Selama dua hari setelah makan malam itu, sikap Nisa agak berubah pada Bryan. Ia jadi lebih pendiam dan hanya menjawab jika ditanya. Bryan merasa Nisa berusaha menjauhinya. Ia ingin sekali bertanya tentang masalah apa tengah dihadapi Nisa namun takut Nisa malah akan terus menjauh. Sore itu Nisa bahkan tidak datang ke ruangannya untuk pamit pulang seperti biasa. Ia hanya menitip pesan pada kolom chat pribadi tempat biasa Bryan mengirimkan file.
Nisa meninggalkan Bryan dalam keadaan bingung. Seharian ia tidak bisa berkonsentrasi pada pekerjaannya. Bryan terus berpikir dimana ia telah berbuat kesalahan yang tak bisa dimaafkan Nisa. Rasanya masalah di Gili kemarin sudah selesai, Bryan sudah menjelaskan semuanya. Apa lagi yang tertinggal? Ia hanya bisa memegang kepala dan menyisir rambutnya terus menerus dengan jemarinya. Dalam kegelisahan hatinya, Bryan kemudian mengambil ponsel dan menelpon seseorang.
"Dev, panaskan mesinmu, kita pulang!" ujar Bryan memberi perintah dari ponselnya.
"Kapan, Pak?"
"Malam ini, apa kamu bisa?"
"Baik, Pak."
"Sampai jumpa di bandara!" ujar Bryan menutup sambungan ponselnya. Tak lama, ia lalu menghubungi Juan.
"Juan, siapkan dokumen untuk Nisa. Kita ketemu di bandara malam ini!"
"Kita mau kemana, Pak?"
"Pulang ke rumah!" jawab singkat menutup sambungan telepon. Bryan lalu bangun dari kursi untuk mengancing jas sebelum keluar dari ruangannya. Setelah pintu ruangannya dibuka tiga orang pengawalnya mengikuti sampai ia masuk mobil. Bryan meminta agar mobilnya diarahkan ke rumah Nisa. Dalam perjalanan, ia menghubungi Arya.
"Arya, gue mungkin gak ke kantor beberapa hari. Tolong gantiin semuanya, bisa?"
"Lo mau kemana Bry?"
"Pulang, gue pengen ketemu Mama."
"Sure Brother. Telepon gue begitu lo nyampe."
"Okay, sampe ketemu beberapa hari lagi, Arya." Bryan mematikan sambungan ddan memasukkan ponsel dalam saku di balik jas. Setengah jam kemudian, Bryan tiba di rumah Nisa. Bryan langsung keluar dan naik ke teras sebelum menekan bel. Setelah dua kali bel berbunyi barulah pintu terbuka. Lampu di atas pintu menyala sebelumnya. Nisa kaget melihat Bryan berada di depan pintunya. Wajah Bryan terlihat sedih namun ia kemudian tetap berusaha tersenyum.
"Ada apa Kak?" tanya Nisa. Nisa terlihat memakai baju blouse lengan panjang putih dengan short warna senada. Rambutnya dibuat messy bun, dia terlihat sangat polos dan cantik tanpa make up.
"Ikut Kakak," ujar Bryan setelah berapa lama menahan keinginan untuk memeluk Nisa.
"Kemana?" tanya Nisa dengan suara lembut.
"Ke rumah, Kakak ingin kamu bertemu seseorang. Orang yang paling penting dalam hidup Kakak." Nisa mengernyitkan kening dan terpaku menatap Bryan. Ia ingin menolak tapi entah mengapa tidak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya. Nisa tidak sadar mengigit bibir bawahnya sambil berpikir. Hal itu malah membuat Bryan tidak sabar, menarik napas dan kemudian menarik lengan Nisa.
"Tunggu... kalau gitu Nisa ganti baju dulu." Nisa hendak masuk tapi tangannya tidak dilepas Bryan.
"Gak usah." Bryan hendak menarik Nisa lagi.
"Tapi... Nisa gak mungkin keluar ketemu orang pakai baju seperti ini."
"Snowflakes, gak papa beneran. Kamu pakai sepatu yang nyaman aja." Nisa memandang Bryan ragu dan terdiam lagi. Bryan tidak mau menghabiskan banyak waktu menjelaskan pada Nisa.
"Mana sepatunya biar Kakak pakaikan."
"Jangan, sebentar Nisa pakai sepatu ini aja yang gampang." Nisa akhirnya mengalah dan mengikuti Bryan. Ia melepaskan genggaman Bryan lalu masuk ke sebentar untuk memakai sepatu converse krim dan kaus kaki. Setelah selesai baru ia keluar dan mengunci pintu. Bryan menggenggam tangan Nisa dan menuntunnya masuk ke mobil. Di dalam mobil Bryan tidak melepaskan genggamannya pada Nisa. Namun, ia tidak bicara apa-apa sepanjang perjalanan. Betapa terkejutnya Nisa ketika ia turun, ia malah berada di parkiran pesawat di bandara.
"Kenapa kita disini? Bukannya tadi Kakak bilang mau ke rumah?" tanya Nisa sambil memegang lengan Bryan. Bryan hanya memandang Nisa dan tidak menjawab. Ia malah menoleh ke arah kanan melihat Juan yang datang membawa sejumlah dokumen.
"Apa semua beres?" tanya Bryan pada Juan yang baru berdiri di depannya.
"Sesuai perintahmu, Pak!" jawab Juan yang kemudian mendapat anggukan Bryan. Kemudian Juan terlihat berjalan melewati Bryan dan Bryan mengikutinya dengan menarik tangan Nisa. Nisa sempat menolak.
"Kita mau kemana Kak?"
"Pulang Sayang." Nisa benar-benar kebingungan. Ia dibawa masuk ke sebuah pesawat pribadi milik Bryan. Sementara Nisa tak tau Bryan akan membawanya kemana. Nisa kemudian masuk dan duduk di sebuah kursi. Tak lama Juan dan beberapa pengawal ikut masuk dan duduk di bagian depan. Sementara Bryan dan Nisa duduk di barisan belakang.
Di belakang Bryan terlihat sebuah ruangan kecil dengan ranjang. Nisa mulai pucat dan berpikiran aneh. Ia memandang dirinya sendiri yang terlihat berpenampilan aneh. Seorang pramugari datang dan memberi salam. Bryan duduk berhadapan dengan Nisa dan hanya memandangnya tanpa ekspresi.
Nisa mulai gugup. Ada banyak alasan, pertama ia tidak pernah naik pesawat pribadi. Kedua sesungguhnya ia benci terbang karena rasa gugup yang selalu datang saat pesawat take off. Ketiga karena ia tidak tau akan dibawa kemana dengan pakaian seadanya seperti ini. Nisa mulai bernapas tidak teratur, wajah pucat dan menutup mata seraya menggenggam kuat pegangan kursi. Bryan yang melihat mengerutkan kening, ia takut Nisa malah pingsan. Ia pun beranjak dari kursinya duduk di samping Nisa.
"Ada apa Snowflakes?" Nisa masih dalam mode yang sama. Ia seperti tidak mendengar yang diucapkan Bryan.
"Kamu takut terbang ya? Come here Doll!" ujar Bryan sambil berusaha menarik Nisa ke pelukannya. Nisa langsung memeluk Bryan dan membenamkan kepalanya di dada Bryan. Bryan memeluk Nisa yang ketakutan dan menggenggam tangannya.
"It's ok sebentar lagi akan normal!" ujar Bryan lagi seiring ada sedikit turbulensi ketika pesawat take off dan hentakan itu buat Nisa makin kaget dan makin memeluk Bryan erat. Setelah 10 menit pesawat baru dalam posisi normal dan tidak ada lagi hentakan.
"There you go, udah gak apa sekarang kan?" tanya Bryan mencoba melepaskan Nisa dan melihat jika dia baik-baik saja. Bryan memegang wajah Nisa sambil memindahkan beberapa helai rambut yang menutupi wajahnya. Ia pun tersenyum menenangkan Nisa.
"Kamu takut Snowflakes?" Nisa jadi malu tapi kemudian mengangguk dengan bibir sedikit maju karena merajuk. Bagaimana bisa Bryan mau marah jika Nisa se imut ini?
"Kita mau kemana?" tanya Nisa lembut.
"Pulang Sayang." Bryan juga menjawab dengan lembut
"Kemana?"
"Amsterdam." mata Nisa membesar. Dia bingung bagaimana bisa tiba-tiba ia malah terbang ke luar negeri.
"Untuk apa?"
"Ketemu Mama. Kakak ingin kamu bertemu Mama dan juga Kakek." Bryan tersenyum sambil terus membelai lembut pipi Nisa.