Chapter 83 - Mendiamkan Kekasih

Hubungan Arya dan Emily tidak lagi manis seperti sebelum malam itu. Emily terlihat dingin dan tidak lagi ceria seperti sebelumnya. Setelah ia pulang kembali di malam yang sama, Emily langsung masuk ke kamar dan tidur sendirian karena Arya memilih menginap di Penthouse Bryan.

Keesokan harinya, Arya pulang dan menemukan Emily masih mendiamkannya. Arya sudah mencoba berbicara dan merayu Emily tapi ia tidak bergeming. Kadang ia malah bersikap acuh pada Arya. Ada yang ingin didengar Emily tapi Arya tidak kunjung mengatakannya. Bagi Emily ia butuh kepastian akan hubungannya dengan Arya. Ia tidak ingin larut dalam hubungan yang cuma akan buang-buang waktu. Apa lagi ia tidak sedang berada di negara nya. Ia merasa kesulitan berkomunikasi dengan banyak orang selain Arya dan orang orang sekitar penthouse, sehingga ia lebih sering terlihat sendiri daripada memiliki teman.

Hari berlalu begitu saja begitu cepat. Tiga hari lagi Bryan akan menikah. Arya sudah mengepas tuxedo-nya yang dipesan Bryan untuk menjadi pendampingnya. Emily pun sudah melakukan pengepasan gaun yang dipesan dari salah satu designer di New York. Arya memesan langsung gaun untuk kekasihnya. Setidaknya itulah panggilan yang ia berikan untuk Emily. Meski mereka tidak lagi banyak bicara namun Arya masih bersikap manis pada Emily.

"Apa kamu suka gaunnya?" tanya Arya di ruang walk in closet setelah Emily mengepas bajunya. Emily mengangguk sambil tersenyum tipis. ia berdiri masih menghadap kaca dan Arya berada di belakangnya.

"Bolehkah aku melihatnya?" tanya Arya ikut tersenyum.

"Tidak, itu akan jadi kejutan nanti," jawab Emily masih tersenyum. Arya pun tak melepaskan senyumannya. Ia kemudian melepaskan jas tuxedonya dan membuka dasi kupu-kupu yang juga tengah dicoba. Tapi Arya belum membuka kemeja putihnya sama sekali. Ia berbalik kembali menatap Emily yang masih berada di posisi yang sama, di depan cermin.

Arya kemudian memeluk lembut Emily dari belakang dan mencium sisi keningnya lalu mulai turun ke lehernya. Ia menghirup wangi tubuh Emily yang sangat ia rindukan. Rasanya sudah lama sekali mereka tak dekat. Beberapa hari jauh dari Emily yang dingin membuat Arya sangat merindukannya. Emily membiarkan saja Arya memeluknya.

"Aku sangat merindukanmu, Kitten," bisik Arya masih terus memeluk Emily. Emily tidak menjawab ia hanya memandang Arya dari cermin yang berada di depannya.

"Apa kamu masih marah padaku?" tanya Arya lagi masih berbisik. Wajahnya kemudian ikut menatap Emily dari cermin di depan mereka. Emily menggeleng dan tersenyum pelan. Lalu ia berbalik dan merangkul Arya di lengannya. Sebenarnya banyak yang ingin dikatakan Emily namun ia merasa takut untuk mendengar tanggapan Arya nantinya. Emily akhirnya memilih untuk mencium Arya di pipinya. Tapi Arya yang sebentar terdiam lalu meraih wajah Emily dengan kedua tangannya dan malah mencium bibirnya dengan agresif.

Napas menderu Arya membuatnya sedikit menggeraskan pegangannya pada rahang gadis itu dan mengulum bibirnya. Ia mulai mengeluarkan lidah menjelajahi bibir dan lidah Emily yang hangat.

Arya sangat menyukai Emily karena gadis itu tak pernah berusaha menguasainya. Emily terlihat seolah sedikit tomboy karena profesinya sebagai dokter hewan tapi sesungguhnya ia gadis yang amat lembut. Dan rasa sayang itu memang sedang tumbuh bersemi di hati Arya. Ia selalu merasakan hangat yang berbeda di hatinya bersama Emily. Hanya saja, Emily perlu lebih dari sekedar tebak menebak perasaan. Ia takkan tau sampai Arya mengatakannya.

Ciuman manis itu terus berlangsung dan makin panas. Arya sempat melepaskan sejenak ciumannya tapi kemudian ia terus mencium dan melumat bibir Emily tanpa jeda. Emily tidak menolaknya sama sekali tapi ia tidak membalas dengan agresifitas yang sama. Arya kemudian mendorong Emily sampai menempel ke dinding dan terus mencium.

Arya yang sudah tak tahan kemudian membuka tali pinggang dan kancing celananya sebelum mendorong Emily lagi. Ia menurunkan pakaian dalam Emily dengan cepat dan mudah karena ia hanya memakai rok. Arya mendorong dirinya sambil mengangkat Emily ke atas tubuhnya. Tak lama mereka malah bercinta di dalam ruang walk in closet itu. Baik Emily maupun Arya tidak bicara selama mereka bercinta seolah tidak perlu kata-kata untuk mengungkapkan perasaan yang di pendam dalam hati.

Desahan itu terus terjadi cukup lama. Emily terus berpegangan pada pundak Arya dan meremas kemejanya. Sedangkan Arya yang merasa ia memang sedang jatuh cinta terus mendorong cukup lembut untuk membuat bidadarinya melayang. Cinta Arya begitu jelas tapi bibirnya tak bisa bicara, seolah masih ada yang mengganjal lidahnya.

Di tempat lain, cuaca dingin juga melanda hubungan Nisa dan Bryan. Pasca kejadian tanda tangan paksa perjanjian pranikah yang diberikan Nisa pada Bryan, mereka tak lagi bicara. Keesokan harinya, Bryan memang masuk kerja seperti biasa dan layaknya sebelumnya Nisa membacakan jadwal Bryan seperti biasa. Tapi Bryan tak mau memandang Nisa sama sekali. Ia pun jadi irit bicara dan itu terus terjadi bahkan menjelang beberapa hari pernikahan mereka.

Sementara itu Nisa juga masih terus masuk kantor tiga hari menjelang pernikahan dengan bosnya, Bryan Alexander. Ia tidak mau libur sama sekali. Bryan yang bersikap lebih dingin dari biasanya bahkan melewati Nisa begitu saja ketika berpapasan. Tak ada lagi pegangan tangan yang hangat ketika mereka berdua di ruangan Bryan atau di dalam lift.

Sebenarnya Nisa tidak ingin berbuat sejauh itu. Dalam hati kecilnya ia merasa ia telah menyakiti Bryan. Tapi ia tidak ingin mengambil resiko terpuruk, patah hati dan sakit seperti yang ia alami selama 12 tahun. Hubungan yang 'dipaksa' ini tidak akan berakhir baik. Maka Nisa tidak ingin memperpanjang siksaan setelahnya.

Bryan jadi lebih banyak diam dan Nisa pernah mencuri-curi pandang saat ia harus duduk di samping Bryan yang tengah memimpin rapat. Calon suaminya itu bahkan tak meliriknya sama sekali. Notifikasi dari Alisha kemudian masuk ke ponsel Nisa yang mengirimkan rancangan pakaian pengantin yang akan ia gunakan. Nisa sempat membukanya dan tersenyum tipis.

Nisa sama seperti gadis lain. Ia memiliki pernikahan impiannya sendiri dengan gaun putih seperti layaknya seorang putri kerajaan yang cantik. Alisha mewujudkan pesta pernikahan impian Nisa dengan rancangan gaun yang benar-benar cantik.

Dari ponselnya, Nisa menoleh sekali lagi pada Bryan dan melihatnya dengan wajah penuh konsentrasi sambil memegang dagu dan sesekali mencatat. Tak lama rapat pun selesai dan Bryan bangun meninggalkan Nisa begitu saja tanpa mengajaknya ikut keluar. Mata Nisa terus menatap Bryan yang keluar dari ruangan disusul oleh seluruh manajer yang ikut. Sedangkan Nisa memilih tetap berada di ruangan itu untuk beberapa saat.

Nisa membuka kembali foto yang dikirimkan oleh Alisha pada finalisasi baju pengantinnya.

"Akan lebih baik jika dia aja yang ngebatalin pernikahan ini sekarang. Kenapa harus menunggu hari? Gaun yang cantik... pantaskah jika aku memakaimu?" gumam Nisa dengan ujung jarinya menyentuh layar ponsel yang menampilkan gaun pengantinnya. Nisa sedikit tersenyum dan memejamkan matanya.

Dari balik pintu, Bryan berdiri dan mengintip Nisa dari sela pintu ruang meeting. Ia melihat Nisa menutup wajahnya lalu menyandarkan kepala pada lipatan tangan di meja. Perasaan Bryan campur aduk saat ini. Dia yakin pada pernikahannya tapi tak yakin dirinya bisa membuat Nisa bahagia.

"Apa yang harus gue buktiin lagi? Ah, Snowflakes... Kakak kangen banget sama kamu dan berjauhan dari kamu seperti ini membuat Kakak gila!" gumam Bryan sambil bersandar dibalik pintu ruang meeting yang sudah ia tutup kembali. Bryan lalu menegakkan tubuhnya dan berjalan kembali ke ruangannya

Sepanjang hari itu Bryan tak lagi memanggilnya ke kantor. Jika ada pekerjaan yang harus dikerjakan Nisa, Bryan memberi perintah dari chatroom. Nisa mulai merasa terisolasi sendiri, tak ada lagi canda tawa yang diberikan Bryan pada Nisa seperti hari-hari sebelumnya.

Sampai Bryan pulang lebih awal pun, Nisa tidak tau. Nisa baru tau jika Bryan sudah pulang saat ia masuk ke ruangan Bryan hendak menanyakan jika ia ingin lembur atau tidak. Tapi salah satu pengawal Bryan yang tinggal mengatakan jika Bryan sudah pulang satu jam yang lalu. Nisa akhirnya hanya menanggapi dengan senyuman tipis dan keluar dari ruangan kerja Bryan.

Muncul rasa bersalah di dalam hati Nisa. Setelah kejadian Bryan melempar beberapa barang di kantornya karena surat perjanjian itu, mereka berdua tidak lagi saling bicara sama sekali. Anehnya, persiapan pernikahan terus berlangsung seolah tidak ada masalah yang terjadi.