"Apakah segini kemampuan mu?" Tanya Dia dan di balas di dengan dengusan dari Gisel. "Cobalah kau memakai rok dengan panjang selutut, ini susah ya karena pakai rok!" ujar Gisel sambil meloncat dari pohon.
"Ckckckckck, kenapa engga dari tadi ngomong!" decak Monyet sambil mencabuti bulu nya lalu menyulap menjadi sebuah celana, "Ya sudah tunggu dulu. Setelah ini pakailah." kata monyet dan Gisel menganggukkan kepalanya.
Setengah jam sudah selesai dan menyodorkan sebuah celana di atas lutut dengan berbahan dasar bulu monyet. "Pakailah ini bisa di gunakan!" ujar Monyet dan Gisel berdiam diri melihat celana selutut nya.
"Apakah aman ketika di pakai saat memanjat atau sedang berlari?" tanya Gisel sambil menaikkan alisnya dan di balas dengan anggukan dari Monyet.
"Sudah sana cepat sebelum telat berlatih, ini aman jadi kau tenang saja!" ujar Monyet sambil membalikkan badannya dan secepat kilat Gisel mencari semak-semak untuk mengganti rok nya.
"Sudah selesai ayo bertanding di atas pohon dengan ku!" ucap Gisel dengan nada yang tak mau di bantah dan Monyet mendelik ke arah Gisel.
"Oh jadi kau sudah berani memerintahkan ya?" tanya Monyet dan di balas dengan anggukan mantap dari Gisel. "Ayo aku sudah berganti!" ajak Gisel sambil memanjat pohon dan sudah memasang kuda-kuda.
Pertarungan sengit pun terjadi di antara kedua belah pihak, Gisel dengan perasan menggebu-ngebu untuk melawan sang Monyet sedang Monyet santai melawan Gisel.
"Gisel jangan terburu-buru nanti tenaga kau cepat terkuras dengan habis jika melawan lebih dari satu musuh!" teriak Monyet dan seketika dia menjatuhkan badannya ke tanah dan belum sempat terjatuh Monyet tersebut berayun-ayun di dahan dan Gisel pun mengejar meski menahan beban badannya. Ya Gisel mengejar Monyet sama seperti monyet pada umumnya dengan cara bergelantungan di dahan pohon meskipun begitu ia lumayan kesusahan dalam menjaga keseimbangan tubuh di tambah memperhatikan dahan yang ia pegang supaya tidak terjatuh.
Berlatih pun usai, dengan keringat bercucuran, baju basah karena keringat, kaki serasa kebas dan rambut sudah seperti gembel dengan acak-acakan.
"Ya tuhan kenapa cape sekali dalam berlatih!" tanya Gisel sambil menengok ke arah Monyet yang sudah mengecil sama seperti normal.
"Tadi aja marah-marah sekarang makan Mulu tapi kenapa ya tadi bisa besar dan sekarang bisa mengecil?" tanya Gisel sambil memperhatikan Monyet yang sedang makan pisang.
"Ya sudah lebih baik aku pulang dulu ini sudah sore, belum mandi plus belum mencari aku bakar untuk nanti malam, Besok latihan lagi kan?" tanya Gisel sambil berpikir dan monyet bersuara yang arti nya iya. "Jumpa lagi besok sama seperti tadi waktu nya kan?" tanya Gisel dan menggumam kan saja.
"Hai anak muda kita bertemu kembali hari ini?, bagaimana latihanmu apakah kau bisa?" tanya Nenek lampir atau nenek tua sambil tersenyum miring seketika Gisel langsung mendengar suara melengking dan tak lupa sedang tersenyum miring ke arah nya.
"Oh hai nenek angkuh kita bertemu kembali," desis Gisel sambil bersedekap dada dan menatap tajam ke arah Nenek angkuh tersebut.
"Hei bocah entah kau dari kehidupan selanjutnya. Pergi dari gunung tersebut jika masih sayang nyawamu bocah!" teriak Nenek angkuh, "Oh jika aku tidak ingin kau mau apa Nenek Angkuh," jawab Gisel dan Nenek angkuh semakin murka kepada Gisel.
"Dasar bocah sialan, berani nya kau melawan orang tua hah?, rasakan ini hiyaaaa..., Krek..., Akeh." serang Nenek tua dan dengan gesit Gisel langsung menahan serangan tersebut.
"Nenek tua aku kasihan kepadamu bahwa tulangmu pasti akan rontok jika terus bertanding denganku, lebih baik kau simpan saja tenaga mu untuk masa tua nanti!" ujar Gisel dan memukul keras bahu nya dan langsung terjatuh ke tanah.
"Coba saja ...,ukhuk...,ukhuk. Akan ku balas kan dendam ku nanti dasar bocah sialan!" ujar dia dan seketika menghilang dari pandangan Gisel.
"Loh kemana dia?" gumam Gisel dengan memperhatikan sekitarnya, " Mungkin dia sudah pergi ya sudahlah lebih baik pulang lelah kaki di tambah barusan menyerang musuh. Huh jadi rindu ketika masa sebelum kenapa mendaki gunung." monolog Gisel sambil berjalan pelan dan tanpa di ketahui Nenek angkuh tersebut tersenyum dengan jengkel melihat Gisel. "Kenapa kekuatan untuk memanipulasi tidak berguna. Dasar tongkat sialan tung." ujar Nenek tua dan dengan melempar tongkatnya dan pergi menghilang di balik pohon yang rindang yang tak lain rumah untuk perkumpulan roh-roh jahat yang menjadi tempat tinggal bagi mereka.
"Mengapa kau bersedih?" tanya Seseorang ketika Gisel sedang berpikir bagaimana ia bisa pulang dan berkumpul dengan teman-teman nya.
"Entahlah terlalu banyak saya fikirkan ke depan nya!" ujar Gisel sambil menghela nafas panjang dan di balas dengan kekehan dari Seseorang tersebut.
"Kamu percaya takdir bukan?" tanya Seseorang yang hingga detik ini Gisel tak menyadarinya, "Setiap orang mempunyai takdir masing-masing, tugas kita hanya menjalankan apa yang kita anggap benar!" ujar Gisel sambil tersenyum kecut.
"Jika takdir menghampiri kita lantas kita akan menghindarinya?" tanya Seseorang tersebut.
"Percuma menghindari pada kenyataannya takdir tidak akan bisa kit elak meskipun kita di ujung dunia pun bahkan ketika bersembunyi di lubang semut pun." ujar Gisel dan tak lama ia baru sadar jika ia sedang berbicara lantas menengok ke sampingnya dan tak ada seorangpun di sampingnya dan ia sempat tertegun apakah ia sedang berhalusinasi atau sedang mimpi. Di cubit pelan lengan nya dan ia bukan mimpi di tampar juga ia sadar lantas ia barusan berbicara dengan siapa?. Batin Gisel bergedik ngeri dan tak lama ia masuk ke dalam rumah untuk tidur karena ia sekarang lebih teratur untuk tidur daripada sewaktu ia masih di dunia yang nyata.
Sudah satu minggu Gisel sendirian di gubuk tua ini meskipun dari pagi hingga sore hari ia berlatih nyatanya ia kesepian di tengah hutan belantara. Aku saja yang tinggal sendirian di sini merasa kesepian terus bagaimana dengan Paman yang tinggal di sini bertahun-tahun lamanya. Batin Gisel berucap.
"Pergilah apa yang kau harus lakukan." monyet dengan duduk bersandar seketika aku melonjak kaget mendengar suara yang tiba-tiba datang.
"Eh kenapa bukan kemarin sudah terakhir ya?" tanya Gisel sambil melirik ke arah Monyet sedangkan Monyet memutar bola mata dengan malas.
"Bukan kah jika seminggu tidak pulang kau akan pergi ke suatu tempat?" tanpa menghiraukan pertanyaan Gisel, Monyet tersebut malah bertanya balik.
"Tapi kalau aku sendirian pergi ke sana takut. Jarak nya dekat dengan rumah engga?" tanya Gisel dan tersenyum miring. "Bukankah kau setiap pulang selalu bertanding dengan nenek lampir?" tanya Monyet dan seketika aku menatap sebal ke arahnya.