Pagi ini Rose sudah bersiap untuk pergi bekerja, setelah Julian pergi dari apartemennya semalam, hingga pagi ini pria itu belum juga menghubunginya, hal itu membuat Rose sedikit memikirkannya.
Pikirannya buyar seketika mendengar nada ponselnya berdering, panggilan dari Valerie.
"Ya?"
'Rose, apa kau sudah melunasi biaya pengobatan Ayah?' tanya Valerie di seberang sana.
"Apa? Membayar? Aku tidak membayar biaya pengobatan Ayah," jawab Rose.
'Tapi sudah ada yang menyelesaikan semua administrasinya, ku pikir itu dirimu.'
"Benarkah? Sudahkah kau memeriksanya lagi?"
'Ya, mereka mengatakan jika orang yang melunasinya adalah seorang pria yang datang dengan seorang wanita kemarin, tidak ada yang datang selain dirimu kemarin, dan itu tidak mungkin Ibu.' jelas Valeri.
"Pria?"
'Semua sudah di bayar lunas, bahkan Ia meninggalkan uang lebih jikalau ada kebutuhan mendadak lainnya. Dia sangat baik, apakah dia temanmu?'
Seketika Rose teringat pada Julian, karena Julian lah yang datang dengannya kemarin.
"Eh ya, syukurlah.. Ku pikir itu Julian.."
'Julian?'
"Kita bicarakan lagi nanti, aku akan menghubungimu, aku harus segera pergi bekerja." Rose segera menutup panggilannya dan bergegas menunggu bus dihalte dengan masih memikirkan siapakah gerangan yang sudah membayar lunas pengobatan ayahnya, dan mungkinkah itu Julian.
Sesampainya di tempat bekerja, seseorang memanggilnya dari seberang membuat Rose mencari siapa sosok orang yang memanggilnya itu. Seorang wanita dengan tergesa berjalan ke arahnya dan tanpa aba-aba melayangkan sebuah tamparan di wajahnya.
Plak!
Rose terkejut bukan main, baru saja datang bekerja namun tiba-tiba wanita yang adalah Melisa menamparnya tanpa sebab.
"Dasar wanita penggoda!" lontar wanita itu.
"Apa maksudmu? Mengapa kau menamparku??" protes Rose.
"Julian adalah kekasihku! Kau lupa jika dia memiliki kekasih, hah?!" teriaknya.
"Kekasih? Kau menduakan Julian dan pergi ke hotel dengan pria lain, kau lupa hal itu?" Rose mencoba menyerangnya balik.
"Jangan sok tahu! Setelah kejadian itu aku bahkan masih tidur dengannya, hubungan kami sudah sangat intim, dan masalah sekecil itu tak akan membuat hubungan kami berakhir, jadi jangan coba-coba menggodanya!" jelas Melisa tanpa merasa malu.
Rose menyeringai merasa jijik dengan penjelasan Melisa, bukan karena Ia mendengar Julian tidur dengan Melisa, tapi wanita itu bahkan tanpa malu mengatakannya di hadapan Rose dan orang-orang yang kini memperhatikan mereka. Tentu Rose tidak percaya begitu saja dengan penjelasannya, karena Rose tahu wanita itu bahkan tidur dengan pria lain.
"Tidak waras." Rose berniat meninggalkan Melisa tapi segera wanita itu menarik tangannya.
"Lepas--" Rose berusaha melepaskan genggaman tangan Melisa tetapi wanita itu malah semakin kuat menggenggamnya bahkan tanpa sadar kuku-kuku tajam Melisa melukai pergelangan tangan Rose.
Tak diduga-duga seperti seorang hero, Julian datang dan menyingkirkan tangan wanita itu dari Rose dan menghalangi Melisa dari menggapai Rose.
"Melisa! Apa yang kau lakukan?!" teriaknya.
"Dia hanya pelayan dan wanita licik, dia berniat merebutmu dariku!" Melisa tidak terkontrol hingga hendak kembali meraih Rose.
"Ini bukan salahnya! Ikut aku!" Julian menarik tangannya, Melisa masih meronta, Ia masih belum puas menyerang Rose.
Sejenak Rose memperhatikan Julian yang membawa Melisa untuk menjauh, kemudian menyadari berapa orang sudah memperhatikannya di sana, Rose merasa malu dan segera masuk ke dalam. Biarlah soal wanita itu, Julian yang mengurusnya.
-
-
Julian menghentikan mobilnya di pinggir jalan yang cukup sepi, pria itu sengaja membawa Melisa pergi jauh dari tempat Rose bekerja.
"Apa yang kau inginkan Melisa? Mengapa kau datang ke sana dan membuat keributan?" tanya Julian merasa kesal pada wanita itu.
"Lalu bagaimana dengan dirimu?? Mengapa tiba-tiba kau ada di sana?? Kau berkencan dengannya bukan?!" cecar Melisa.
"Berkencan? Apa yang sedang kau bicarakan ini??" elak Julian.
"Kau pergi ke rumah sakit bersamanya, bukankah itu benar?!"
"Ya, aku memang mengantarnya ke rumah sakit karena tak sengaja bertemu dan kami satu tujuan, aku hanya ingin menolongnya saja," bohong Julian.
"Lalu apa yang kau lakukan di sana?? Kau sengaja datang untuk menemuinya??" Melisa masih mencurigainya.
"Aku melihat mobilmu dan mengikutimu sampai ke restoran, ku pikir kau hendak menemui seseorang yang ternyata adalah gadis itu." Julian masih berusaha untuk menampik kecurigaan Melisa, akan lebih baik jika saat ini Ia berbohong demi menjauhkan Melisa dari Rose.
Mendengar penjelasan Julian, sejenak Melisa terdiam, tampak gadis itu memikirkan ucapan Julian yang cukup membuatnya yakin jika pria itu berkata jujur.
"Kau tidak percaya padaku?"
"Haruskah aku percaya?"
"Semua terserah padamu, toh aku sudah mencoba menjelaskannya padamu." Julian seolah acuh pada kecurigaan Melisa.
Melisa masih memperhatikan Julian dengan sedikit rasa tak percaya, menyadari itu Julian mencoba bersikap lembut dan meraih tangan gadis itu untuk meyakinkannya, "Tak ada apapun antara aku dan wanita itu, percayalah.." rayunya.
"Baiklah.. Aku percaya padamu," jawabnya.
"Kau sudah tenang sekarang?"
Melisa mengangguk dan tersenyum, dikecupnya bibir pria di sebelahnya itu.
"Baguslah.. Sebaiknya kita kembali untuk mengambil mobilmu." Julian hendak melajukan kembali mobilnya, namun Melisa kembali bicara.
"Sayang, kapan kau akan menceraikan Isabel?" pertanyaan yang begitu malas Julian dengar, bahkan pria itu melarang Melisa untuk menanyakannya kembali setelah pertanyaannya yang terakhir kali.
"Kau lupa jika aku tak suka kau menanyakan hal itu," kesalnya.
"Aku tahu sejak awal kau hanya menjadikanku simapananmu saja, tapi bukankah hubungan kalian juga tidak pernah membaik, lalu untuk apa mempertahankannya?" ucap Melisa.
"Kapan dan mengapa aku masih bertahan hanya aku saja yang tahu dan itu semua cukup menjadi urusanku, jika kau berkenan kau bisa menikmati waktumu saat ini," ungkap Julian menandakan jika dirinya tak ingin lagi membahas hal tersebut.
"Tapi sampai kapan kau-"
"Cukup Melisa, aku tak ingin membahasnya."
"Sudahlah, aku tak mau membahasnya."
Jawaban Julian tak cukup membuat Melisa merasa puas, hingga rasanya begitu mengesalkan lagi dan lagi mendapat jawaban yang sama dari Julian. Awalnya mungkin Melisa hanya bersedia menjadi wanita simpanan Julian saja, tapi rasanya begitu rugi jika suatu saat Melisa harus sampai kehilangan Julian sehingga Ia berpikir untuk terus menempel pada Julian dan perlahan menyingkirkan Isabel dan wanita-wanita lain yang mungkin di miliki Julian tanpa sepengetahuannya.
*
Di jam istirahatnya, Rose pergi ke rumah sakit untuk menjenguk ayahnya kembali. Syukurlah keadaan sang Ayah sudah lebih baik dan dokter memperbolehkannya pulang besok.
"Jadi siapa yang datang denganmu kemarin? Bagaimana mungkin kau tak tahu jika pria itu yang sudah melunasi biaya perawatan Ayah?" tanya Valerie membuat Rose kesulitan menjawab.
"Eh sebenarnya dia.."
"Kau sebut namanya Julian?"
"Ya, Julian adalah salah satu temanku," ucap Rose.
"Apa dia pegawai baru di tempatmu bekerja? Lalu mengapa dia sampai membayar semua biayanya? Apa kau berhutang padanya?" Valerie seolah begitu penasaran pada sosok Julian, pasalnya biaya perawatan sang Ayah terbilang cukup mahal, dan aneh rasanya memikirkan seorang teman Rose dengan tiba-tiba melunasi semua tagihannya.
"Kau benar, dia adalah pegawai baru dan aku memang sempat meninjam uang padanya, aku tidak menyangka jika dia langsung saja membayar tagihan rumah sakit tanpa bertanya dulu padaku. Baguslah, aku hanya tinggal mengangsur semua biaya yang sudah Ia keluarkan." Rose dengan terpaksa harus berbohong pada Valerie, toh tidak mungkin Ia mengatakan jika Julian adalah pria aneh yang bertemu secara tak wajar dengannya dan memaksanya untuk menjadi kekasihnya hanya dalam waktu singkat, apalagi mengingat pria itu bukanlah pria sembarangan yang mungkin tanpa Rose tahu jika Julian adalah seorang pemilik perusahaan atau anak orang kaya, meski tebakannya bisa saja salah.
"Jika begitu, sampaikan terimakasihku padanya," ujar Valerie.
Rose mengangguk, "Akan segera ku sampaikan."
**
Julian mencoba menghubungi Rose, namun gadis itu masih merasa kesal dengan yang terjadi hari ini, sehingga Rose yang awalnya tak mau datang ke acara reuni teman-teman sekolahnya, akhirnya memutuskan untuk datang demi menghindari Julian, Rose tahu pria itu pasti akan mencarinya di apartemen.
"Sudah sangat lama sejak terakhir kau memutuskan untuk datang, Roselle," goda salah seorang temannya.
"Ya.. Maaf, karena aku selalu sibuk bekerja." Rose beralasan.
"Kau selalu beralasan, padahal kami sangat ingin tahu kabarmu," timpal yang lain di ikuti tawa lirih beberapa orang.
Rose tahu jika kini banyak dari teman-teman sekolahnya dulu yang telah sukses, bahkan ada beberapa yang sudah menikah dan menjalani kehidupan yang bisa dikatakan mewah, sehingga terkadang Rose malas untuk datang ke perkumpulan itu bukan karena Ia merasa malu dengan kehidupannya tapi karena Ia malas mendengar kesombongan-kesombongan yang banyak Ia dengar dari mulut teman-temannya itu bahkan sering Rose mendengar kata-kata hinaan yang tersembunyi dari candaan-candaan mereka.
"Roselle! Senang sekali melihat kau datang!" sapa Kyle, salah seorang teman Rose yang baru datang, bagi Rose hanya gadis itulah satu-satunya teman lama yang dapat menghargainya dan tulus ketika bicara dengannya.
"Kyle? Bagaimana kabarmu?" sapa Rose.
Kyle bahkan kini menarik kursi dan duduk di sebelah Rose.
"Aku sangat baik, kau bahkan tak pernah datang ke perkumpulan.."
"Maaf, aku terlalu sibuk bekerja dan merasa lelah untuk datang."
"Apa kau masih bekerja menjadi pelayan di restoran itu?" tanya salah seorang temannya.
"Ya, aku masih bekerja di sana," jawab Rose.
"Aku pernah datang bersama keluargaku, Roselle terlihat cantik ketika mengenakan seragam kerjanya dan juga apron di lehernya," ungkap yang lain.
"Benarkah? Ku rasa kau memang cocok dengan seragam itu," gurau seseorang membuat beberapa dari mereka tertawa.
Rose hanya mengernyit, sebuah pujian yang lebih kepada sebuah hinaan, bukannya menikmati suasana perkumpulan itu, Rose justru merasa sangat tidak nyaman berada di sana.