Chapter 15 - Tak Menyesal

"Ya, kita ada meeting dengan investor dubai hari senin. Plus Admiral Shawn Miller mau ketemu, katanya ada yang mau dikenalin," jawab Arya akhirnya. Bryan tersenyum, temannya memang bisa diandalkan. Lalu pembicaraan kembali ke soal perempuan.

"She's hot, siapa sih dia?" tanya Arya lagi. Bryan menaikkan bahunya tanda tidak tau. Xavier yang mendengar ikut memberi komentar setelah Bryan tidak bisa menjawab.

"Dia model Victoria Secret namanya Sheila Peterson, dia yang paling seksi diantara para Angel (sebutan model Victoria Secret)," tambah Xavier sambil menyeringai. Arya melihat ke arah Xavier memandang, model Victoria Secret itu masih berdansa dengan teman perempuannya sambil menatap sensual ke arah Bryan dan Arya. Wanita itu, dia hanya ingin bercinta dengan Bryan.

"Kamu beruntung teman," tambah Xavier lagi. Bryan mengangkat gelasnya pada pujian Xavier. Selesai menegak satu gelas, Bryan meminta lagi minuman yang sama.

"Another shot!" (satu lagi)

"Gue gak mau bawa lo yang mabuk pulang... rese!" sahut Arya spontan. Bryan membalas dengan tertawa. Arya paling tidak suka kalau Bryan yang mabuk dan dia harus menyetir. Lagipula, Bryan harus memastikan jika ia tidak akan mabuk karena esok Senin kepalanya akan sangat berdenyut jika ia minum lebih banyak. Tak lama kemudian, gadis yang tadi berdansa dengan Bryan merangkul pinggangnya dari belakang. Tanpa malu, gadis itu mencium Bryan di depan Arya dan Arya hanya menyeringai sambil menghabiskan minumannya sekali teguk. Dia memberi tanda pada Xavier untuk membuat satu Scotch lagi.

"Ayo kita ke tempatmu!" bisiknya pada Bryan. itu adalah kode Bryan untuk segera pergi dan menuntaskan hasratnya. Sambil menyeringai, ia bangun dari kursinya dan mengangguk setuju untuk pergi.

"Masukkan saja semua dalam tagihanku Xavier, sampai jumpa Senin Arya." Bryan menepuk pundak Arya yang masih menghabiskan minumannya. Bryan merangkul model ViSec itu dan langsung pergi keluar dari club. Xavier hanya mengangguk sambil tersenyum. Arya cuma mengangguk pelan, ia sudah terbiasa melihat Bryan seperti itu.

Keesokan harinya Bryan bangun jam 6 pagi seperti biasa dengan Sheila masih tidur berbalut duvet lembut berwarna hitam. Sheila ya namanya Sheila, Bryan akhirnya ingat nama perempuan yang menghabiskan malam di ranjangnya.

Bryan bangun dari ranjangnya dan memakai sweatpants kemudian menuju dapur. Dia haus dan langsung mengambil botol minum dari kulkas. Masih belum memakai baju Bryan melihat tubuhnya dari pintu lemari es yang seperti cermin. Beberapa bekas kecupan sisa bercinta semalam terlihat jelas di bagian atas dada, hingga tulang selangkanya. Bryan mengecek lehernya untung tidak sampai ke atas sini. Akan repot memakai concealer apalagi nanti jam sepuluh dia ada meeting.

Usai memeriksa dirinya sendiri, ia masuk ke walk in closet mengambil T shirt hitam, celana pendek dan hoody hitam. Dia mengecek jam sudah pukul 6.15 menit saatnya olahraga, ia pun keluar dan menuju apartemen Arya yang letaknya 4 meter dari ruangannya. Mereka tinggal di puncak The Heist Tower milik VanAlex corp. Seharusnya hanya ada satu Penthouse di puncak tower. Tapi sebelum Arya tiba di Manhattan dulu, Bryan meminta perombakan agar ada dua apartemen di lantai yang sama. Jadilah apartemen yang ditempati Arya sekarang berada hanya empat meter dari pintu masuk Penthouse Bryan. Dia tidak ingin jauh dari Arya.

Setiap pagi mereka bangun jam 6 pagi, berjogging di taman sekitar apartemen. Lalu kembali pukul 8, sarapan pagi dan bersiap ke kantor. Ketika Arya mulai membangun perusahaannya sendiri, Bryan hanya memberinya ijin untuk menjadi partner kerja VanAlex dan letak kantornya harus disebelah kantor milik Bryan. Artinya kantor itu masih milik VanAlex. Arya tidak keberatan dengan hal itu, toh Bryan tidak pernah ikut campur perusahaannya. Sesekali ia diminta Bryan untuk menggantikan dirinya meeting jika ada dua atau tiga hal yang harus dikerjakan bersamaan.

Arya beristirahat sebentar di bangku taman sambil menjulurkan kakinya. Bryan pun ikut duduk dan menarik nafas tersengal. Mereka sudah berlari sebanyak 10 lap.

"Tumben lo udah capek... kebanyakan ya semalam?" goda Bryan yag dibalas senggolan oleh Arya.

"Ah, gue kurang tidur."

"Kenapa, cewek itu bikin lu gak bisa tidur ya!"

"Bukan"

"Lalu?"

"Kemarin, Farah telepon, dia kangen nyuruh gue pulang." Bryan memandang Arya sambil menarik nafas panjang. Dia tau satu saat akan terjadi, Arya akan pergi meninggalkannya.

"Trus lo bilang apa sama Farah?"

"Gua bilang gua akan pulang sama lo," ujarnya melihat atas Bryan dan tersenyum. Bryan tak membalas senyuman dan hanya menunduk.

"Lo gak kangen rumah Bry?" tanya Arya lagi. Bryan menarik napas sejenak lalu menaikkan sebelah kaki dan melipatnya ke atas lutut. Sebelah lengannya juga terlentang di belakang punggung Arya.

"This is my home. Gue kan tinggal disini," jawab Bryan singkat. Tapi pandangan matanya langsung berubah seolah ada yang hilang. Arya menggeleng dan tersenyum kecil. Ia ikut menyandarkan punggung dan merelakskan tubuh.

"Huff, lo pasti ngerti maksud gue kan, Bry. Rumah kita bukan disini Bryan, kita pasti akan pulang satu saat, memangnya lo gak kangen sama Om Hans."

"Enam bulan lalu Daddy kan baru datang, lagi pula kita terus teleponan."

"Mana sama, Bry. Gue yakin Om Hans pasti kangen banget sama lo. Udah berapa tahun kita gak pulang sama sekali ke Indonesia coba?" Bryan tak mau menjawab.

"Kalo gue kangen sama masakan mama, kangen omelannya Farah dan jailin Dara, yah..." Arya menarik napas dan melepaskannya lalu terdiam. Bryan mengigit bibir bawahnya, ia merasa bersalah pada Arya.

"Lo pengen pulang ya?" tanya Bryan setelah terdiam lama.

"Pengen... belakangan Papa nelepon dan suka ngomongin soal perusahaannya. Dia juga suka minta pendapat gue jadi gue rasa dia juga mau gue pulang untuk kerja pada perusahaan kami." Bryan mengangguk mengerti.

"Ah, udahlah. Mending kita balik. Kita ada meeting kan!" Arya sudah berdiri tapi Bryan belum beranjak dari tempat duduknya. Bryan masih terdiam dan sesekali menunduk. Seperti ada gurat rasa bersalah ketika ia memandang Arya. Ia yang membawa Arya kemari, memisahkannya dari keluarga. Meskipun tidak sepenuhnya seperti itu, karena orang tua Arya sering datang ke Manhattan untuk melihat anaknya.

"Lo marah ya sama gue?" tanya Bryan pelan sambil sedikit menengadah pada Arya. Arya mengernyitkan keningnya dan tersenyum menggeleng.

"Ya gaklah, kenapa gue mesti marah sama lo."

"Gue yang bawa lo kemari!" Arya berdecak dan membuang pandangannya ke arah lain.

"Bry, gue memang pengen ikut lo. Gue yang memilih tinggal sama lo, dan gue gak menyesal sampe hari ini. udahlah, jangan dipikirin... come on buddy, let's go home," ujar Arya sambil menarik tangan Bryan. Bryan tersenyum dan mengikuti langkah sahabatnya untuk kembali ke Penthouse. Mereka harus bersiap siap ke kantor