"Aku pulang!"
"Da!
Mihai melewati lorong sempit pendek dan langsung memasuki ruang makan sekaligus dapur kecil. Melihat suasana yang sangat familiar itu, Liviu kembali mendapatkan semangatnya.
"Mihai?!"
Keluarganya yang sedang bersantai di ruangan itu terbelalak kaget melihat sosok Mihai. Viorel hampir menjatuhkan bukunya. Cezar hampir tersedak tehnya. Ioan menjatuhkan kopinya dan tumpah di lantai tapi seperti tidak menyadari hal tersebut, ia hanya mengabaikan kekacauan itu dan segera berlari mendekati putra bungsunya.
"Apa yang kau lakukan?! Kau tidak terluka kan?" Ioan mengecek seluruh bagian tubuh Mihai dengan seksama sebelum menghela napas lega karena Mihai dalam keadaan utuh dan sehat.
Mihai mengernyit bingung. Mengapa ia bisa terluka di area tempat tinggalnya sendiri?
Namun, sebelum ia bisa berkata, ia sudah disela oleh suara di belakangnya.
"Ada aku di sini. Siapa yang berani melukainya?"
Ecatarina mengangkat bibirnya tinggi membentuk senyum dengan lengkungan yang sempurna. Ia membungkuk sedikit untuk menyapa anggota keluarga Asaka.
Kontras dengan ekspresi yang ceria itu, anggota keluarga Asaka memucat. Wajah Ioan sudah putih seperti kertas dan terlihat bisa pingsan suatu saat. Sementara Cezar dan Viorel – walaupun juga memucat – dengan sigap menarik Ioan bersembunyi di belakang punggung mereka.
"Mengapa ada incubus?" tanya Cezar dingin.
Ecatarina hanya tersenyum tanpa berkata apa-apa.
"A—ada apa dengan kalian?" Di sisi lain, Mihai bingung. Jarang sekali kakak tertuanya berwajah seperti itu membuat ia sedikit merinding. Liviu yang awalnya sudah bahagia menjadi ketakutan dan langsung bersembunyi di balik punggung Mihai.
"Dia kenalanmu?" tanya Viorel.
Mihai melirik Ecatarina sejenak sebelum mengangguk dengan sedikit tidak yakin. "Dibilang kenalan, iya. Dia pelayannya Luca."
"Namaku Ecatarina Udrea. Senang bertemu dengan kalian, Keluarganya Mihai." Seperti sudah menunggu kalimat Mihai tadi, Ecatarina segera menarik bagian bawah dress-nya dan membungkuk dengan anggun.
Ioan terbelalak. Darahnya seluruhnya meninggalkan tubuh ketika mendengar nama itu. "Domba … merah….?"
"Hooo…." Alis Ecatarina terangkat, heran sekaligus kagum mendengarnya. "Kau tahu?"
Buru-buru, Ioan keluar dari persembunyiannya dan menarik Mihai ke belakang punggungnya. Mihai yang tidak siap sudah hampir jatuh jika kedua kakaknya tidak dengan sigap menopangnya.
"A—ada apa, Papa?"
Ioan tidak menjawab. Ia menembakkan tatapan tajam kepada Ecatarina yang masih tersenyum sempurna.
Seperti memahami maksud Ioan, Ecatarina tertawa lembut. "Aku tidak akan membunuhnya. Tuan tidak pernah memintaku melakukan itu, fufufufu…."
"Membunuh?!" Viorel dan Cezar dengan sigap menarik Ioan dan melindunginya dibalik punggung mereka bersama dengan Mihai. Tingkat kewaspadaan mereka berada di posisi paling tinggi sekarang dan aura membunuh mereka begitu jelas hingga menusuk sampai ke tulang. Mereka sedikit menggeram, memperlihatkan sepasang taring yang runcing dan tajam.
Tidak terlihat takut, Ecatarina dengan santai tertawa kecil dan mengubah sedikit topik. "Tapi, aku kagum kau tahu nama itu. Setelah seribu tahun, aku sudah tidak pernah mendengarnya lagi," ujarnya tulus. Lebih tepatnya, ia penasaran bagaimana seorang half-beast bisa mengetahuinya. Bahkan, hampir tidak ada golongan muda dari kaumnya yang masih mengetahui panggilannya itu.
'Tidak mungkin buku sejarah sekolah half-beast memuat tentang diriku kan?'
Memikirkannya saja membuat Ecatarina geli dan akhirnya kembali tertawa.
Cezar dan Viorel tidak tahu harus berbuat apa. Ecatarina memang tidak terlihat akan menyerang sementara mereka tidak paham apa yang dikatakannya.
Mihai lebih tidak paham lagi. Lebih tepatnya, ia tidak paham seluruhnya dan sekarang kepalanya pusing karena berusaha memahami tapi tidak mendapatkan apa-apa. Pada akhirnya, ia tidak bisa bersabar lagi. "Apa yang kalian bicarakan? Apa itu domba merah? Seribu tahun? Hah? Siapapun tolong jelaskan ini!"
"Da!" Liviu mengangkat tangan mungilnya, setuju dengan Mihai.
"Kalau begitu, mari kita bercerita sambil duduk santai," usul Ecatarina yang langsung mempersilakan dirinya sendiri duduk di salah satu bantal duduk usang di dekat meja makan.
*****
"Jadi?" Mihai dengan tidak sabar bertanya setelah Cezar selesai membersihkan tumpahan kopi dan membawakan minuman baru untuk mereka semua.
Mengabaikan ketidaksabaran itu, Ecatarina menyeruput kopinya dengan nikmat.
Tahu temperamen putranya, pada akhirnya, Ioan yang mulai membuka suara. "Domba merah … itu adalah sebutan untuk Ecatarina Udrea, salah satu dari pembunuh half-beast terkejam yang selalu membawa dua anak kembar bersamanya. Disebut domba karena tanduknya yang menyerupai tanduk domba dengan rambut yang putih bersih tanpa noda. Rambut putih itu akan berubah merah seluruhnya ketika membunuh akibat bercak darah yang mengotorinya, itulah mengapa orang-orang menyebutnya domba merah. Aku dengar dia membantu Luca Mocanu seribu tahun yang lalu tapi aku tidak menyangka, ia menjadi pelayannya hingga sekarang."
Sudut bibir Ecatarina terangkat semakin tinggi. "Seratus," ujarnya seraya bertepuk tangan. "Aku tidak menyangka akan ada yang masih mengetahui tentangku sejelas ini. Kau sepertinya seseorang yang memiliki pengetahuan luas. Aku sangat senang jika bisa mengetahui namamu." Ia mengulurkan tangan pada Ioan.
Ioan mundur sedikit dan melirik tangan itu. ia dilemma antara memberitahukan namanya atau tidak. Seharusnya wanita ini juga mengenal 'dia', 'apa aku tidak akan ketahuan?' Lagi pula, selain nama keluarga, nama yang ia pakai masih asli, sesuai dengan yang dikenal oleh 'dia'.
Viorel dan Cezar saling bertatapan. Mereka ingin membantu Ioan tapi tidak ada cara yang muncul di otak mereka.
"Seribu tahun yang lalu? Ada apa dengan seribu tahun yang lalu? Mengapa sudah ada nama si muka suram? Memangnya dia setua itu?" Mihai bertanya dengan polosnya. Ia bahkan tidak menyadari suasana tegang di ruangan dan dilemma papanya. Ia hanya fokus pada kebingungannya dan mengeluarkannya begitu saja.
"..."
Semuanya menatap Mihai dengan tatapan tidak percaya. Bahkan, Ecatarina yang sudah hidup begitu lama pun tidak bisa untuk tidak kaget melihat Mihai yang tidak tahu apa-apa.
"Bodoh! Bukannya kau sudah belajar di pelajaran sejarah?!" Cezar tidak habis pikir dengan apa yang dipelajari adiknya selama sekolah.
"??" kepala Mihai miring 45 derajat. "Memangnya ada yang begitu?"
Papa, Cezar, dan Viorel menepuk wajah mereka secara bersamaan diiringi dengan helaan napas panjang. Sekarang mereka ingin tahu bagaimana Mihai bisa lulus sekolah.
Di sisi lain, Ecatarina tidak bisa menahan diri untuk tidak tertawa terbahak-bahak. Ini pertama kalinya ia melihat seseorang yang datang ke Luca tanpa mengetahui secara dalam tentang tuannya itu. Awalnya ia curiga ada maksud tersembunyi pada Mihai. Namun, sepertinya ia berpikir terlalu jauh. Pria harimau ini murni datang ke Luca hanya untuk meminta tanggung jawab untuk Liviu.
'Mungkin itu yang membuat Tuan masih mau melindunginya walaupun ia tidak suka dengan Mihai?' Ecatarina merasakan suatu harapan untuk tuannya.
"Ada apa? Aku tidak paham?" Mihai semakin tidak sabar. Ia benar-benar tidak pernah mendengar tentang itu. Lagi pula, pelajaran sejarah sangatlah membosankan. Ia hampir mati kebosanan jadi biasanya ia hanya mendengar sebentar lalu tertidur pulas.
"Hah … Mihai, kembalilah sekolah," usul Cezar yang mendapat anggukan dari ketiga lainnya.
"Eh? Tidak mau! Aku benci sekolah!"
Mendengar jawaban yang kelewat jujur itu, mereka semua kembali tertawa.
Dahi Mihai mengernyit dalam, kesal karena merasa ia sedang diejek. Ia buru-buru mengubah topik. "Dari pada itu, jawab pertanyaanku dulu! Aku masih tidak paham!"
Keluarga Asaka menggaruk kepala mereka hampir secara bersamaan.
"Ceritanya panjang. Kau mau diceritakan atau baca sendiri?" tanya Viorel – yang setengah menjahili adiknya – mengeluarkan tiga jilid buku tebal yang tertulis Sejarah Rumbell pada cover-nya.
Mihai langsung menggeleng kuat. Tangannya menggaruk kulitnya yang tiba-tiba gatal, seperti reaksi terhadap alergi. "Ceritakan! Usahakan singkat!"
Ia benar-benar benci membaca buku – kecuali novel bergenre drama dan romansa tentunya!
Ioan dan Cezar tertawa semakin kencang. Berapa kali pun mereka melihat reaksi alergi yang aneh itu, mereka masih merasa itu sangat lucu. Di sisi lain, Viorel tersenyum puas melihat reaksi tersebut.
"Agh! Jangan ketawa! Cepat ceritakan!" gerutu Mihai kesal. Ia tidak paham alasan mereka tertawa tapi ia tahu mereka sedang mengejeknya.
Menyeruput kopinya, Ecatarina tersenyum kecil melihat kelakuan keluarga kecil itu. "Baiklah. Kali ini, aku yang akan bercerita," putusnya seraya meletakkan gelasnya kembali pada meja.