"Kalian menungguku?" tanya Aldy, terkekeh.
"Bukan menunggu lagi. Kamu juga sudah membuatku kelaparan, Al," gerutu Ferdinan. "Sudah cepat, kamu ingin makan apa. Aku yang akan pesankan."
"Hmmm … tapi … hmmm gimana, ya? A—aku tidak ikut gabung dengan kalian siang ini. A—aku akan makan bersama Soraya. Kalian tidak masalah, 'kan? Maaf aku tidak mengabari sebelumnya," tutur Aldy.
"Ah! Karena perempuan. Soraya ini, siapa kamu?" tanya Ferdinan, sebenarnya kesal dengan Aldy.
"Ouh … kenalkan, ini Soraya … gebetan-ku …."
Deg!
Rea diam.
Ia menelan salivanya, berusaha memalingkan pandangannya.
"Wah … calon-calon … akan ada makan-makan, nih," cicit Ferdinan menggoda.
"Fer, cepat pesan makan untuk kita. Aku sudah lapar," timpal Rea, mengalihkan pembicaraan.
"Tadi maunya nunggu Al, sekarang maksa buru-buru. Akibat jomlo, jadi naik darah," gerutu Ferdinan, kemudian berlalu, memesankan makan siang untuk Rea.
Baru beberapa langkah, Ferdinan berbalik badan dan kembali menghampiri Rea.
"Kamu ingin aku pesankan apa?" tanya Ferdinan.
"Apapun!" jawab Rea membentak.
Rea memalingkan pandangannya, tidak peduli.
Ferdinan hanya menggelengkan kepalanya dan kembali berlalu. Disusul oleh Aldy dan Soraya yang juga pergi meninggalkan Rea, seorang diri.
Terasa sesak didada Rea ketika melihat Aldy bersama perempuan lain. Bukan cemburu, hanya sedikit kesal, itu menurut Rea. Namun kekecewaannya menunjukkan jelas kalau dirinya cemburu dengan Soraya yang menjadi pendamping Aldy saat ini.
Rea diam, memainkan ponselnya dengan mengutak-atik media sosial miliknya. Ia telat, ternyata Aldy sudah lebih dulu mempublikasikan kebersamaannya dengan Soraya melalui media sosial.
'Sial!' umpatnya dalam hati.
Rea berdiri dan mengambil tas miliknya. Ia beranjak pergi, meninggalkan kantin dan juga tanpa memberitahu pada Ferdinan yang kini sedang memesankan makan siang untuknya.
Rea melangkahkan kakinya keluar dari area kantin kampus, menyusuri koridor panjang dan segera menuju ke gedung jurusannya.
"Rea!"
Terdengar suara seseorang memanggilnya.
Rea menghentikan langkah dan menarik napas panjang, untuk menenangkan dirinya dari emosinya saat ini.
Rea berbalik badan dan melontarkan senyum kepada Rega, yang memanggilnya.
"Iya, Rega?" balas Rea menyapa Rega.
"Kamu mau pergi kemana? Sudah makan siang?" tanya Rega, berbasa-basi.
"Aku sedang tidak ingin makan siang," jawabnya dengan mulut yang ia kerucutkan.
"Ouh … lalu sekarang mau kemana?"
"Ke gedung jurusanku. Menunggu dosen di depan kelas."
"Aku temani, boleh?"
Rea menarik bibirnya tipis, ia tersenyum.
"Boleh!" jawabnya sumringah.
Rea tidak ingin membuat Rega berpikiran yang tidak-tidak karena mood nya yang sedang tidak baik. Ia berusaha untuk tetap ceria dan terlihat baik-baik saja. Apalagi Rega selalu berbuat baik pada Rea.
Sementara itu, di kantin Ferdinan terdiam, di depan sebuah meja yang terlihat ada tas miliknya di sana.
"Benar, 'kan? Tadi aku duduk di sini bersama Rea dan juga … ini ada tas milikku," gumamnya bingung dengan kedua tangan yang dipenuhi dengan piring makan yang baru saja ia beli untuk makan siangnya dan juga makan siang Rea.
"Sayang!"
"Woy!" seru Ferdinan terkejut dengan suara tersebut.
Ia memasang raut kesal, melihat sang kekasih yang datang dan membuatnya kaget.
"Maaf …," lirih Grey, bersikap manja.
"Sudah makan?"
Grey menjawab dengan gelengan kepalanya.
"Ayo makan bersama. Aku sudah belikan untukmu," ajal Ferdinan, memberikan piring yang berisi nasi goreng kepada Grey.
Grey menerimanya dan ikut duduk bersama Ferdinan. Ia menurut saja, meski sebenarnya ia ingin tahu, dengan siapa Ferdinan makan siang. Karena mustahil jika Ferdinan memesankan makanan untuk Grey, tanpa mengajaknya makan bersama sebelumnya.
"Rea mana? Aku tidak melihat dia bersamamu hari ini," tanya Grey.
"Sepertinya dia sedang kesal. Nasi goreng ini milik Rea. Tapi karena dia menghilang begitu saja, lebih baik kamu saja yang memakannya. Aku tidak tahu dia kenapa dan kemana. Kapan, ya … mood perempuan itu bisa baik dan stabil?"
Pltak!
Grey menjitak kening Ferdinan dengan sendok yang dipegangnya.
"Mungkin hatinya sedang tidak enak, makanya dia memilih untuk pergi. Kamu tidak paham perasaan perempuan, jadi …. lebih baik diam saja dan jangan banyak komentar," tutur Grey, sama sekali tidak membela kekasihnya.
***
Srek!
Rega membuka bungkus camilan miliknya dan ia berikan pada Rea yang sejak tadi hanya diam saja. Rea menggelengkan kepalanya, menolak camilan tersebut. Ia masih tidak ingin memasukkan makanan apapun ke dalam mulutnya.
Rea menyandarkan kepalanya dibahu Rega, berharap dengan cara itu, perasaannya bisa lebih baik. Baginya, bersama Rega saja sudah bisa membuat hatinya lebih tenang. Hanya saja, Rea masih saja terluka jika mengingat kalau Hans ingin menjodohkan Rega kepadanya. Rega adalah sahabat Hans dan ia tidak ingin memiliki hubungan dengan sahabat dari mantan kekasihnya.
Terdengar gemuruh langkah kaki dan suara orang yang sedang berbicara, bahkan tertawa. Itu pasti segerombol mahasiswa yang sedang menuju ke depan kelas, untuk menunggu dosen, sama seperti yang dilakukan oleh Rea.
"Kalau kamu tidak makan, nanti kamu sakit, Rea …."
Itu yang keluar dari mulut Rega.
Namun sayang, yang terdengar sangat jelas bukanlah suara Rega, tetapi ….
"Nanti aku jemput lagi, ya …."
Aldy datang bersama Soraya. Meski hanya sekedar 'numpang lewat', tetapi itu sudah membuat Rea semakin pupus.
"Rea?" sapa Aldy, ketika melihat Rea yang sedang duduk dan bersandar dibahu Rega.
"Suapi aku, Rega …," rengekanya bersikap manis dan manja.
Rea hanya ingin menunjukkan kepada Aldy kalau ia juga bisa memiliki pasangan, yang bahkan levelnya lebih baik dari Aldy.
"Ih … lagi pendekatan, ya … sekarang diam-diam, yaaa … padahal aku menungu ceritanya," ejek Aldy, mengacak-acak rambut Rea, gemas.
Rea hanya mengerucutkan bibirnya, menunjukkan ia tidak senang dengan sikap Aldy kepadanya.
"Ayo, Al …," rengek Soraya, meminta Aldy untuk bergerak cepat.
"Rea, Rega … aku duluan, ya …."
"Iya …," sahut Rega memberikan lambaian pada Aldy dan Soraya.
Rega dan Rea diam sejenak, memandang punggung Aldy dan Soraya yang melangkah kian jauh.
"Mereka sedang dekat?" tanya Rega berbisik.
Rea mengangguk dan menerima suapan dari Rega.
"Terima kasih, Rega …."
"Untuk?"
"Menemaniku. Aku merasa lebih baik sekarang."
"Ada yang sedang mengganggu pikiranmu?"
Rea mengangguk.
"Tapi sekarang sudah baikan. Terima kasih …."
"Hmmm, Rea … mungkin kamu sudah paham mengapa aku akhir-akhir ini mendekatimu dan menaruh perhatian lebih kepadamu. Tapi aku tidak ingin terburu-buru … namun juga aku tidak ingin mengulur waktu terlalu lama untuk mengatakannya," tutur Rega dan membuat Rea bangun dari sandarannya.
Rea merubah posisi duduknya sehinga berhadapan dengan Rega. Ia juga terlihat tidak sabar ingin mendengar penuturan Rega selanjutnya.
"Rea … You will—"
"Yes, I will …."