Mata Bryan membesar saat mendengar tebakan Alisha. Kali ini dia benar benar yakin kakak nya memiliki indra keenam. Bagaimana dia bisa tau segala hal?
"Gimana kamu bisa...?" ujar Bryan masih terperangah dan tercekat.
"Alisha kenal kamu dari bayi, adikku sayang. Matamu tidak bisa berbohong. Cara kamu melihat Nisa tidak seperti pandangan seorang Kakak pada Adiknya," jawab Alisha dengan tenang. Bryan kemudian setengah menunduk. Dan Alisha masih mengelus kepalanya.
"Apa aku salah mencintai dia, Alisha?" Alisha menggelengkan kepalanya.
"Cinta tidak salah Bryan. Tapi kan Nisa gak tau kamu siapa. Nisa harus tau jika kamu bukan anak kandung Daddy." Bryan mengangguk dan masih menunduk. Tangan Alisha belum berhneti mengucek lembut rambut Bryan.
"Dia akan tau secepatnya." Bryan lalu melihat pada Alisha dengan mata berkaca-kaca.
"Kamu tau, rasanya aku gak pantas jadi adikmu, Alisha. Kamu bukan hanya saudara tapi juga hal terbaik yang aku dapatkan dalam hidupku," ujar Bryan mulai meneteskan air mata lalu memeluk Alisha erat. Alisha ikut membalas pelukan Bryan sambil terus mengelus punggungnya.
"Sedarah atau bukan, selamanya kamu adalah adikku, Bryan. Alisha sayang banget sama kamu, sampai kapanpun," balas Alisha dan Bryan makin mendekap erat Kakaknya. Ia menyembunyikan wajah di pundak Alisha dan sedikit terisak. Usai sedikit tenang, Alisha melepaskan pelukan dan memberi kecupan di kening Bryan seraya tersenyum.
Setelah berbicara dengan Alisha, Bryan pun berjalan menuju ruang kerja Ayahnya. Disana Darren dan Hans tengah berbicara tentang Moretti.
"Bryan tidak boleh tau soal ini, pria itu harus menjauh dari kehidupan anakku, Darren!" ujar Hans pada Darren. Darren mengangguk setuju. Ia juga memikirkan hal yang sama, sudah bukan lagi waktunya berdiam diri.
"Tapi kita tidak bisa menutupi hal ini selamanya. Dia pasti akan datang menemui Bryan dan mengatakan semuanya," balas Darren membuat guratan kecemasan makin besar pada wajah Hans.
"Darren, kamu selalu jadi pelindung kami. Lakukan sesuatu!" Belum sempat Darren menjawab, pintu ruang kerja diketuk seseorang. Darren mempersilahkan orang yang mengetuk untuk masuk ke dalam. Mereka tidak menyangka jika Bryan yang datang.
"Ah my son, Daddy sangat merindukanmu, Nak. Kemarilah!" ujar Hans sambil berjalan membuka lebar lengannya dan memeluk putranya. Bryan berjalan masuk sambil tersenyum dan memeluk Ayahnya.
"Dad, aku juga merindukanmu." Dari Hans, Bryan beralih pada Darren yang ikut bangun dan memeluknya.
"Oh, Uncle Darren, aku juga sangat merindukanmu!"
"Aku juga anakku, aku juga!" balas Darren tersenyum. Setelah mereka berpelukan Bryan kemudian ditarik Darren untuk disebelahnya. Sementara Hans bersandar di meja kerja di depan Bryan.
"Apa kabar kamu? Kamu udah lama gak pulang kemari, Bry?" tanya Hans masih tersenyum bahagia. Semenjak Bryan tinggal terpisah ia mulai jarang pulang ke rumah Ayahnya.
"Ah, maaf Dad. Aku banyak pekerjaan selama ini. Beberapa hari lalu juga aku baru kembali dari Gili." Hans mengangguk mengerti. Bryan sedikit mengosokkan kedua telapak tangannya sebelum ia bicara.
"Sebenarnya ada yang ingin aku bicarakan dengan kalian berdua," ujar Bryan setelah memantapkan hatinya.
"Tentu. Katakan saja, Nak!" jawab Hans. Bryan menarik napasnya dan mengangguk.
"Kurang lebih sebulan lagi aku akan ulang tahun." Hans dan Darren langsung mengangguk.
"Ah iya benar, kamu akan 27 tahun. Yah, kamu seorang pria dewasa sekarang, Bryan," puji Darren sambil memegang pundak Bryan. Dan Bryan membalasnya dengan tersenyum.
"Untuk tahun ini, aku mau minta sesuatu sebagai hadiah," ujar Bryan lagi.
"Apapun yang kamu inginkan, Daddy pasti akan memberikannya," ujar Hans sambil tersenyum.
"Aku ingin restu dari kalian berdua." Hans dan Darren lalu saling menatap satu sama lain tak mengerti sambil mengernyitkan kening. Lalu kemudian memandang pada Bryan lagi.
"Aku ingin menikah, Dad. Uncle Darren!' lanjut Bryan lagi masih tersenyum. Hans langsung menegakkan tubuhnya dan Darren menarik napas dengan berat. Bryan membuat kejutan malam ini.
"Apa... maksud kamu?" tanya Hans masih dengan kening mengernyit dan Darren menggenggam kedua tangannya sambil mengigit bibir bawahnya karena gugup.
"Ya, aku ingin menikah saat hari ulang tahunku nanti," jawab Bryan yakin masih dengan nada suara yang sama.
"Daddy gak tau kalau kamu ternyata sudah punya pacar Bryan? Daddy pikir..." Hans bertanya lagi sedangkan Darren masih diam.
"Kami gak pacaran, Dad. Bryan hanya ingin menikahi dia secepatnya." Kini Hans jadi makin deg-deg-an. Apa yang sudah dilakukan putranya kali ini?
"Apa yang terjadi, apa dia..."
"Gak Dad, aku belum pernah menyentuhnya sama sekali. Dia gak hamil, kalau itu yang Daddy pikirkan." Hans menarik napas lega. Lalu tersenyum sambil menepis perasaan aneh dalam hatinya. Mungkin tidak seperti yang ia duga selama ini. Darren sedikit menundukkan wajahnya menahan senyuman.
"Boleh Daddy tau siapa gadis pilihan kamu?" Bryan mengangguk dan menarik napas lagi sebelum menjawab. Ia lalu menoleh pada Darren sekilas.
"Deanisa... Melody... Harfa," jawab Bryan dengan nada rendah. Hans langsung membuang pandangannya ke arah lain. Sedangkan Darren ketika melihat reaksi Kakaknya hanya meletakkan tangannya di pundak Bryan memberi dukungan. Hans menggelengkan kepalanya.
"Gimana bisa, Bry? Sejak kapan kamu... kamu gak bisa melakukan ini Bryan, Nisa itu..."
"Dia bukan Adikku Dad, bahkan bukan saudara tiri!" sahut Bryan cepat.
"Tapi kamu adalah anak Daddy, Bryan. Dan Nisa adalah anak sambung tiri Daddy!" Bryan mengangguk mengerti.
"Hanya secara hukum, tapi aku kan bukan anak kandung Daddy. Aku adalah keponakan kalian, jadi Nisa sejatinya bukan adik tiriku, Dad!" Hans merasa dadanya mulai sesak. Ia terus menggeleng menolak kenyataan bahwa Bryan bukan putra kandungnya.
"Jangan ungkit lagi status kamu, Bryan. Kamu adalah anak Daddy walaupun Daddy bukan Ayah kandung kamu!" Bryan menundukkan kepalanya.
"Aku minta maaf, Dad. Tapi ini adalah kenyataan. Tolong berikan aku restumu!" pinta Bryan lagi.
"Rita menitipkan Nisa pada Daddy, dia salah satu putri Daddy sekarang," jawab Hans lagi.
"Berarti aku adalah sepupunya. Bisakah aku menikahi Nisa, Dad?" Darren kemudian memandang Kakaknya. Hans yang diberikan tatapan seperti itu oleh Darren masih menggelengkan kepalanya. Darren menghela napas lalu menoleh pada Bryan.
"Uncle merestuimu, Nak. Tapi dengan satu syarat, kamu harus setia dan tetap menyayanginya seumur hidupmu. Tidak ada lagi pesta dan wanita-wanita," ujar Darren memegang bahu Bryan. Bryan mengangkat tangan dan melakukan sumpahnya. Hans yang melihatnya tau bahwa selama ini firasatnya benar. Bryan pergi dari rumah bukan sepenuhnya karena pernikahannya dengan Rita Harfa.
"Sebenarnya Daddy sudah punya firasat itu sewaktu kamu mau pergi ke New York dulu." Bryan menoleh pada Ayahnya.
"Saat kamu bilang kamu ingin sesuatu tapi gak bisa karena hal itu gak bisa dibeli dengan uang?" Bryan mengangguk dan tersenyum.
"Juga saat kamu memandang Nisa di balik jendela sebelum kamu pergi? Itu cinta, Itu pandangan cinta, tapi Daddy terlalu egois bersikeras menikah dengan bundanya Nisa. itu yang buat kamu pergi dari rumah. Kamu gak bisa memiliki dia karena ibunya menikah dengan Daddy, benar?" Bryan mengangguk.
"Bisakah aku memilikinya sekarang?" Hans menarik napasnya dengan berat. Lalu memandang pada Darren yang mengangguk padanya dengan senyuman. Hans lalu membuka kedua lengannya dan Bryan pun berdiri menghampiri Ayahnya.
"Kemarilah Anakku. Daddy akan memberikan restu padamu, Nak!" ujar Hans sambil memeluk Bryan. Bryan tersenyum dibalik pelukan hangat Ayahnya.
"Jaga Nisa, jangan pernah sakiti dia. jika dia menangis karena kamu, Daddy gak akan pernah memaafkan kamu, mengerti!" Bryan mengangguk sambil tersenyum.
"Sedarah atau bukan. Selamanya kamu adalah anak Daddy. Ingat itu, Bryan. Beri tahu Nisa siapa kamu sebenarnya," ujar Hans sambil mengelus pundak Bryan lagi
"Ya Dad, thank you!"
"Ah Bryan, rasanya baru kemarin Daddy bawa pulang kamu ke rumah dalam keadaan bayi merah, hari ini kamu akan segera menikah. Mommy mu pasti bangga banget sama kamu, Nak. Mamamu juga." Bryan makin mengeratkan pelukannya pada Ayahnya.
Setelah Bryan keluar, Hans masih berada di posisi berdiri menghadap Darren.
"Sounds familiar, history repeats itself eh brother!" (kedengaran seperti pernah terjadi sebelumnya, sejarah kembali terulang) Darren tersenyum.