Chereads / My Roselle / Chapter 12 - Life problems

Chapter 12 - Life problems

Meneguk kembali minumannya, bahkan gadis itu sudah menghabiskan lebih dari satu botol minuman beralkohol hingga membuatnya begitu mabuk, sedang sejak tadi Julian hanya memperhatikan wanita itu. Ivy memang sosok wanita yang ceria menurutnya, bahkan Ia cukup banyak bicara sehingga membuat mereka tidak kehabisan topik pembicaraan, sikapnya sungguh sangat berbeda dengan Rose.

Ivy beranjak dari duduknya dengan sedikit berpegangan ke meja, Ia sudah mulai limbung namun tak sedikitpun membuatnya menyerah dan meraih tangan Julian hendak menariknya untuk ikut ke lantai dansa bersamanya, namun Julian menolak dan meminta Ivy untuk berdansa lebih dulu, seolah begitu menikmati irama musik, Ivy tetap melangkahkan kakinya ke lantai dansa tanpa Julian.

Julian perhatikan lagi wanita itu dari tempat duduknya, sebenarnya Ia dan Ivy sama-sama sudah mabuk parah dan akan sangat merepotkan jika harus mengurus wanita tersebut. Julian merasa jenuh hingga ingatannya lagi-lagi kembali pada Rose dan hal itu membuatnya cukup kesal bahkan gadis itu tak bisa membuatnya berhenti memikirkannya.

Tampaknya ide bertemu dengan Ivy dan bersenang-senang tidak cukup membantunya melupakan Rose sejenak, bahkan sekalipun Julian mendatangi Melisa, hal itu tak berpengaruh apapun untuknya. Sehingga Julian memutuskan untuk pergi, Ia meletakkan uang di atas meja bar dan berpesan pada sang bartender yang sudah cukup Ia kenal.

"Seperti biasa, kau bisa ambil kembaliannya," ujar Julian, pria bartender itu kemudian berterimakasih.

"Oh, dan satu lagi, kau ingat wanita yang tadi bersamaku di sana?" Julian menunjuk ke arah Ivy yang tengah asik berdansa.

"Ya," jawab si pria bartender.

"Dia sudah mabuk parah, jika dia mencariku katakan jika aku memiliki urusan dan harus segera pergi. Tolong pesankan taksi juga untuknya pulang," pesan Julian yang juga sudah cukup kesulitan menjaga keseimbangannya untuk berdiri.

"Baik Tuan."

Tanpa menghiraukan Ivy lagi, Julian keluar dari dalam bar dan tentu untuk pergi menemui Rose, sungguh gadis itu terus membayangi pikirannya, Julian tak akan merasa tenang sebelum dapat kembali bertemu Rose.

-

-

Mobil pria itu terparkir di depan apartemen Rose dengan bantuan supir sewaannya. Dengan susah payah Julian menaiki tangga apartemen Rose hingga berhasil sampai di depan pintu apartemen gadis itu, awalnya supir online yang di pesannya menawarkan untuk membantu namun Julian menolaknya.

Rose yang sudah bersiap untuk tidur, terkejut ketika mendengar suara pintunya di ketuk begitu keras, padahal siapapun itu seharusnya tahu ada bel pintu di depan yang bisa mereka tekan. Ketika membukakan pintu, Ia cukup terkejut melihat jika Julian lah yang datang dan tanpa aba-aba tubuh pria itu limbung menimpa Rose hingga gadis itu kewalahan menahan tubuhnya.

"Kau mabuk lagi??" panik Rose seraya kesulitan memapah pria itu.

"Mengapa kau suka sekali mabuk?" gerutunya setelah berhasil merebahkan tubuh pria itu di sofa.

"Dan mengapa kau harus datang kemari?" lanjutnya kesal.

Rose masih memiliki hati nurani, Ia tak mungkin diam saja melihat Julian yang sudah tak sadarkan diri, dan segera Ia melepaskan sepatu yang masih melekat di kaki pria itu, kemudian mengambil air hangat untuk membersihkan wajah, tangan dan kakinya. Tiba-tiba pria itu bangun dan berlari menuju kamar mandi, membuat Rose terkejut, Julian memuntahkan semua isi di perutnya.

"Kau baik-baik saja?"

"Kepalaku pusing dan perutku sedikit sakit.." rintihnya.

"Itu pasti karena kau terlalu banyak minum."

Rose memperhatikan Julian yang meremas perutnya sembari menyender ke tembok kamar mandi, tampaknya Julian merasa kesakitan.

"Baiklah, ayo baringkan tubuhmu.. Akan ku ambilkan air hangat." Rose berpikir mungkin Julian merasa sakit perut karena hampir tiap malam pria itu selalu mabuk, Rose jadi mengkhawatirkan keadaannya.

Rose menuntun Julian ke kamarnya, Ia tak tega membiarkan pria itu tidur di sofa dengan keadaannya yang sedang tidak baik-baik saja. Setelah meminum air hangat yang Rose berikan, Julian kembali tidur. Dapat Rose lihat bekas pukulan di wajahnya yang sudah mulai memudar, Rose sangat yakin jika pria itu sama sekali tak merawat luka lebamnya sehingga Ia tergerak untuk mengambil obat oles dan mengobati luka lebam di wajah Julian.

Setelah selesai, Rose hendak beranjak untuk tidur di sofa, namun tiba-tiba Julian menarik tangannya dan membuat gadis itu tidur di sisinya lalu memeluknya. Rose cukup terkejut dan merasa tidak nyaman karena Ia takut sesuatu hal yang tidak dia inginkan terjadi, namun tampaknya Julian kembali terlelap dan tak berniat melakukan apapun.

***

"Selamat pagi," sapa Rose ketika pria itu keluar dari kamarnya.

Julian yang baru saja bangun masih mengusap matanya, rambutnya tampak acak-acakan tapi sama sekali tak mengurangi kadar ketampanannya.

"Apa yang kau lakukan?" tanya pria itu seraya mendudukkan dirinya di sofa.

"Membuat sarapan."

"Kau tidak bekerja?"

Rose menggeleng, "Hari ini aku mengambil cuti," ucap Rose sejenak memperhatikan Julian yang masih memegangi perutnya.

"Bagaimana jika kita pergi ke dokter?" tanyanya.

"Untuk apa?"

"Sepertinya terjadi sesuatu pada perutmu, aku takut itu disebabkan karna--"

"Aku baik-baik saja," sergah Julian kemudian meraih remote dan menyalakan televisi, Ia masih kesal pada Rose karena kemarin gadis itu tak mau menuruti ucapannya. Tapi Ia tahu apa yang Rose lakukan saat dirinya mabuk, Rose benar-benar merawatnya dengan baik. Jujur saja, ini pertama kalinya Julian menemukan wanita yang benar-benar memperhatikannya.

"Jangan jadi pria jorok, cuci mukamu sebelum sarapan," ucap Rose ketika pria itu menyendok sebuah sup.

"Baiklah.." Julian menghela nafas, lalu segera mencuci mukanya.

"Kau penurut juga," celoteh Rose diam-diam.

Ketika selesai membersihkan wajahnya, pria itu kembali dan bersiap menikmati sarapan yang Rose buatkan untuknya, ponselnya berdering namun Julian seolah tak peduli.

"Mengapa tidak diangkat?" tanya Rose setelah mendengar nada dering ponsel itu yang tak kunjung padam.

Pria itu berjalan ke arah ponselnya seraya menghela nafas, kemudian menjauh dari Rose untuk mengangkat panggilan yang masuk.

"Ya?"

...

"Kau bisa meminta pengacaraku untuk menandatanginya."

...

"Haruskah aku ikut hadir?"

...

"Bukankah aku tidak ikut andil dalam peresmian itu??" ucapnya lagi sedikit menaikkan nada suaranya.

...

"Baiklah baiklah! aku akan datang." Julian menutup panggilan telepon tersebut dan kembali mendudukkan dirinya di sofa.

"Apa ada hal penting?"

"Ya, aku harus pergi setelah sarapan," jawab Julian bersamaan dengan ponsel Rose yang berdering.

"Ya Kak?" panggil Rose setelah menerima panggilan tersebut, tampaknya sang kakak bernama Valerie yang telah menghubunginya.

...

"Tidak, aku tidak bekerja."

...

"Apa? Sakit Ayah kambuh?"

...

"Baiklah aku akan segera ke sana."

"Apa yang terjadi?" tanya Julian setelah Rose menutup teleponnya.

"Penyakit Ibuku kambuh dan aku harus segera ke rumah sakit." Rose yang tengah duduk hendak beranjak untuk bersiap-siap namun Julian menahan tangannya.

"Duduklah dan makan dulu sarapanmu, setelah itu aku akan mengantarmu menuju rumah sakit, Ayahmu pasti akan baik-baik saja," ucap Julian berusaha menenangkan Rose.

Awalnya Rose terlihat gelisah, tapi Ia menuruti ucapan Julian untuk memakan sarapannya lebih dulu.

Sebenarnya Julian memiliki urusannya sendiri dan Ia juga harus bergegas, namun Ia merasa iba pada Rose dan berpikir untuk mengantarnya lebih dulu, toh tidak ada salahnya bertemu dengan orang tua Rose sekaligus mengenalkan dirinya sebagai kekasih putrinya. Julian memang begitu percaya diri.

*

Keduanya sampai di rumah sakit, dengan segera Rose menemui ayahnya yang sedang tak sadarkan diri.

"Apa yang terjadi pada Ayah?" tanyanya pada sang Ibu bernama Martha yang sebenarnya adalah ibu sambungnya.

"Dia jatuh di kamar mandi."

"Bagaimana bisa itu terjadi?"

"Apa pedulimu, Rose? Kau hanya memikirkan dirimu saja bukan?!" bentak sang Ibu dengan kasar.

"Tolong jangan mengajakku untuk berdebat di saat seperti ini, Bu," pinta Rose. Ia dan Ibu sambungnya memang tak pernah akur sehingga Rose merasa tak nyaman harus tinggal satu atap dengannya.

"Apa Valerie yang memberimu kabar dan memintamu untuk datang?"

Rose mengangguk.

"Sudah ku katakan padanya untuk tidak memberimu kabar, dia memang sama keras kepalanya seperti dirimu." Wanita paruh baya itu kembali masuk ke ruangan suaminya dengan kesal.

Sedikit jauh dari sana Julian memperhatikan Rose, sebenarnya Rose meminta Julian untuk mengantarnya saja, namun Julian malah menawarkan diri untuk masuk. Rose tak mau pria itu tahu yang sebenarnya tentang keluarganya sehingga Ia melarang Julian untuk ikut menengok sang Ayah, tapi dasar Julian, pria itu tak akan mau menurut pada siapapun.

Hubungan Rose dengan Ibu sambungnya tidak pernah baik-baik saja, Rose tidak pernah dapat berbaikan dengan wanita yang saat ini menjadi istri ayahnya. Ibu kandungnya sudah tiada ketika usianya menginjak 17 tahun dan setahun kematian ibunya, sang Ayah memutuskan untuk menikah kembali dengan wanita yang kini menjadi istrinya.

Awalnya Rose dapat berkuliah karena sang Ayah yang begitu mendukungnya untuk melanjutkan sekolahnya juga karena faktor ekonomi keluarga yang cukup di bilang lebih dari cukup, namun semenjak Martha masuk ke dalam hidup sang Ayah, semua berubah, bahkan Rose tak pernah tahu yang terjadi dengan ekonomi keluarganya yang tiba-tiba surut, hingga Ayahnya dengan terang-terangan mengatakan tak lagi sanggup membiayai kuliah Rose karena harus membiayai sekolah sang adik bernama Hilda yang adalah anak bawaan dari ibu tirinya.

Rose dengan ikhlas menerima keputusan sang Ayah untuk berhenti kuliah dan mencari pekerjaan, namun masalah demi masalah terus berlanjut hingga bisnis ayahnya benar-benar merosot hingga bangkrut dan keluarganya mengalami krisis ekonomi yang benar-benar parah hingga akhirnya Rose harus ikut membantu sang Ayah membiayai sekolah Hilda hingga terkadang diam-diam memberikan uang pada sang Ayah.

Rose tak pernah tahu mengapa sejak awal Martha tak pernah menyukainya, apa mungkin karena dia hanyalah anak bawaan sang Ayah sehingga Martha begitu pemilih untuk menyayangi Rose yang juga telah menjadi anaknya. Namun berbeda dengan Valerie, Martha sedikit akur dengan sang kakak, namun Rose tak pernah tahu alasannya, meski terkadang sikap Martha juga menunjukkan ketidaksukaan yang sama terhadap Valerie.