"Mulai hari ini kalian diantar Ayah jika ingin bepergian!Mama dan Ayah sepakat untuk tidak mengizinkan Shaka membawa mobil sendiri," tegas Mama. Mama menatap dua buah hatinya dengan kesal. Kekesalan itu terjadi karena Sheren dan Shaka mangkir dari jadwal kursus yang seharusnya mereka ikuti kemarin. Apalagi, baik Shaka maupun Sheren dengan sengaja membolos.
Sheren memutar bola matanya dengan malas seraya berkata, "Kami tidak membolos tiap hari, Ma! Lagipula, kenapa reaksi Mama berlebihan seperti ini sih?!"
Ayah meletakkan sendok dan garpu yang sedari tadi beliau pegang. "Dik, apa Adik bisa menjamin bahwa kamu pasti akan mendapatkan medali di kompetisi kali ini?" Diamnya sang putri merupakan sinyal bagi Ayah bahwa si bungsu ragu. "Kamu sendiri bahkan meragukan kemampuanmu untuk mendapatkan medali emas! Lantas, bagaimana dengan kami? Apa menurutmu kami tidak ragu? Kami tidak takut?"
Sheren akan menjawab perkataan sang Ayah, namun genggaman tangan saudaranya mencegahnya untuk bicara. Shaka menggenggam tangan kanan Sheren erat, melarang gadis itu untuk menjawab. Hal itu membuatnya kesal. Lantas, Sheren menepis tangan Shaka seraya berkata dengan marah, "Kalian selalu bicara soal medali dan piala tanpa pernah tahu perasaanku yang sesungguhnya!! Sekarang, apakah piala-piala dan medali itu lantas membuat kalian menjadi sangat kaya raya melebihi raja tanpa harus bekerja?! Apa piala itu bisa memberikan kebahagiaan? Kalian pasti menjawab iya! Kebahagiaan untuk kalian, bukan untukku!" Kemudian, Sheren berlalu dari ruang makan dengan kesal. Gadis itu kini berjalan menuju studio musik miliknya yang ada di rumah.
***
Dentingan itu terdengar sumbang kendati kunci yang ditekan oleh Sheren sudah benar. Tekanan jemarinya pada tuts hitam putih itu terlalu keras, sehingga menimbulkan nada suara sumbang. Kekesalan gadis itu pada Adisty semakin memuncak. Dia merasa, kelancangan Adisty sudah diluar batas. Dia hanya membolos sekali, dan dia juga tidak melakukan hal terlarang. Dia hanya pergi ke pusat perbelanjaan bersama saudara kembarnya dan berbelanja beberapa camilan. Dan Adisty melaporkan pada Mama bahwa dia membolos. Ini sudah tidak bisa ditolerir! Adisty terlalu sering melaporkan kesalahan kecil Sheren pada Mama. Kesalahan yang seharusnya tidak perlu dia bicarakan pada Mama.
Suara pintu ruang studio dibuka bersamaan dengan Sheren menekan notasi terakhir lagu itu pada pianonya. "Loh nadanya fals," ucap orang yang baru saja memasuki ruangan. Dia Adisty, seseorang yang menjadi objek kekesalan Sheren sejak tadi. Rupanya, gadis itu sudah datang.
"Kita mulai latihannya." Tanpa basa-basi lagi, Sheren kembali menekan tuts-tuts hitam putih itu. Dia sedang tidak ingin bertengkar dengan Adisty. Apalagi, dia sekarang sedang berlatih di rumahnya. Sheren akan memikirkan rencana yang tepat untuk lolos dari jerat menyebalkan ini. Dan dia harus bertahan hingga kompetisi berakhir.
Tuts terakhir telah ditekan Sheren, namun terlalu keras. Adisty menatap Sheren dengan khawatir. "Kamu melakukan beberapa kesalahan. Performamu hari ini tidak seperti kemarin."
Dengusan keluar dari mulut Sheren. "Performaku yang kemarin? Kemarin aku tidak latihan loh." Sheren menyeringai. "Kemarin, aku berjalan-jalan dengan Kakakku. Aku sangat senang kemarin, sayangnya itu tidak bertahan lama. Ada orang yang menghancurkan kebahagiaanku yang sangat sedikit itu."
Sepasang netra Sheren melihat jelas perubahan raut wajah Adisty. Perempuan cantik itu sesaat tadi menampilkan ekspresi marah, namun ekspresi itu hilang secepat datangnya. "Ayo berlatih lagi! Kali ini jangan sampai salah lagi," senyum Adisty. Namun, Sheren tahu bahwa itu adalah senyum palsu. Dalam hati Sheren berkata, bahwa satu persatu topeng lembut Adisty mulai luruh. Lalu, Sheren kembali memainkan pianonya.
***
Latihan piano berakhir saat jam makan siang. Adisty telah sampai di ruang tamu diantar oleh Sheren saat Shaka, Mama, dan Ayah juga sedang memasuki ruang tamu. Sheren menatap Mama dengan waspada, instingnya mengatakan demikian. Gadis cantik itu menatap Mama dan Adisty bergantian.
"Selamat siang, Mamanya Sheren. Baru pulang bekerja?" sapa Adisty ramah. Keramahannya kini terdengar berbeda di telinga Sheren. Sebenarnya, Sheren sudah tahu sejak dulu bahwa Adisty selalu melaporkan tindak tanduknya pada Mama. Namun, baru kali ini Sheren menanggapi hal ini dengan serius.
Mama tersenyum. "Iya, Saya dan Ayahnya Sheren baru pulang bekerja. Sementara Shaka baru pulang sekolah. Oh ya, kalian sudah makan siang?"
"Saya makan di rumah saja, Ibu. Saya ada urusan lagi setelah ini," tolak Adisty dengan nada lembut. Hal itu lantas menimbulkan ekspresi keruh di wajah Sheren.
Mama tertawa. "Jangan begitu! Makan dulu bersama kami ya?" Mama lalu menuntun Adisty ke ruang makan. Tindakan itu semakin memperkeruh ekspresi Sheren. Gadis itu menatap punggung Mama dan Adisty dengan kesal.
Tepukan lembut di kepala Sheren membuatnya menoleh ke kiri. "Ayo makan siang, mau sampai kapan berdiri di sini saja?" senyum Ayah. Ayah lalu merangkul pundak putra-putrinya. Kemudian, Ayah bersama si kembar berjalan menuju ruang makan. Menyusul Mama dan Adisty yang sudah berada di sana lebih dulu.
Selama makan siang di ruang makan, Sheren kehilangan nafsu makannya. Gadis cantik itu tidak berminat sama sekali menyantap hidangan makan siangnya. Batinnya dipenuhi rasa muak pada Adisty,terutama pada senyuman wanita itu yang menyiratkan kepura-puraan.
***
"Hah? Wah perempuan gila! Dia mengatakan hal itu pada Mamamu? Padahal itu bukan masalah besar," jengkel Rhea sambil mengaduk mangga mudanya agar bercampur dengan sambal kacang. Tiga gadis itu kini tengah berada di kafe Rhea setelah Sheren meminta mereka untuk berkumpul seusai jam makan siang.
Sashi menelan pepayanya, kemudian berkata, "Bukannya kamu sudah sering menceritakan hal ini She? Lalu, kenapa baru sekarang bertindak? Aku sudah mengingatkanmu dari dulu tentang Adisty."
Sheren cemberut. "Aku pikir Shi, aku tidak perlu menanggapi tindakannya ini karena aku gak enak. Dan dulu, aku juga kasihan pada keluarganya. Dia menceritakan kondisi keluarganya, dan aku takut Mamaku akan memecatnya jika aku mengadukannya pada Mama."
"Dan kalau kamu terus mendiamkan dia seperti sekarang, kamu yang akan terluka. Luka yang sebenarnya tidak perlu kamu rasakan, namun memiliki dampak yang fatal. Kamu harus bertindak, She," nasihat Rhea. Gadis itu merasa kesal saat mendengar cerita Sheren tentang Adisty.
Helaan nafas lelah terdengar dari mulut Sheren. "Lalu, aku harus gimana supaya dia bisa berhenti mengajarku?" Sheren menggigit bibir bawahnya, otak gadis itu tengah berpikir keras.
"Setelah kompetisi, apa kamu tidak bisa berganti guru les? Kudengar, ada banyak guru dengan kemampuan bagus di orkestra Adeline. Aku rasa, salah satu dari mereka tidak keberatan mengajarmu. Apalagi, dengan kemampuanmu yang sebagus itu," saran Rhea yang juga mendapatkan anggukan persetujuan dari Sashi.
"Kalau Mamamu tidak mau memecat Adisty, kamu bisa bilang pada Tantemu kan? Aku rasa, Kak Felicia dengan senang hati akan membantumu," imbuh Sashi.
Sheren mengaduk minuman boba rasa stroberi miliknya dengan gamang. "Menurut kalian, apa yang kulakukan sudah benar?"
"Yang mana?" tanya Rhea dan Sashi bersamaan. Suara dua gadis itu bagaikan suara para penyanyi paduan suara yang berbaur dengan indah.
Sheren menatap Sashi dan Rhea secara bergantian seraya berkata, "Menyimpan sendiri apa yang kurasakan pada Adisty."
"Yang kamu lakukan itu salah. Harusnya, saat Adisty melakukan itu pertama kali, kamu harus menceritakannya pada kami. Bukan malah memendamnya sendirian seperti itu. Karena masalah ini memang terlihat sepele, tapi dampaknya besar," kata Rhea dengan nada datar. Kekesalannya pada Adisty berangsur mereda.
Sashi menatap Rhea dengan pandangan lembut, dia mengerti maksud Rhea. "Karena dikhianati oleh orang yang dekat dengan kita dan kita percayai adalah hal yang menyakitkan."
"Terima kasih, teman-teman. Karena kalian mau mendengarkan keluh kesahku." Lalu, Sheren memeluk dua sahabatnya itu secara bergantian. Dia sangat bersyukur karena memiliki sahabat yang sangat pengertian seperti mereka.
***
Surabaya, 30 Januari 2020
Rupanya, Tuhan memberikanku banyak orang-orang yang pengertian. Tak lupa, tetap ada orang-orang yang sangat menyebalkan di hidupku. Rasa-rasanya, hidupku akan hampa tanpa orang-orang semacam Adisty.