Siang itu, hujan terus mengguyur Kota Rumbell. Ketika malam datang, guyuran hujan mulai melembut dan akhirnya hilang tak berbekas. Tidak ada awan di tengah langit membuat bulan bersinar lebih terang dari biasanya.
"Dasar muka suram keparat itu! Bikin kesal saja!"
"Da!" Liviu tertawa-tawa bahagia sambil memukul-mukul permukaan air kolam sambil berendam di dalamnya. Mihai menggosok tubuh mungil itu untuk membersihkannya dari kotoran dan keringat sepanjang hari.
Mihai menatap putra kecilnya dan sedikit heran apakah Liviu tidak kedinginan dengan air kolam di musim dingin itu karena bulu kuduknya sendiri berdiri semua saat ia bermaksud memasuki kolam. Apalagi tadi baru saja selesai hujan. Namun, melihat betapa bahagianya putra kecilnya, Mihai tidak lagi cemas dan terus memandikan putranya itu sambil mendamprat ayah dari anak itu.
Bagaimana tidak?
Sepanjang hari ini Mihai habiskan untuk menjebol penghalang sialan itu. Namun, tidak ada hasilnya. Mihai bahkan sudah babak belur karena menabrak penghalang itu berkali-kali, tapi retakan saja tidak terlihat!
"Bagaimana caranya menerobos penghalang itu? Apa aku harus menyelundup dari tempat lain?" Mihai berpikir keras tanpa menghentikan kerja tangannya.
"Da!" seru Liviu dengan wajah yang mendongak ke atas, ke arah Mihai, seperti ingin menjawabnya.
"Jendela lain … ada yang terbuka tidak ya?"
Oleh karena amarah yang sudah meletup-letup, tidak terpikirkan olehnya untuk masuk melalui jendela lain yang mungkin terbuka. Baru sekarang ia menyadari betapa banyak waktu yang ia boroskan hanya untuk mencoba menerobos sesuatu yang tidak mungkin bisa diterobos.
"Aghh…." Diacaknya rambutnya dengan kesal. Otaknya selalu tidak beroperasi dengan baik jika amarahnya sudah bekerja.
Ada baiknya ia mencoba jendela lain malam ini setelah memandikan Liviu. Lagipula, ia tidak bisa menghabiskan begitu banyak waktu hanya untuk meminta pertanggungjawaban!
Mihai menarik Liviu keluar dari kolam air dan mengusap tubuh kecil itu dengan handuk yang ia pinjam dari si kembar. Liviu tertawa-tawa geli oleh gesekan handuk itu memberi sedikit perasaan hangat kepada Mihai dan mendorongnya untuk tersenyum.
'Kalau sudah tidak ada si kecil ini, aku rasa aku sudah darah tinggi sekarang….'
Telinganya tiba-tiba berdiri tegak, samar-samar menangkap suara seperti gesekan pada dedaunan tapi tidak ada angin yang berhembus di sekitarnya sekarang. Tubuh Mihai menegang. Tangannya masih membersihkan Liviu dan matanya masih tertuju pada buah hati kecilnya tapi telinganya sudah bergerak menuju arah sumber suara, menajamkan pendengarannya.
Srak!
Gesekan itu kembali terdengar sekilas lalu hilang lagi. Kali ini sangat jelas sehingga Mihai semakin curiga.
'Ada yang tidak beres….'
Tiba-tiba, Mihai dan Liviu ditutupi bayangan hitam dalam jangka waktu yang singkat. Refleks, Mihai mendongak dan ia langsung bertemu pandang dengan sebuah sosok hitam yang melayang di atasnya.
*****
Seorang wanita berseragam maid berwarna biru keabu-abuan berdiri di halaman samping kediaman Luca, sedang membersihkan kandang kuda dan memberikan kedua kuda peliharaan tuannya makanan. Kedua anak kembarnya itu berlari-lari ke sana kemari sambil menjahili kuda-kuda yang tidak dapat keluar dari kandangnya itu.
Tangan wanita itu yang sedang menyapu tiba-tiba terhenti dan mata merahnya mengkilat aneh.
"El, Ela, sst!"
Kedua kembar itu langsung terdiam. Wajah mereka berubah serius dan setelah beberapa saat, mata merah bulat mereka ikut berkilat aneh. Senyum lebar juga ikut menghiasi wajah kekanakan mereka.
"Mama, kali ini, biarkan kami yang menyapu mereka semua!"
"Benar, Ma! Biarkan kami!"
Keduanya segera memohon dengan suara setengah tertahan. Empat biji mata itu berbinar penuh harapan dan lidah mereka sesekali menjilati bibir tipis pucat mereka seperti sedang menyantap makanan yang sangat lezat.
Wanita itu mengedip-ngedip beberapa kali, menatap ke kejauhan yang hanya memiliki rumput, tembok tinggi, dan langit malam yang dihiasi bulan purnama yang sangat terang.
"Baiklah," ujar wanita itu setelah beberapa saat seraya mengangguk kecil.
Kedua kembar itu langsung melakukan tos dan melompat senang.
"Jangan biarkan mereka masuk selangkah pun ke dalam rumah!"
"Baik, Mama!"
Sepasang sayap kelelawar muncul dari kedua punggung anak itu. Dengan penuh semangat, mereka mengepakkan sayap itu dan terbang keluar dengan kecepatan tinggi.
Di saat yang sama, wanita itu menggumamkan sesuatu. Angin yang entah dari mana mulai memainkan pakaian dan rambut wanita tersebut dan cahaya muncul dari bawah kakinya. Air menyelimuti tangan kanannya dan ketika ia menghempaskan tangannya itu, angin dan cahaya segera hilang tak berbekas seperti semua itu hanyalah sebuah mimpi.
*****
"Hehehe … ini mudah sekali! Sedikit lagi, kita akan sampai ke depan kediamannya!" seru sebuah suara cempreng dengan sedikit tertahan. Seluruh tubuhnya dibalut oleh pakaian hitam, menyisakan sepasang mata emas yang berkilat bahagia.
Kakinya menginjak salah satu batang pohon terdekat dan meluncurkan tubuhnya untuk terbang lebih jauh sebelum kembali menginjak batang pohon yang lain lagi. Sosok di sebelahnya yang juga berpakaian hitam seluruhnya ikut tertawa senang – tentunya dengan suara yang tertahan juga.
"Ya! Kita pasti bisa membawa pulang kepala Luca Mocanu yang tiran itu!" Terdapat kebencian yang terdengar dari suara kasarnya.
Keduanya berhenti di salah satu batang pohon yang berada paling dekat dengan kediaman Luca lalu menyembunyikan diri dengan mendempetkan tubuh mereka pada batang pohon yang besar dan kokoh. Mereka mengedarkan pandangan untuk memastikan semuanya aman.
"Heh! Mereka bilang tidak akan segampang ini, tapi lihat! Kita bahkan sudah berada di depan pintu rumahnya dan kita bahkan belum bertemu dengan seorang pun!"
"Dia terlalu percaya diri untuk tidak menyewa penjaga di rumah ini." Pria bersuara kasar itu mendengus, jijik dengan kearoganan tuan dari kediaman tersebut.
Keduanya sudah siap untuk meloncat ke arah pintu masuk ketika….
"Tunggu … ada yang aneh." Dari alat komunikasi yang terpasang di telinga kiri mereka, seseorang dari rekan mereka bersuara.
Si pria cempreng mendecakkan lidahnya dengan kesal karena kesenangannya telah diganggu. "Apanya yang aneh?!"
"Bukankah ini terlalu sepi? Menurut data, tidak ada yang pernah kembali hidup-hidup jika su—"
"Ah! Lupakan saja data-data itu! Buktinya, sampai sekarang, tidak ada yang bisa mengancam kita. Itu pasti hanya rumor kosong!"
"Ta—tapi—"
Pria bersuara kasar langsung menyela. "Tidak ada tapi-tapi! Kita sudah sampai di sini. Semuanya, kita harus membawa kepala Luca Mocanu pulang hari ini!"
Keduanya saling berpandangan sebentar lalu meloncat keluar dari persembunyian. Anggota kelompok lainnya yang sudah bersiap di beberapa titik posisi yang berbeda-beda juga ikut meloncat.
Mata mereka mengkilat penuh nafsu membunuh. Mereka sudah siap mendobrak pintu dan jendela ketika kaki mereka tiba-tiba tenggelam pada sesuatu yang tidak terlihat dan terpental beberapa meter.
"A—apa yang terjadi?!"
Tiba-tiba, dari udara kosong, sebuah dinding air muncul di depan mata mereka. Dinding air itu membungkus seluruh sisi rumah besar hingga bagian atapnya.
Warna langsung meninggalkan wajah para penyusup yang terbungkus oleh kain hitam itu. Tidak ada yang sanggup mengatakan apa yang terjadi hingga salah satu dari mereka berteriak, "Ini jebakan!"
"Hihihi … Ela, lihat wajah bodoh mereka!"
"Hihihi … Aku ingin melihat ekspresi yang lebih menyenangkan lagi saat menebas mereka!"
"Hiii!!"
Beribu-ribu duri dari air yang mengeras menjadi kristal es meluncur tepat pada titik-titik vital para penyusup itu membuat mereka berlari, menghindari benda-benda itu. Namun, bagaikan benda hidup, duri-duri itu berbelok dan mulai mengejar targetnya.
Kedua kembar yang terbang di atas mereka terus tertawa-tawa bahagia.
"Shyuu!" Ela memainkan tangannya dan mempercepat gerak salah satu duri yang langsung menancap pada nadi tangan kanan salah satu penyusup.
"Hyaa!!"
Di atas atap, dua incubus berpakaian koki menonton semuanya dengan alis mengernyit dalam.
"Mereka … half-beast, kan?"
"Tidak kusangka akan ada half-beast yang mau membuang nyawa mereka sia-sia dengan menyusup ke sini. Apa mereka tidak tahu berapa banyak half-beast yang sudah mati di sini seribu tahun yang lalu?" Lonel mengejek makhluk hidup rendahan yang bagaikan semut itu yang sedang berlari ke sana kemari menghindari serangan dari dua anak kecil itu.
Albert di sampingnya hanya menonton dalam diam. Sebagai seorang dokter, ia tidak suka melihat pertumpahan darah walaupun itu adalah milik para half-beast. Lagi pula, dibandingkan yang lain, ia tidak punya kebencian terhadap kaum itu.
Namun, ada yang aneh….
"Mereka bahkan tidak berani melawan para kepala keluarga yang sekarang. Mengapa tiba-tiba mengincar Tuan Luca?" Victor yang menonton dari balik pohon di kebunnya, mengusap dagu dengan bingung.
Half-beast memang makhluk hidup yang bergerak dengan insting tapi mereka tidaklah bodoh untuk sebuah makhluk rendahan. Mereka punya perhitungan dan tahu apakah mereka bisa menang atau tidak.
'Apa yang kepala kaum mereka pikirkan?' Vasile yang menonton dari balik jendela ruang kerja tuannya juga merasakan keanehan yang besar. Dibandingkan yang lain, ia lebih sering bertemu dengan kepala kaum half-beast dan sering berbincang dengannya sebagai ganti sang tuan.
"Dia bukan orang yang gegabah…."
Mendengar itu, Luca yang terlihat cuek – terus menandatangani dokumen-dokumen resmi yang memerlukan persetujuannya – diam-diam menggunakan kekuatannya untuk mengawasi seluruh area kediamannya.
"?!"
"Ada apa, Tuan?" Vasile bertanya ketika merasakan perubahan suasana hati tuannya.
"Benda apa yang mereka makan?"
Vasile mengernyit dalam. Ia menajamkan pandangannya tapi tidak melihat apa yang tuannya maksudkan. Baru saja ia ingin mengatakan sesuatu ketika tiba-tiba dari tangan para penyusup itu, muncul cahaya yang berwarna-warni.
"I—ini … sihir?!"
Para half-beast bisa menggunakan sihir?! Ini tidak mungkin. Half-beast tidak memiliki kemampuan untuk menggunakan sihir.
Alis Luca terajut erat. Apa yang sedang terjadi sekarang seharusnya merupakan sesuatu yang mustahil. 'Apa 'Pak Tua itu' tidak menepati janjinya?' Tangannya tanpa sadar terkepal erat.
Namun, ia hampir tidak bisa menggambarkan pergolakan yang terjadi di dalam dirinya sendiri yang memberikan makna terhadapan kepalan erat tangannya. Hal ini dikarenakan sebuah 'ruang kosong' yang menganga besar di dalam dirinya membuat ia tidaklah lengkap.
Ia berusaha menganalisa menggunakan otaknya dan akhirnya menyimpulkan satu hal.
'Apakah aku … marah...?' Namun pemikiran ini memberikan keraguan yang semakin besar bagi dirinya karena seharusnya, mustahil baginya untuk memiliki pergolakan seperti ini....