Chereads / Catatan Cerita / Chapter 47 - Catatan 46: Menunggu

Chapter 47 - Catatan 46: Menunggu

Sheren memandang dengan pandangan asing pada koridor sekolahnya. Perasaan asing melanda karena dia sudah lama tidak masuk sekolah dan sudah lama tidak bertemu teman-teman sekolahnya kecuali Adeline, ditambah lagi tatapan-tatapan yang dilayangkan oleh para siswa-siswi yang berpapasan dengannya di koridor semakin membuatnya tidak nyaman.

"Selamat pagi!" ucap Sheren saat dia memasuki kelas. Aktivitas yang sedang dilakukan oleh teman-teman sekelasnya seketika berhenti, atensi para siswa kini terarah pada dirinya. Namun, mereka tersenyum padanya dan memperlakukannya seperti biasa. Tidak ada tatapan aneh dan tatapan ingin tahu yang menyerangnya seperti di koridor tadi. Kemudian, Sheren berjalan ke bangku yang sudah lama tidak dia tempati.

Pelukan hangat dia terima saat duduk di bangkunya. Sashi dan Rhea memeluknya dengan hangat. "Kangennnnnn, udah lama gak ketemu," ucap Sashi dengan nada ceria. Sashi dan Rhea kemudian melepaskan pelukan mereka dari Sheren. "Kamu apa kabar?" tanya Sashi lagi,

"Aku baik-baik saja, hanya kesibukanku yang bertambah padat dan banyak. Kalian sehat?" tanya Sheren menatap kedua sahabatnya secara bergantian.

Rhea tersenyum, "Aku sangat sehat. Oh ya, apa Hari Sabtu ini kamu ada waktu? Aku mengundangmu untuk datang ke pembukaan kafeku dan Kak Ricky. Kami membuka kafe baru."

"Sabtu ini? Jam berapa? Karena aku harus berlatih orkestra bersama Winter Orkestra untuk mewakili negara kita." Sheren mengucapkan kalimat itu dengan ekspresi kecewa, dia kecewa karena dia tidak bisa mendukung sahabatnya dalam acara pembukaan kafe barunya.

"Tidak usah memaksakan diri untuk datang jika kamu tidak bisa. Aku paham kok, She. Lebih baik, kamu habiskan waktumu untuk istirahat," senyum Rhea.

Sheren menggembungkan pipinya kesal, kemudian berkata, "Padahal aku sudah lama tidak bertemu kalian! Ah baiklah, aku usahakan untuk datang! Tapi tidak bisa berlama-lama." Percakapan itu kemudian terputus karena bel yang menandakan jam pertama sudah berbunyi.

***

Kini, Sheren tengah berada di kantin. Jam istirahat telah dimulai, dan Sheren harus makan banyak untuk aktivitasnya nanti sore. Sore nanti, dia harus berlatih orkestra lebih lama dari biasanya karena jadwal yang ditambah akibat waktu yang mereka punya semakin sedikit.

"Makan pelan-pelan, nanti kamu tersedak."

Sheren menoleh ke kiri saat mendengar suara berat menyapa gendang telinganya. Dan manik mata Sheren menemukan Shawn yang kini duduk di sampingnya. Seporsi soto daging dan es teh manis dibawa oleh pemuda itu di atas nampan. "Kamu ngapain di sini?" Sheren merasakan keheranan saat dia mengucapkan kalimat tanya itu dengan nada ketus.

"Hm? Memang kenapa? Aku mengganggumu?" tanya Shawn tidak enak hati. Dia merasa Sheren terganggu dengan kedatangannya yang tiba-tiba ini.

Sheren mengibaskan tangan kirinya, memberinya gestur bahwa dia tidak merasa terganggu. "Enggak, enggak kok hanya sedikit kaget. Loh Keano?"

Keano yang memang datang ke meja ini bersama Shawn tertawa melihat ekspresi Sheren yang terkejut. "Hai, wah kita ketemu lagi!"

"Kamu sekolah di sini?" Tiba-tiba, pernyataan yang diucapkan oleh Bu Wendy dulu melintas kembali di otaknya. Hanya Shawn yang sebaya dengannya, sedangkan Reyna dan Reinarth lebih muda beberapa tahun darinya. Dan sisanya lebih tua dari Shawn dan Sheren beberapa tahun. Dan itu berarti termasuk Keano kan?

Keano tersenyum, tangan kanannya mengaduk-aduk mi ayam yang mengepulkan asap putih. "Ya, aku sekolah di sini juga. Namun berbeda kelas denganmu dan Shaka."

Sheren mengangguk. Dia memutuskan untuk tidak bertanya tentang masalah itu karena itu adalah privasi Keano. Akhirnya, mereka menikmati makan siang mereka dengan tenang.

***

Sheren, Shaka, Shawn, dan Keano berjalan beriringan di koridor. Jam sekolah telah usai. Sheren melangkah dengan langkah berat. "Kean, apa aku boleh tidak berlatih orkestra?" Dia menatap Keano dengan tatapan merengek. Punggung dan tangan Sheren terasa sakit karena harus duduk lama.

Shaka mencubit pipi adiknya gemas. "Jangan dong, kamu gak boleh begitu. Jika kamu tidak berlatih, kasihan teman-teman orkestramu, kasihan juga pada manajermu karena dia pasti dimarahi oleh Bu Winona akibat kamu tidak berlatih."

"Iya sih, kamu benar. Dan berlatih bersama Winter Orkestra memang menyenangkan. Tapi aku capek," rengek Sheren lagi. Dia masih berusaha untuk bisa mendapatkan waktu istirahat walau sehari.

"Begini saja, setelah kamu berlatih orkestra kita beli es krim. Mau?" tawar Keano.

Sheren tersenyum riang, "Kamu yang traktir?" Keano mengangguk. "Setuju!" ucap Sheren riang sambil mengacungkan jempolnya. Shawn tersenyum tipis melihat reaksi Sheren yang baginya menggemaskan. Dia sengaja diam karena Sheren tidak mengajaknya bicara dan dia merasa Sheren sedang menghindarinya entah karena apa.

***

Suara-suara alat musik yang berpadu dengan sangat indah bergema memenuhi gedung orkestra itu. Sheren tersenyum saat mendengar suara pianonya bisa berkolaborasi dengan apik bersama dengan suara-suara alat musik yang dimainkan oleh teman-temannya. Bagi siapa saja yang mendengar alunan musik ini pasti akan merasakan candu yang luar biasa, karena musik ini membelai telinga dengan lembut.

Notasi terakhir telah selesai dimainkan. Sheren melakukan peregangan tangan karena tangannya terasa sangat pegal. Sepasang tangannya merasakan kelelahan akibat bermain piano dalam jangka waktu lama, ditambah lagi tempo-tempo yang bergerak naik turun sehingga membuat tangannya harus bekerja dengan ekstra dan hati-hati.

"Berat She?" tanya Adeline yang duduk tepat di sampingnya.

"Berat itu pasti Line, apalagi lagu-lagu yang kita mainkan memiliki variasi tempo yang luar biasa. Dagumu gak sakit?"

Adeline tersenyum, "Sedikit sakit tapi tidak apa-apa." Sheren tersenyum, kemudian dia meminum air mineral yang dia bawa dan diia letakkan di bawah kursinya.

"Oke! Ayo berlatih lagi!" Seruan sang konduktor membuat Sheren dan kawan-kawannya kembali ke posisi mereka masing-masing. Kemudian, suara biola terdengar diikuti oleh suara alat musik lainnya yang mengikuti. Latihan kali ini memiliki waktu istirahat yang sangat sedikit.

***

Malam telah larut saat Sheren keluar dari gedung orkestra. Jam tangannya menunjukkan pukul 24.00. Dia menghela nafas saat tahu bahwa janjinya dengan Keano tidak bisa terlaksana dan itu membuatnya kesal. Ditambah lagi, jalanan yang mulai sepi dan tidak ada tanda-tanda kendaraan lewat. Sheren semakin menggerutu saat dia menyadari dia sendirian dan tidak membawa kendaraan. Teman-temannya sebagian sudah pulang dan sebagian lagi masih ada di dalam gedung orkestra.

Tangannya akan menekan nomor ponsel Shaka saat seseorang menepuk bahunya dari belakang. Tepukan itu membuat Sheren menoleh, dia menemukan Shawn berdiri di belakangnya. Sheren samar-samar bisa melihat sisa riasan yang baru saja dibersihkan dari wajah Shawn.

"Sedang apa kamu di sini?"

Shawn tersenyum, "Tentu saja menjemputmu pulang. Kamu sudah makan?"

Manik mata Sheren menatap Shawn intens. "Belum. Ini sudah malam dan kenapa kamu menungguku di sini?"

"Apa aku tidak boleh menunggumu?"

"Tidak juga. Hanya saja, kamu pasti butuh istirahat yang banyak karena jadwalmu sangat padat." Sheren menatap Shawn dengan tatapan datar, walau dalam hati dia sedang menahan gejolak perasaannya. Ada perasaan ingin tahu, namun juga senang dan kesal di saat yang bersamaan.

"Makan di mobilku saja gimana? Ini sudah malam dan sudah susah mencari restoran yang buka."

"Ha? Makan di mobilmu? Kapan kamu membeli makanan?"

Shawn menarik tangan Sheren untuk mengikutinya. Dan Sheren mengikuti langkah kaki Shawn menuju tempat parkir mobil. "Tadi sebelum ke sini, aku mampir untuk membeli spageti," jawab Shawn sambil tersenyum. Kemudian, Sheren memasuki mobil Shawn setelah Shawn membukakan pintu penumpang depan untuknya. Tak lama kemudian, Shawn masuk ke mobil dan mobil itu meninggalkan tempat parkir.

"Shawn, boleh tanya sesuatu? Kenapa kamu sebaik ini sama aku?" tanya Sheren sembari mengaduk spageti agar tercampur sempurna dengan sausnya. Sheren terpaksa bertanya pada Shawn karena dia penasaran setengah mati. Kebaikan pemuda itu terlihat aneh di mata Sheren.

Shawn tersenyum sambil menatap Sheren sekilas, kemudian kembali berkonsentrasi menatap jalanan lengang di depannya. "Gimana jika aku bilang bahwa aku suka kamu?"

Sheren menelan spageti yang telah dia kunyah kemudian berkata, "Memang apa yang kamu sukai dari aku? Aku bukan Lily yang terkenal dan cantik."

Shawn tersenyum, "Kamu dan Lily berbeda, itu benar. Tapi Lily hanya masa lalu, aku dan dia adalah masa lalu yang sudah lewat. Kami sekarang berteman baik dan tidak ada rasa cinta yang tumbuh lagi di hati kami."

"Kenapa begitu?"

"Karena aku dan dia sudah tidak saling mencintai, Kami dijodohkan oleh Kakekku, tapi gagal."

"Apa Kakekmu tidak marah dengan kegagalan perjodohan kalian?"

"Tidak, untuk apa beliau marah. Beliau sadar bahwa jika dia bukan jodohku, maka dia tidak akan bisa menjadi milikku."

Sebuah perasaan lega menelusup ke hati Sheren entah mengapa, dia tidak tahu. "Tapi, aku belum siap Shawn. Aku tidak begitu mengenalmu."

Shawn tersenyum, "Maka, aku akan menunggumu selama apapun itu."

"Yakin?"

"Yakin!" Jawaban mantap dari Shawn membuat suasana hening. Sheren merasakan udara di sekitarnya mendadak dipenuhi oleh rasa cinta yang memabukkan hingga membuatnya mual. Ditambah lagi, pipinya memanas. Sheren kemudian memakan spagetinya dengan lahap untuk menghindari pembicaraan dengan Shawn.

***

Surabaya, 7 Mei 2020

Jadi, hari ini berarti aku memiliki pacar? Atau seseorang yang sejenis itu?