Chereads / Fake Friends for Future / Chapter 10 - Bantu Melupakan

Chapter 10 - Bantu Melupakan

"Kamu tidak ingin tahu, mengapa kamu bisa pergi bersama Rea, hingga terjadi kecelakaan itu?" tanya Rega dengan kepalan tangan, kesal.

"Tidak dan sepertinya aku tidak perlu tahu," jawab Hans.

"Kalau kamu tidak perlu tahu … berarti aku bisa dengan bebas mendekati Rea, tanpa perlu merasa tidak enak padamu," ujar Rega.

"Dekati saja. Aku sama sekali tidak peduli," balas Rega.

"Rea wanita baik. Dan banyak yang menginginkannya. Aku harap kamu tidak menyesal nantinya, saat ia sudah bersanding denganku."

***

Air mata Rea kembali menetes untuk hal bodoh itu lagi. Menangisi pria yang sama sekali tidak mempedulikannya. Rea merebahkan tubuhnya dengan telungkup. Ia menyembunyikan wajahnya pada bantal dan memeluk guling dengan sangat erat. Ia mengerang, ingin menjerit karena rasa sakit di hatinya yang lagi-lagi datang karena foto yang dikirimkan oleh Aldy. Foto Hans yang sedang bersama dengan Ilona.

Ponsel Rea bergetar, ia tidak ingin tahu dan sama sekali tidak tertarik untuk melihat, panggilan dari siapa yang masuk ke ponselnya.

Rea benar-benar masih sangat kecewa dengan perlakuan Hans dan kini ditambah lagi dengan luka baru, masih sama … sama-sama ulah seorang Hans.

Ting!

Ponsel Rea kembali berdering, tanda sebuah pesan masuk.

Rea penasaran, menyerah dan akhirnya meraih ponselnya, untuk melihat siapa yang mengirimkan pesan untuknya.

Rega : Rea, kamu tidak kuliah?

Rea : Iya

Rea menjawabnya dengan singkat.

Rega : Lekas sembuh. Besok aku akan menjenguk kamu.

Rea : Tidak perlu. Aku akan kembali kuliah, besok.

Rea kembali mengaktifkan mode pesawatnya dan menyimpan kembali ponselnya di atas meja.

Saat ini, mood-nya sedang tidak baik. Sudah jelas, itu pasti karena foto Hans bersama Ilona, yang dikirim oleh Aldy.

***

"Bahagia sekali, ya … tidak kuliah satu hari dan maraton nonton serial drama seharian," tutur Ferdinan, sebenarnya mengumpat.

"Iya … kamu tahu saja," balas Rea mencubit pipit Ferdinan.

"Jadi kemarin seharian kamu benar-benar di rumah, hanya menonton saja?" tanya Aldy menyahutinya.

"Iya. Ya gimana, ya … awan mendung tapi tidak jelas, entah hujan entah tidak. Jadi aku memilih untuk tidak kuliah dan menonton serial drama kesukaanku. Dan ternyata, hujan turun begitu lebat. Memang keputusan yang sangat tepat untuk aku tidak masuk kuliah," paparnya.

Ferdinan mencubit hidung Rea dan menariknya. Kesal dengan sahabatnya yang sangat pemalas itu.

"Kamu baik-baik saja?" tanya Ferdinan.

"Baik-baik bagaimana?" Rea bingung, balik bertanya.

"Aldy mengirimkan foto Hans."

"Oh, itu … biarkan saja. Aku tidak peduli."

"Sudah, jangan sedih. Akan aku traktir makan sate kambing, malam ini," tutur Ferdinan, memberikan tepukan di bahu Rea.

"Eh? Kamu sudah jadi dengan yang itu?" tanya Rea memberikan kode, kalau Ferdinan sudah memiliki kekasih.

"Sesuai janjiku, bukan?"

Rea membesarkan matanya dan mengguncangkan tubuh Ferdinan, merasa senang.

"Selamaat …!!! Aku turut bahagia," seru Rea yang sangat senang saat tahu kalau Ferdinan telah resmi berpacaran dengan Grey.

Sesuai dengan janji yang pernah Ferdinan iming-imingkan beberapa waktu lalu. Ia akan mentraktir Rea dan Aldy makan sate kambing, sepulang kuliah.

Seperti biasa, Ferdinan dan Aldy harus menunggu Rea yang selalu lama keluar kelas. Seperti seorang ajudan, Ferdinan dan Aldy menunggu Rea di depan kelasnya.

"Terima kasih, sudah menunggu," ujar Rea dengan memperlihatkan sikap bak tuan putri.

"Najis!" umpat Ferdinan. "Ayolah, cepat! Aldy sampai kelaparan menunggumu."

"Kamu … selalu saja menyalahkan orang lain," gerutu Aldy, tidak terima karena dijadikan korban.

Rea, Ferdinan dan Aldy menuju ke area parkir motor, dimana Rea sudah pasti akan menumpang pada boncengan Ferdinan ataupun Aldy.

Kali ini pilihannya adalah Aldy.

"Pegangan," pinta Aldy, sebelum tancap gas dan berlalu dari area kampus.

Rea segera mendekap Aldy dari belakang. Dengan kejahilannya yang sesekali menggelitik pinggang Aldy.

"Rea!" seru Aldy merasa geli dengan gelitikkan Rea.

"Kalau Ferdinan aku gelitik seperti ini, pasti dia langsung memintaku untuk segera turun, hahaha …."

"Rea, maaf ya … kemarin aku mengirimkan foto Hans bersama wanita itu," tutur Aldy, tiba-tiba mengalihkan pembicaraan.

"Hmmm … tidak masalah. Mungkin Hans memang masih menyukai Ilona," balas Rea, semakin erat mendekap Aldy.

'Pasti ia tidak baik-baik saja,' batin Aldy merasa bersalah.

"Al?" panggil Rea.

"Iya, Re?"

"Bantu aku."

"Bantu untuk apa?"

"Bantu aku melupakan … melupakan Hans dan membuatku berhenti untuk mencintainya," tutur Rea.

"…."

Aldy tidak menjawabnya. Ia hanya diam.

"Al?"

"Iya … aku pasti akan membantumu untuk melupakannya," balas Aldy, bersedia membantu Rea.

***

Sejak janji itu, hari-hari Rea dilalui masih seperti biasa. Hanya saja, tiada hari tanpa pesan dari Aldy.

Hampir setiap saat Aldy mengirimkan pesan pada Rea, meski itu hanya sekedar menanyakan …,

'Sedang apa?'

'Posisi dimana?'

'Ada kelas?'

'Sedang banyak tugas?'

'Ingin bermain musik?'

'Hati masih aman, bukan?'

Namun itu mampu membuat Rea tersenyum dan sesaat dapat berhenti untuk mengingat dan memikirkan Hans.

"Lagi dekat dengan seseorang?" tanya Ferdinan.

"Kenapa memangnya?"

"Asyik main handphone. Sedang dekat dengan siapa?"

"Tidak ada Fer … ini Aldy," jawab Rea menunjukkan ponselnya pada Ferdinan.

"Ouh … aku pikir Rega."

"Hm? Rega? Mengapa kamu berpikir demikian?"

"Hans bilang, kalau Rega sedang berusaha untuk bisa dekat denganmu. Dan Hans juga bilang, kalau dia bersedia membantu. Hans benar-benar amnesia teruntuk kamu, Rea," papar Ferdinan.

Rea diam, sejujurnya ia kesal. Orang yang begitu dicintainya, justru ingin membantunya agar dekat dengan pria lain.

"Katakan pada Hans. Tidak perlu membantu, aku akan merespon Rega dan belajar untuk berhenti mencintainya," ujar Rea.

Fedinan memberikan tepuk tangan untuk Rea, yang dengan lugas mengatakan kalau ia akan belajar untuk berhenti mencintai Hans, pria yang begitu dicintai, namun juga begitu membuatnya terluka.

***

Rea berdiri dengan menyandarkan tubuhnya pada dinding, di depan sebuah kelas. Tepat jam empat sore, pintu kelas itu terbuka dan banyak mahasiswa yang berhamburan dari sana.

Rea melipat kedua tangannya di atas perut, sembari melihat-lihat ramai orang yang keluar dari kelas itu.

"Rea!"

terdengar seruan seseorang memanggilnya.

Rea menaikkan sebelah alisnya dan menurunkan kedua tangannya.

"Rea?"

Seorang terlihat baru saja keluar.

"Ah, kamu … ada Rea langsung semangat. Seharian di kelas, lesu," gerutu Ferdinan mengejek Rega.

"Penyemangatnya baru terlihat sekarang, jadi semangatnya ya … baru sekarang juga," balas Rega terkekeh. "Kamu mau pulang dengan Ferdinan?" tanya Rega.

"Mama dan Papaku sedang pergi dan aku akan sendiri malam ini. Apa kalian bisa menemaniku makan malam? Cari yang dekat-dekat kampus saja," jawab Rea.

"Hmmm, bisa sekali dan sangat," jawab Ferdinan sumringah. "Eh, tapi … Aldy ma—"

"Halo … Aldy, kamu dimana? Aku sudah keluar kelas. Aku akan pergi ke studio sepuluh menit lagi, ya!"