. Ia hampir merasa melihat halusinasi karena pria yang ia lihat sekarang sedang tersenyum pada pria kacamata itu.
'Tidak mungkin. Dia .... tersenyum....'
Sepertinya Ioan telah terlalu lama melihat pria itu karena sosok itu tiba-tiba menoleh ke arahnya. Buru-buru, Ioan menarik topinya, meletakkan bayarannya, dan segera berlari pergi dari situ.
"Eh? Tuan! Kembaliannya!" Pemilik toko itu berusaha memanggilnya kembali tapi sosok Ioan sudah hilang dari pandangannya.
Sementara itu....
"Tuan Steve, ada apa?" Jack Pavel mengikuti arah pandang tuannya tapi hanya menemukan sebuah stan roti yang tidak terlihat begitu menarik. Tapi, tuannya tidak mungkin melihat sebuah toko roti dengan begitu serius.
'Apa aku salah?' Ia memperbaiki posisi kacamatanya – takut salah lihat – tapi pemandangan di depannya tetap saja sama.
'Apa Tuan begitu ingin memakan roti di stan itu sehingga menatapnya selengket itu?'
"A—apa perlu aku belikan, Tuan?" tanya Jack masih sedikit ragu dengan kesimpulannya karena itu sangat tidak sesuai dengan gaya sang tuan.
"Eh? Ah ... tidak, tidak. Aku hanya merasa melihat seseorang yang aku kenal di sana." Menyadari kesalahphaman asisten pribadinya, Steve Pavel, Kepala Keluarga Pavel dari kaum incubus, segera menjelaskan.
Jack mengangguk-angguk paham. Di dalam hatinya, muncul sebuah dugaan mengenai orang tersebut tapi ia tidak bermaksud mengucapkannya karena tidak ingin mengusik suasana hati tuannya yang sedang baik ini.
Steve membuka kentang goreng yang baru saja ia beli dan langsung memasukkannya ke dalam mulut. "Kau mau?" tawarnya kepada Jack.
Jack langsung mengambilnya tanpa sungkan.
Keduanya duduk di depan stan itu sambil mengunyah kentang goreng sambil menatap jalanan yang ramai....
Sepertinya ada yang dilupakan....
"..."
"AH!"
Kentang goreng di tangan Steve hampir jatuh karena teriakan itu. "Kagetkan saja! Ada apa?"
"Hampir saja aku lupa! Aku mencari Tuan bukan karena mau kentang goreng!"
"Oh ... ada apa?"
"Begini ... tadi...." Jack mendekatkan mulutnya pada telinga Steve, membisikkan kabar yang ingin ia sampaikan itu seraya menghalanginya dengan satu tangan untuk mencegah orang luar dapat membaca gerak mulutnya.
Sepasang iris biru terang itu terbelalak lebar. "Kau yakin tidak salah lihat?" Steve tidak bisa percaya dengan pendengarannya.
Jack mengangguk kuat. "Yakin Tuan! Aku melihatnya dengan mata kepalaku sendiri!"
Steve mengerjap beberapa kali, masih tidak bisa mempercayainya.
'Luca itu ... punya anak dengan half-beast?'
"Aku akan pergi mencarinya."
*****
"Jadi ... apa yang ingin kau katakan?"
Sesampainya di dekat area hutan yang sedikit jauh dari tempat festival, Toma yang berjalan di depan Vasile berhenti.
Keduanya berdiri dalam diam untuk beberapa saat hingga akhirnya Vasile yang tidak sabar lagi langsung membuka suara.
Mendengar pertanyaan itu, telinga Toma bergerak sedikit tapi pria itu masih membelakangi Vasile. Lantaran, Toma melakukan pengecekan akhir terhadap keyakinan yang ia miliki untuk melaksanakan ide yang ia punya sekarang.
Setelah memastikan cukup lama, akhirnya, Toma menarik napas dalam-dalam sebelum berbalik menghadap Vasile. Kedua tangannya yang memiliki cakar panjang saling meremas satu sama lain, terlihat sangat gugup.
"A—aku...." Toma menatap semakin tajam pada Vasile.
Sepasang iris abunya yang mengkilat indah menusuk hingga jantung pria kumis itu membuat jantung Vasile berdesir. Terbawa oleh suasana, Vasile ikut menjadi gugup.
"A—apa?"
Tatapan mata Toma semakin tajam dan semakin melebar hingga terasa akan lepas dari kelopak matanya. Ia menelan ludah dengan susah payah sambil berusaha menenangkan dirinya.
'Ayo Toma! Ini demi kebaikan kaummu!'
"A—aku hamil!"
Hening....
"..."
"..."
Burung-burung gagak numpang lewat sambil berkoak....
Setetes keringat mengalir jatuh ke pipi Toma. Matanya yang terbelalak masih menatap tajam Vasile dengan sedikit tanda tanya.
'Mengapa dia tidak jawab apa-apa? Apa dia tidak dengar?'
"A—aku hamil!" serunya lagi.
"..."
Burung gagak numpang lewat lagi....
Kali ini Toma jadi kesal. Matanya menyipit penuh selidik dan tangannya melambai-lambai di depan wajah Vasile. "Woi! Kau dengar tidak sih?!"
Mata Vasile mengedip-ngedip dengan cepat karena lambaian tangan itu "Be—berhenti! Aku pusing! Jangan melambai!"
"Kalau begitu kasih respons dong!" Toma mendengus seraya berkacak pinggang.
"Habisnya...." Vasile menggaruk kepalanya yang tidak gatal, sedikit ragu sebelum melanjutkan, "...aku tidak mengeluarkan milikku di dalammu."
"..."
Burung gagak kembali numpang lewat, berkoak mengejek....
"Berisik!" Toma melempar batu pada burung-burung menyebalkan itu.
Wajahnya merah padam karena malu. 'Mati aku! Kebohonganku ketahuan!' Dengan sigap, Toma memutar balik badannya dengan siap berlari pergi.
Namun, tentunya Vasile tidak bodoh. Tangannya sudah terjulur dan menarik kerah pakaian Toma dengan erat.
"Mau ke mana?"
"Ya kaburlah! Lepas!" Toma meronta, berusaha lepas tapi tenaga Vasile terlalu kuat.
Bukannya menjauh, Toma semakin mendekat karena ditarik oleh Vasile. Pria serigala itu terus mengumpat tapi Vasile hanya tersenyum. Dibandingkan dengan umpatan Toma, umpatan Mihai berkali-kali lipat jauh lebih buruk sehingga ia sudah kebal.
"Shikida Toma," bisiknya ketika Toma akhirnya berada di dalam dekapannya, terkurung erat, tak bisa lagi lepas.
"Kau sebegitunya ingin bersamaku sampai berbohong?" goda Vasile dengan suara dalam yang serasa dapat menghamili Toma hanya dengan mendengar.
Wajah Toma sudah panas seluruhnya. Namun, ia tidak mudah terlena oleh bisikan incubus. "Si—siapa yang ingin bersama kau! Lepas!"
Senyum Vasile semakin lebar. Jari jemari panjangnya menyusuri dagu Toma dan mengangkatnya hingga kedua mata bertemu.
Deg!
Toma hampir budeg oleh degupan jantungnya.
'Iblis penggoda sialan!' Ia tidak menyukai perasaan aneh yang terbentuk karena sihir aneh kaum incubus itu.
"Kalau begitu, aku akan membelenggumu disampingku seumur hidupmu. Jangan harap kau bisa lepas...."
Jemari Vasile menarik wajah Toma semakin ke atas dan kedua bibir langsung terjalin erat tanpa bisa Toma hindari....