Chapter 16 - Interogasi

Air dingin membasahi seluruh tubuh pria ramping yang terduduk di atas kursi reyot membuat alis abu-abunya berkerut kecil. Kelopak matanya sedikit bergetar sebelum akhirnya terbuka pelan, memperlihatkan iris abu dengan pupil hitam runcing yang mengkilap.

"Sudah bangun?"

Suara seorang pria yang menggema beberapa kali tertangkap oleh telinga berbulunya yang juga berwarna abu-abu. Tubuhnya segera menegang dan matanya melebar ketika melihat sebuah sosok jangkung di hadapannya yang agak gelap karena ruangan temaram yang hanya disinari api dari obor.

"Si—siapa?!"

Pria beriris abu itu ingin kabur dan untuk pertama kalinya ia menyadari tali yang melilit tubuhnya dengan erat pada sandaran kursi. Pergerakan yang tiba-tiba itu membuat kepalanya sedikit pusing.

'Apa yang terjadi? Bukankah aku sudah mati?'

Ia ingat ia telah tersetrum oleh listrik. Listrik itu sangat menyakitkan sehingga ia yakin ia tidak akan hidup lagi.

Pria jangkung di hadapannya mengambil batang obor yang tergantung di dinding dan mendekatkannya pada wajahnya yang mencondong mendekati pria beriris abu itu. sepasang mata merah gelap dan sepasang tanduk panjang yang runcing langsung tertangkap pandangan pria beriris abu itu membuat wajahnya memucat. Seluruh bulu rambutnya berdiri tajam membentuk duri dan secara refleks, ia menggeram kepada pria jangkung itu.

Vasile menjatuhkan pandangannya pada satu-satunya penyusup yang selamat di hadapannya ini. Penyusup itu adalah half-beast spesies serigala. Seluruh rambutnya berwarna abu-abu – dari rambut panjangnya yang terikat satu ke belakang, telinganya, iris matanya, hingga ekor berbulu lebatnya. Di dalam ruangan yang temaram itu pun, Vasile bisa menangkap kulitnya yang berwarna pucat.

Pria serigala itu menggeram semakin ganas seiring dengan semakin dekatnya Vasile. Ia meronta, berusaha merobek tali yang mengikatnya dengan kekuatan dan cakarnya tapi tangannya terikat dengan sangat rumit hingga ia tidak dapat menggapai tali itu sama sekali.

Sementara itu, Vasile berhenti tepat di depannya. Tangan kanan yang ramping dan kokoh segera menjepit wajah pria serigala dan menarik wajah itu dengan kasar hingga pria serigala kehilangan pijakannya.

"Grr! Lepas! Incubus sialan!" rontanya terus menerus tapi kekuatannya tidak bisa dibandingkan dengan Vasile.

Berdiri tegap sambil menatap dingin pada half-beast itu, Vasile memulai menginterogasinya. "Apa tujuan kalian ke sini? Benda apa yang kalian gunakan hingga bisa menggunakan sihir?"

Bukannya menjawab, pria serigala itu malah tertawa terbahak-bahak. Ia meludahi wajah Vasile membuat mata pria berkumis itu sedikit berkedut.

"Heh! Tidak ada yang perlu dikatakan kepada makhluk rendahan seperti kalian!"

Pria serigala itu menjulurkan lidahnya hingga berada di antara giginya, hendak mengigitnya hingga mati tapi Vasile yang menyadari itu segera menghentikannya dengan mencium bibir merah itu.

"Mm!"

'Apa yang dia lakukan?!' Pria serigala itu berusaha melepaskan ciuman tapi bibirnya dilumat erat oleh Vasile. Bagaikan tong bocor, energinya serasa mengalir keluar dari tubuhnya.

"Le—mmm!"

Ia meluncurkan tatapan tajam pada Vasile tapi saat itu juga, darah meninggalkan wajahnya. Sepasang mata di hadapannya sudah bersinar pink.

'Sial!' Mata incubus yang bercahaya pink akan membuat mangsanya merasakan ekstasi yang luar biasa. Pria serigala itu ingin mengalihkan pandangannya ke tempat lain tapi bagaikan ada yang mengikat bola matanya, ia tidak bisa menggerakkannya sama sekali.

Tubuhnya menjadi panas dan napasnya semakin habis. Ia bisa merasakan wajahnya memerah dan jantungnya berdegup kencang oleh kedua mata itu.

'Tidak!' Pria serigala itu mulai takut kepada dirinya sendiri. Lantaran, ia mulai merasa terpesona dengan sepasang mata di hadapannya dan ia semakin menikmati ciuman tersebut hingga seluruh tubuhnya lemas.

Vasile melepaskan ciuman itu. Dengan kasar, ia merobek pakaian hitam yang terbuat dari karet dan kulit pucat yang mulus segera terekspos.

Pelan tapi pasti, Vasile mendekatkan mulutnya pada telinga bulu, membuat telinga itu menegang ketika merasakan panasnya napas incubus itu. "Aku akan membuatmu memuntahkan semuanya," ujarnya yang merupakan ancaman tapi terdengar sangat manis di telinga pria serigala itu.

Pria serigala itu segera menjauhkan telinganya dari mulut Vasile. Bibirnya tergigit erat agar ia tidak mengeluarkan suara aneh yang sudah berada di ujung tenggorokannya.

"Baiklah … kita mulai dari…." Vasile menjulurkan lidah merahnya, menjilati tengkuk yang sedikit gemetar.

Pria serigala mengeratkan gigitannya pada bibir hingga terluka. 'Sialan! Aku tidak akan mengatakan apa pun!' Sumpahnya dalam hati tapi tidak ada keyakinan di dalam sumpahnya karena mempertahankan kejernihan pikirannya saja sudah sangat sulit.

"Siapa namamu?"

*****

"Namanya adalah Shikida Toma. Selain berasal dari kelompok pemberontak para half-beast, aku tidak menemukan apa-apa lagi. Maafkan ketidakmampuanku, Tuan." Vasile membungkuk dalam dengan penuh penyesalan.

Di hadapannya, Luca, yang duduk pada kursi pribadinya di dalam perpustakaan, menutup buku tebal di tangannya dengan lembut. "Tidak masalah. Jika bibirnya sangat ketat maka biarkan dia mengarahkan kita melalui pergerakannya secara langsung."

Vasile mengangguk kecil, setuju dengan pemikiran tuannya.

Di saat yang sama, Ecatarina berjalan menuruni tangga batu yang dingin menuju kurungan bawah tanah yang lembap dengan batang obor di satu tangannya. Ketika ia sampai di dasar, sebuah kursi reyot memasuki pandangannya. Tali berserakan di sekitar kursi itu. Matanya melihat ke sekeliling seperti sedang memastikan sesuatu lalu berbalik untuk menaiki tangga menuju halaman atas.

"Dia sudah berhasil kabur," pesannya di dalam hati yang langsung terhubung ke benak semua pelayan dan tuannya.

Vasile mengangguk kecil. "Biarkan aku yang mengurus sisanya. Tuan, beristirahatlah terlebih dahulu."

Luca menatap Vasile singkat lalu berdiri dari kursinya. Tangannya membawa buku tebal itu. "Berhati-hatilah," pesannya sebelum keluar dari perpustakaan.

Vasile membungkuk dalam hingga sosok Luca hilang. Memperbaiki pakaiannya yang sedikit kusut, ia berjalan membuka pintu yang terhubung ke beranda depan ruangan itu. Sepasang sayap kelelawar muncul di punggungnya dan dalam satu kepakan, tubuh Vasile terbang menuju langit. Di bawah, Ecatarina dan Victor ikut mengepakkan sayap mereka dan mengikuti pria berkumis itu.

*****

"Hmm … aneh sekali…."

"Da?" Liviu yang duduk di atas rerumputan memiringkan wajah tembamnya, bingung dengan maksud ucapan papanya.

Mihai yang duduk di hadapan Liviu sedang berpikir keras.

Beberapa saat sebelumnya, Daniel dan Daniela membawa ia dan Liviu ke dalam kandang kuda untuk mengecek apakah terdapat luka di kedua tubuh mereka. Saat itu, Mihai menanyakan mengapa ia masih hidup.

Kedua kembar itu tertawa seperti pertanyaannya adalah sebuah lelucon.

"Karena Tuan itu abadi."

"Jadi, kau juga abadi."

Jawab keduanya yang kembali terkikik seperti semua itu adalah sebuah hiburan yang menyenangkan. Terkadang, Mihai bingung apa yang membuat kedua kembar itu terlihat sangat bahagia.

Mihai masih ingin bertanya tapi kedua anak kecil itu sudah menyatakan bahwa ia dan Liviu sudah tidak apa-apa lalu berjalan keluar dari kandang kuda.

"Mengapa dia abadi, aku juga harus abadi? Lagi pula, maksudnya abadi itu bagaimana?"

"Da?" Kepala Liviu semakin miring membuat Mihai buru-buru menegakkan kembali kepala putra kecilnya, takut Liviu akan terguling karena kemiringan itu.

Mihai menggaruk kepalanya yang pusing. Otaknya tidak terbiasa menganalisa sesuatu apa lagi dengan petunjuk yang begitu minim. Hari sudah semakin malam dan ia tetap tidak memahami apa pun.

Liviu menguap kecil seperti ingin semakin menyadarkan Mihai terhadap waktu yang sudah larut ini.

"Lupakan saja! Ayo kita tidur!" Mihai segera memasukkan Liviu ke dalam pelukannya.

Namun, baru saja melangkahkan satu langkah, ia kembali berhenti.

'Aku harus tidur di mana?!'

Kemarin, ia tidur di luar dan ia yakin tidak akan melakukannya lagi karena suhu yang begitu dingin. Ia takut Liviu akan benar-benar sakit.

"Apa aku tidur di kandang kuda saja?"

Sebuah suara tiba-tiba menyela idenya. '"Aku tahu tempat yang lebih baik untuk tidur!"'

"Ah … aku tahu! Dari pada di kandang kuda, aku bisa tidur di tempat-'nya'!" seru Mihai setelah beberapa saat berada dalam diam. Senyum licik menghiasi wajahnya.

'Saatnya mengganggu dia lagi!'

Mihai segera berjalan menyusuri halaman sambil sesekali berjingkrak senang. Liviu tidak paham tapi melihat papanya bahagia, ia ikut tertawa senang.