Hari ini, suasana penuh rasa kebencian dirasakan oleh Sheren. Sashi dan Rhea rupanya masih saling merasa sakit hati atas insiden kemarin. Rhea berpura-pura tidak melihat Sashi selama kegiatan belajar mengajar berlangsung. Sementara Sashi justru sengaja memancing amarah Rhea, gadis cantik itu dengan terang-terangan menatap Rhea penuh kebencian. Hal ini tentu saja membuat posisi Sheren serba salah. Jika dia memihak Sashi, Rhea pasti marah. Namun di sisi lain, Sheren merasa tidak enak jika dia menjauhi Sashi. Jadi, yang bisa dia lakukan sekarang adalah berpura-pura seolah tidak terjadi sesuatu.
Dan kini, bel istirahat telah berbunyi. Teman-teman sekelasnya berhamburan keluar kelas bersama kawan mereka masing-masing, hanya Sashi yang masih di dalam kelas seorang diri. Melihat itu, Sheren menghela napas. Gadis berambut hitam panjang sepunggung itu merasakan dilema. Rhea yang sudah selesai berkemas, kemudian menarik lengan Sheren dengan paksa. Sheren tak kuasa menolak tarikan Rhea karena dia tahu bahwa hanya Rhea teman dekat yang dia miliki sejak kecil.
Sementara itu, Sashi menatap kepergian Sheren dan Rhea dengan pandangan jengkel. Di sekolah ini, teman yang dia miliki hanyalah Sheren dan Rhea. Sashi menghela napas jengkel, dia tidak ingin berteman dengan orang-orang yang tidak selevel dengannya. Baginya, semua orang di sekolah ini adalah orang bodoh. Dulu, dia menganggap Sheren dan Rhea bukan bagian dari orang-orang bodoh di sekolah. Namun sekarang, Sashi memasukkan keduanya ke dalam daftar orang-orang bodoh yang dia buat.
***
"Loh tumben kalian cuma berdua? Mana Sashi?" tanya Arissa yang baru saja menduduki kursi kosong di sisi kiri Sheren. Kemudian, Oriana, Stephanie, dan Adeline mengisi sisa bangku kosong di kursi tersebut. Siang ini, kantin tampak sedikit lengang.
"Sudahlah Sa, jangan bahas Sashi lagi. Aku muak dengannya," gerutu Rhea sambil menusuk pentol baksonya dengan kasar menggunakan garpu.
Adeline menyahut, "Ah kalian sedang bertengkar ya? Masalah kemarin?"
Sheren menatap teman-temannya dengan perasaan tidak nyaman. Sejujurnya, dia tidak nyaman dengan situasi ini karena membicarakan Sashi di belakangnya. Dalam hati, Sheren berharap agar situasi ini segera berakhir.
"Yeah, pasti sudah menjadi gosip panas satu sekolah kan? Siapa sih yang tidak tahu Sashihara Reynara Si Nona Sempurna," sarkas Rhea. Nada bicaranya terdengar ketus.
Suara tawa tertahan terdengar dari Oriana. Spontan, para gadis yang ada di meja itu menatap ke arah Oriana yang sedang menahan senyumnya. Gadis cantik itu kemudian berkata, "Kamu pasti bertanya-tanya kenapa dia sendirian sejak awal masuk ke sekolah ini? Nara menganggap semua orang berada di bawah levelnya. Menurutnya, semua orang itu tercela kecuali dirinya. Nara terlalu angkuh untuk mengakui segala kekurangannya. Dia justru merendahkan orang lain untuk menghibur dirinya sendiri."
"Kok kamu bisa tahu? Kekurangan apa yang kamu maksud?" tanya Sheren penasaran. Walau dalam hati Sheren merasa tidak nyaman karena membicarakan kekurangan Sashi, namun cerita dari Oriana tadi mampu memantik rasa penasarannya.
Oriana meminum jusnya sedikit, lalu berkata, "Aku dulu adalah teman masa kecil Nara. Kami berteman sejak lahir. Omong-omong, aku lahir di Jakarta. Aku tinggal di sana hingga tahun lalu. Sedangkan Nara sudah pindah ke mari lebih dulu dariku. Dia pindah ke mari saat dia lulus sekolah dasar. Sashi tumbuh dalam lingkungan yang buruk. Papa dan Mamanya menjalani kehidupan pernikahan yang tidak bahagia. Tidak pernah ada cinta yang diberikan untuk Nara dari orang tuanya. Dia bisa dikatakan hidup dalam keluarga yang broken. Namun, hal itu tetap tidak bisa dijadikan alasan untuk membenarkan sikapnya. Sikapnya dan kondisi keluarganya adalah dua hal yang berbeda."
"Bukannya sikap kita dipengaruhi oleh pola asuh dari orang tua?" tanya Arissa.
Oriana mengangguk sambil berkata, "Namun bukan berarti kita dibenarkan untuk merendahkan orang lain hanya untuk menutupi kekurangan diri kita. Manusia diberikan akal dan nurani oleh Tuhan. Dan pemberian itulah yang harus difungsikan dengan baik. Nurani manusia tidak pernah berbohong, karena itu adalah kompas yang diberikan olehNya agar manusia tidak tersesat ke hal-hal buruk. Namun, sering kali yang dilakukan oleh manusia adalah menipu diri mereka sendiri."
"Loh itu Sashi kenapa sama Shaka?! Wah, benar-benar!" Adeline berseru tiba-tiba sembari menunjuk Sashihara dan Shaka yang berjalan keluar dari kantin. Mereka rupanya telah berada di sana lebih dulu. Dan Sashi memeluk lengan Shaka erat. Sesekali, Sheren melihat sebuah senyum terukir di bibir merah muda Shaka. Senyum yang terlihat sangat tulus. Dan senyum itu tidak pernah diberikan oleh Shaka untuknya, yang notabene adalah adik kandungnya. Sebuah perasaan kesal menyeruak di hati Sheren. Shaka lebih peduli pada Sashi. Sheren mengalihkan pandangannya ke arah jus alpukatnya yang tersisa setengah. Kemudian, Sheren meminum jus itu untuk meredakan rasa kesalnya.
***
Perasaan Sheren semakin kesal saat dia mendapati Sashi tengah menunggu Shaka di depan mobil mereka. Bel pulang sekolah baru saja berbunyi sepuluh menit yang lalu, dan kekesalan Sheren sudah terganda menjadi sepuluh kali lipat. Dengan langkah lebar dan cepat, Sheren berjalan menuju mobil mereka. Iya, mobil mereka. Itu adalah mobil yang dibeli oleh Ayah untuk mereka gunakan secara bersama-sama. Dengan Shaka sebagai pengemudinya.
Sheren telah berhenti tepat di samping pintu penumpang depan. Gadis itu menatap Sashi tajam. Sementara itu, Sashi menatap Sheren dengan pandangan merendahkan. Baik, genderang perang telah ditabuh!
"Shaka belum datang?" tanya Sashi.
"Memang apa hubungannya denganmu?" tanya Sheren. Gadis itu menyandarkan tubuhnya ke pintu mobil yang masih tertutup. Kedua tangannya sedang mengutak-atik ponsel. Lalu, sebuah bunyi indah terdengar dari ponsel Sheren. Bunyi yang berasal dari piano klasik.
"Itu Mozart?" tanya Sashi tiba-tiba. Gadis itu kini menatap Sheren dengan pandangan tertarik.
"Memang kamu ngerti musik klasik?" tanya Sheren datar. Ekspresi wajahnya kini berubah. Ekspresi yang sarat rasa usil dan kesal.
"Tentu saja aku mengerti! Aku tidak bodoh seperti kalian! Aku jenius dan pintar, tidak seperti kamu!"
Mendengar suara Sashi yang kesal dan ditambah dengan ekspresi wajahnya, membuat Sheren semakin semangat untuk memancing Sashi. Tunjukkan wajah aslimu, batin Sheren. "Baiklah, Nona Sempurna. Kalau begitu, siapa musisi yang tengah memainkan lagu ini?"
Sashi melihat Sheren dengan pandangan jengkel. "Mozart, Sheren Queena!"
"Wah ternyata kamu tidak sepintar itu! Ini adalah aku, yang memainkan lagu milikku sendiri," jawab Sheren dengan ekspresi meledek. Dia menikmati momen ini. Momen di mana akhirnya dia bisa melihat karakter asli Sashi.
"Shaka! Aku..."
"Aku mau langsung pulang karena aku capek. Aku tidak mau mampir ke mana-mana, atau Kak Adisty akan mengamuk karena aku mengantuk di kelasnya nanti," potong Sheren. Gadis itu tahu Shaka sudah berdiri di sampingnya walau manik matanya terfokus pada Sashi. Sheren tahu karena wangi parfum Shaka tercium hingga ke tempatnya berdiri, yang berarti Shaka memang berdiri di dekatnya. Dan Sheren tersenyum meledek pada Sashi.
"Oke. Kita langsung pulang," jawab Shaka sambil menekan tombol remot pengunci pintu mobil. Shaka lalu menggeser tubuh adiknya yang memblokir pintu dengan pelan, lalu Shaka membuka pintu mobil itu. Sheren kemudian memasuki mobil, dan dia masih sempat-sempatnya memberikan senyum ejekan pada Sashi. Lalu Shaka berkata pada Sashi sambil menutup pintu mobil, "Sashihara, minggir dari situ! Aku sedang terburu-buru!"
Dengan patuh, Sashi menyingkir dari depan mobil si kembar itu. Shaka kemudian berlari kecil menuju pintu pengemudi. Kemudian, mobil berwarna silver metalik itu meninggalkan tempat parkir sekolah.
***
Hari sudah menjelang malam, baik Shaka, Sheren, dan kedua orang tua mereka tengah berkumpul di ruang keluarga setelah mereka menyelesaikan aktivitas mereka sepanjang hari. Sebuah ide tiba-tiba melintas di benak Sheren yang sedang tiduran di sofa panjang sembari mendengarkan musik dari headsetnya. Gadis itu kemudian merubah posisinya menjadi duduk tegap.
"Shaka," panggilnya.
Shaka yang sedang membaca buku kemudian mengalihkan atensinya pada sang adik. "Ada apa, Dik?"
Kedua manik mata Sheren menatap Shaka dengan binar penasaran. Hal itu tentu saja membuat si sulung penasaran. Sheren jarang menatapnya dengan ekspresi itu.
"Menurutmu, apa esensi dari mimpi? Kenapa semua orang berlomba-lomba untuk meraihnya?" tanya Sheren.
"Menurut She sendiri, mimpi itu apa?" tanya Mama.
"Ma, She nanya loh! Yang berarti, She butuh jawaban bukan pertanyaan!" sewot gadis itu.
"Mimpi menurutku bukan hanya sekedar keinginan saja. Karena mimpi selalu datang bersama dengan kesulitan, masalah, dan rasa frustasi terhadap kegagalan. Meraih mimpi itu sangat sulit. Namun, menemukan mimpi justru jauh lebih sulit karena manusia memiliki perasaan yang kompleks," jelas Shaka.
"Apa hubungannya memang? Mimpi itu bukannya hanya keinginan?" tanya Sheren.
Mendengar pertanyaan sang adik, membuat Shaka tersenyum. Senyuman itu bahkan membuat kedua matanya ikut tersenyum membentuk bulan sabit. "Adik suka piano?"
Sheren mengangguk.
"Jadi, adik ingin menjadi musisi saat sudah dewasa nanti karena adik menyukai piano?"
Kali ini, Sheren terdiam mendengar pertanyaan sang kakak. Sejujurnya, Sheren menyukai piano. Namun dia tidak tahu apakah saat besar nanti, apakah dia akan menjadi pianis atau tidak? Karena Sheren tidak memiliki keinginan ke arah sana. "Entah, aku tidak tahu."
"Bagaimana kalau begini? Papa memberimu waktu tiga tahun untuk menemukan jenjang karier yang kamu inginkan. Jika sampai kamu lulus nanti kamu belum memiliki cita-citamu sendiri, maka ikuti keinginan Papa dan Mama tanpa bantahan. Namun jika kamu sudah memilikinya, katakan pada kami dan kami akan mengikuti maumu," tawar Papa.
Sheren terdiam, dia berpikir sejenak. Kemudian berkata, "Oke Pa."
***
Surabaya, 15 Januari 2020
Aku tak tahu apa cita-citaku. Aku tahu, bahwa aku senang bermain piano. Namun, aku juga tidak tahu apakah aku benar-benar ingin menjadi musisi di masa depan?