"Apakah itu nama?" ucap lelaki tersebut dan Gisel menganggukkan kepalanya. "Aku tidak mengetahui siapa itu nama!" ucap lelaki tersebut.
"Nanti aku jelaskan, sebenarnya aku ke sini di suruh oleh Paman Maruyung." Tutur Gisel dengan menatap sekelilingnya.
"Hah kau bertemu dengan Maruyung, dimana dia?" Tanya dia sambil mencari-cari ke arah sekelilingnya.
"Nah itu aku tidak mengetahuinya tapi aku mengetahui ayah nya. Yang di sebut Paman ya itu ayah nya Maruyung." Jelas Gisel sambil menggerakkan tangannya.
"Oh jadi yang kamu maksud dengan Paman itu adalah ayahnya Maruyung?" tanya dan Gisel menganggukkan kepalanya.
"Sebenarnya juga aku di suruh oleh sepuh untuk datang ke pintu gerbang ini." Ujar dia sambil menundukkan pandangan ke bawah.
"Lalu dimana dia, seperti aku tidak melihat dia di sekitar sini." Sahut Gisel, "apakah kau mengetahui wajahnya?" tanya Gisel lagi dan dia membalas dengan gelengan dari kepalanya.
"Aku tidak mengetahui kata Sepuh dia perempuan dan memiliki tanda lahir di bahu kanan nya dan tanda lahir tersebut ialah gambar matahari." Ujar dia dan seketika Gisel melototkan matanya sebab ia yang memiliki tanda lahir matahari di bahu kanannya.
"Apakah seperti ini?" tanya Gisel kau memperlihatkan tanda lahir yang ada di bahu nya dan dia mengangguk kepalanya. "Iyah seperti itu sebab aku juga memiliki tanda lahir yang sama dengan itu hanya aku di bahu kiri." Ujar dia sambil memperlihatkan tanda lahir yang sama persis dengan miliki Gisel.
"Memang ada yang aneh dengan tanda lahir tersebut?" tanya Gisel sambil meraba tanda lahir tersebut.
"Aku tidak mengetahui secara pasti tapi yang ku tahu dari sepuh arti nya itu matahari yang dapat menghidupkan cahaya di atas kegelapan." Ujar dia dengan menatap polos wajah Gisel.
"Jadi lambang ini memiliki maksud yang dapat menghidupkan di atas kegelapan?" tanya Gisel dan dia hanya mengedikan bahu tanda tak mengerti.
"Ya sudah ayo kita ke rumah sepuh, dia sudah menunggu sejak beratusan tahun yang lalu." Ucap dia dengan santai dan seketika aku menatap tajam lelaki tersebut.
"Kau jangan mengada-ada mana mungkin Manusia dapat hidup dengan Beratus tahun yang lalu." Ujar Gisel sambil menunjuk ke arah lelaki tersebut dan ia hanya mengerutkan keningnya.
"Kami memang sudah lebih dari ratusan tahun tapi di sini yang paling adalah sepuh. Maka nya kami memanggil dia dengan nama sepuh karena ia paling tua di sini." Ujar lelaki tersebut lalu menarik tangan Gisel.
"Aku sungguh tak percaya dengan ke bodohan di sini. Mana mungkin manusia akan hidup dengan beratus-ratus tahun jangan untuk Beratus-ratus tahun untuk mencapai umur 60 ke atas saja sudah bersyukur." Ketus Gisel sambil melepaskan tangannya.
"Ya sudah jika tak percaya dengan apa yang aku katakan yang pasti semua di sini sudah beratus-ratus tahun yang hidup. Ayo cepat sepuh sudah menunggumu." Ia menarik tangan Gisel dan berjalan dengan bergandengan tangan.
Ketika mereka sampai di permukiman warga ia mulai merasa tidak enak sebab sedari tadi mereka menatap tajam dan sinis kepada Gisel. " Jangan ada yang bermain-main dengan dia, dia tamu Sepuh." Teriak lelaki tersebut dan seketika orang yang melihat ke arah Gisel langsung melanjutkan aktivitas yang sebelumnya mereka melihat ke arah Gisel.
"Mereka itu kenapa?" tanya Gisel sambil menatap biro dengan sekelilingnya sebab ia merasa aneh dengan lirikan pada umumnya.
"Mereka akan merasa terancam jika ada orang asing yang memasuki desa ini makanya sebelum kau masuk kau pasti akan bertemu dengan ular bukan?" tanya ia dan Gisel menganggukkan kepalanya. "Itu ulah punya Sepuh, ular tersebut jarang ada yang mati karena kekuatan hampir sama dengan milik Sepuh. Dan kau berhasil mengalahkan berarti kekuatan mu hampir sama dengan milik Sepuh." Ucap ia dan Gisel hanya melenggang pergi meninggalkan lelaki tersebut.
"Kau mau kemana?" teriak lelaki tersebut dan Gisel langsung menengok ke arah belakang. "Aku mau ke sumur dulu, itu bukan nya sumur ya?" tanya Gisel sambil menunjuk ke arah sumur dengan timbangan di atas nya.
"Oh ya sudah aku akan menunggu di bawah pohon itu." Kata dia sambil menunjukkan ke arah pohon besar yang tak jauh dari sumur tersebut.
"Huh leganya aku sudah membuang air kecil. Tapi ini seperti film yang pernah aku tonton pada zaman kerajaan Majapahit ya, atau ini hanya halusinasi yak!" Tutur Gisel sambil menghela nafas dengan kasar.
"Ayo melanjutkan ke rumah Sepuh," ujar Gisel dan lalu lelaki tersebut berdiri lalu melanjutkannya perjalanan.
"Aku tak mengerti dengan Dunia ini terlalu banyak teka-teki yang belum ku mengerti." Tiba-tiba Gisel berbicara seperti itu dan lelaki tersebut hanya tersenyum tipis.
"Aku juga tak mengerti. Tentang duniamu. Aku juga bingung dengan kehidupanmu yang belum pernah ku jejaki!" ucap dia sambil melihat ke arah Gisel.
"Sudah sampai di sini. Ini rumah Sepuh." Kata dia sambil memperlihatkan rumah dengna sederhana.
"Ini rumahnya Sepuh?" Tanya Gisel sambil melihat ada banyak sekali sayuran yang segar.
"Apakah ia memiliki anak?, Atau cucu?" tanya Gisel dengan lancangnya.
"Aku juga tidak tahu tetapi keturunan dia masih ada hingga sekarang." Ujar dia dan Gisel mengerutkan keningnya, "Apa yang kau bicarakan aku tak mengerti maksudmu itu!" Ujar Gisel dan dia tertawa terbahak-bahak.
"Suatu saat kau akan mengerti sebab takdir itu sudah membuntuti sedari engga belum lahir." Ujar dia sambil mempersilahkan masuk ke dalam rumah sang Sepuh di desa ini.
"Semua orang berbicara tentang takdir tapi aku tidak peduli dengan takdir itu. Sungguh lelucon macam apa itu." Gumam Gisel sambil mencabik-cabik mulut tanda sebal dengan kata takdir.
"Ya sudah jika percaya kau akan merasakan suatu saat ketika takdir itu menghampirimu." Lelaki tersebut dan masuk ke dalam rumah.
Ku perhatikan rumah ini yang nyaman, bahkan hanya ada tiga kursi dan isi nya ada tiga kamar. Nuasa rumah dengan tema kerajaan zaman dahulu banyak pernak-pernik yang menggantung di tembok dan ada pula berbagai macam keris. "Kau tunggu di sini jangan kemana-mana."
Aku terdiam dengan mata menatap sekelilingnya dengan kagum.
"Kau sudah datang di waktu yang tepat." Ucap kekek dengan berjalan menggunakan tongkat dan tak lupa di belakang ada lelaki tadi.
"Kau keluar dulu beri kami berdua untuk bicara tentang hal ini!" perintah kakek tua kepada lelaki tersebut dan menganggukkan kepalanya lalu melenggang pergi meninggalkan kami berdua.
"Sudah berapa ilmu yang kau pelajari?" tanya kakek kepada Gisel sedangkan yang di tanya menatap polos kakek.
"Ilmu banyak ku pelajari hanya saja cuman ada beberapa yang ku sukai seperti matematika!" ujar Gisel dengan polosnya dan kakek tersebut mengkerutkan dahi tanda tak mengerti, "Ilmu apa itu?" tanya kakek sambil mendudukkan bokong di kursi depan Gisel.
"Ilmu untuk menghitung sesuatu." To the point Gisel menjelaskan dan seketika kakek tersebut menatap Gisel dengan sebal. Hah bahkan dia masih sangat polos bagaimana ia bisa menjadi kunci kehidupan selanjutnya. Batin kakek sambil meringgis dan tersenyum